Selasa, 26 April 2016

KELOMPOK HOUTHI DAN KONFLIK YAMAN

Konflik yang terjadi di Yaman antara milisi Houthi yang beraliran Syiah dengan kelompok pro- presiden Yaman, Abdrabbouh Mansour Hadiyang beraliran Sunni masih terus berlangsung hingga hari ini, bhakan terakhir kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman turut menjadi korban pengeboman.

Pengeboman di kantor kedutaan Republik Indonesia di Sana'a pada tanggal 20 April 2015 seakan menjadi penanda kelanjutan konflik di Yaman masih belum berakhir hingga hari ini. Konflik yang terjadi antara kelompok Syiah Houthi dengan kelompok pro-presiden Yaman, Abdrabbuh Mansour Hadi. Perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi di Timur Tengah juga turut mempengaruhi jalannya konflik ini. Dimana, kelompok Houthi didukung oleh Iran, sedangkan kelompok pro-presiden Yaman didukung oleh Arab Saudi.

Letak Yaman yang strategis, karena keberadaan selat Bab al- Mandab yang menghubungkan Laut Merah dengan Teluk Aden dan menjadi jalur perlintasan kapal dagang dunia membuat konflik di Yaman semakin meluas. Pemerintah Mesir dan Arab Saudi khawatir jalur tersebut jatuh ke tangan milisi Houthi dan pada akhirnya membuat pengaruh Iran di Timteng semakin menguat. Sehingga, berbagai cara mereka lakukan, termasuk dengan mengirimkan pasukan mereka ke Yaman.

Konflik di Yaman bermula dari gelombang Arab Springs di tahun 2011 yang mengakibatkan banyak pemimpin diktator di Timur tengah tumbang. Presiden Yaman kala itu, Ali Abdullah Saleh termasuk satu diantaranya. Tumbangnya Saleh bahkan diikuti oleh serangan bom terhadap dirinya. Akibat dari serangan bom tersebut, Saleh mengalami luka serius dan harus dilarikan ke Arab Saudi.  Dilarikannya Saleh ke Saudi kemudian menjadi momentum bagi rakyat Yaman untuk menolak Saleh kembali ke Yaman.

Situasi Yaman pasca-Arab Springs yang kurang stabil rupanya dijadikan celah oleh Kelompok Houthi untuk bangkit dan memainkan pengaruhnya. Terlebih mereka juga menjadikan kondisi emosional warga Syiah di Yaman sebagai motivasi pendukung untuk menjalankan aksi mereka. Hal ini karena, selama beberapa tahun di bawah pemerintahan Saleh, warga Syiah mendapatkan perlakuan kurang baik dan hanya menjadi warga negara kelas II di Yaman.

Kondisi diatas kemudian memancing timbulnya konflik Sektarian antara milisi Houthi dengan kelompok pro-pemerintah dengan kronologis konflik di Yaman tersebut adalah sebagai berikut.

17 September 2014, pertempuran antara pasukan Pemerintah Yaman dengan Kelompok Houthi berlangsung di tepi ibu kota Sanaa. Pasukan pemberontak menghujani Sanaa dengan serangan mortir.
20 September 2014, gedung stasiun televisi milik Pemerintah Yaman dibakar setelah konflik antara mereka dengan Kelompok Houthi semakin panas. Beberapa gedung lain juga menjadi rusak parah. Televisi Yaman telah meminta bantuan internasional dan nasional untuk melakukan evakuasi.
24 September 2014, Perdana Menteri Yaman Salem Basindwa mengundurkan diri sebagai syarat pembicaraan gencatan senjata yang diajukan oleh Kelompok Houthi. PM Salem digantikan oleh Khaled Bahhah.
20 Januari 2015, Kelompok Houthi menyerang Istana PM Yaman setelah sehari sebelumnya menyerang istana kepresidenan. Serangan ini diakhiri dengan gencatan senajata oleh kedua belah pihak.
23 Januari 2015, Abd Rabbo Mansour Hadi menyatakan mundur dari jabatan Presiden Yaman. Mundurnya Hadi membuat kekuasaan di Yaman lowong. Pemerintahan bentukan Kelompok Houthi tidak mendapat dukungan dari warga Yaman.
Februari 2015, Beberapa negara menutup kedutaan mereka di Yaman karena mengetahui situasi di Sanaa semakin buruk.
22 Februari 2015, Presiden Hadi berhasil melarikan diri ibu kota Sanaa dengan bantuan Dewan Keamanan PBB.
24 Februari 2015, Presiden Hadi menarik pengunduran dirinya. Dia kemudian mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman.
20 Maret 2015, dua bom bunuh diri mengguncang Yaman, menewaskan 142 orang dan melukai ratusan lainnya. Kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini, sekaligus mengumumkan keterlibatan mereka dalam konflik.
23 Maret 2015, Presiden Hadi mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman, sekaligus meminta bantuan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk untuk memulihkan kekuasaannya di sana.
26 Maret 2015, Arab Saudi menyanggupi permintaan Presiden Hadi dan memulai serangan udara ke Yaman.
A. Kelompok Milisi Houthi

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah siapa kelompok milisi Houthi yang banyak dibicarakan masyarakat internasional. Kelompok milisi Houthi adalah kelompok pemberontak yang juga dikenal dengan nama Anshar Allah yang berarti Partisan Allah. Milisi Houthi menganut aliran Syiah Zaidiyah yang menguasai sepertiga wilayah utara Yaman dengan sistem “Imamah” hingga tahun 1962 selama hampir ribuan tahun.

Kelompok Milisi Houthi juga menganut aqidah Syi'ah Itsna'ariyah atau sering disebut dengan nama “Syabab Al-Mu'min” dan “Ansharullah”, yang salah satu pemikirannya adalah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiqy sebagai khalifah pertama dan merasa bahwa yang berhak menjadi penerus Rasulullah SAW adalah Ali Bin Abi Thalib.

Nama Houthi diambil dari nama Hossein Badr Ad Din Al-Houthi yang merupakan pemimpin pemberontakan pertama kelompok ini pada tahun 2004. Perjuangan pertama kelompok ini adalah memperjuangkan otonomi yang lebih luas di provinsi Saada serta melindungi tradisi budaya dan kepercayaan Syiah Zaidiyah dari pengaruh dan gangguan kelompok Islam Sunni.

Hossein Badr Ad Din Al-Houthi sendiri tewas tahun 2004 ketika bersembunyi di dalam gua di gunung Marran dari kejaran pemerintah. Menurut beberapa sumber, kelompok pemerintah mengepung gua tersebut dengan menyiramkan bensin ke dalam gua agar Houthi terbakar di dalamnya setelah kelompok tersebut tertangkap. Namun langkah tersebut ternyata tidak menyurutkan perjuangan kelompok Houthi dalam melakukan pemberontakan. Tongkat kepemimpinan dalam kelompok tersebut kemudian diambil alih oleh keluarga Houthi.

Namun, Ahmed Addhagahassi, professor dari Universitas Sana'a yang juga penulis buku “Houthi Phenomenon” berpendapat bahwa kelompok Houthi awalnya adalah kelompok yang memiliki pemikiran untuk memajukan pendidikan dan visi kebudayaan. Bahkan, mereka sempat menciptakan forum pertemuan antar pemuda di tahun 1990-an. Namun, hal ini ternyata tidak berlangsung lama karena kemudian kelompok ini terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama, yaitu kubu yang tetap memilih untuk mempertahankan keterbukaan denagn dialog, sedangkan kubu kedua adalah kubu radikal yang memutuskan untuk melakukan berbagai cara agar kebudayaan Syiah Zaidiyah tetap terjaga. Dalam perjalanannya, kubu kedua jauh lebih mendapatkan tempat dibanding kubu pertama.

Konflik pertama antara kelompok Houthi dengan Pemerintah Yaman terjadi ketika simpatisan kelompok Houthi melakukan protes terhadap pemerintah di Masjid yang terletak di pusat kota Sana'a. Tindakan protes ini kemudian dianggap oleh presiden Yaman kala itu, Ali Abdullah Saleh sebagai sesuatu yang menghadang kekuasaannya. Karena itu, hal ini kemudian ditanggapi secara responsif oleh presiden Saleh dengan menangkapi anggota kelompok Houthi yang dilanjutkan dengan serangan yang menewaskan Al-Houthi sendiri, usai peringatan pemerintah agar kelompok Houthi menghentikan rangkaian protes tidak diindahkan.

Konflik antara pemerintah dengan kelompok Houthi ini kemudian usai ketika kedua belah menandatangani perjanjian gencatan senjata tahun 2010. Akan tetapi, ketika gelombang Arab Springs terjadi tahun 2011, kelompok Houthi memanfaatkan momentum tersebut untuk ikut serta menurunkan rezim Ali Abdullah Saleh. Usai Saleh diturunkan, kelompok Houthi juga menolak rekomendasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Dialog Nasional Yaman yang memutuskan bahwa wilayah Yaman dibagi dalam enam wilayah negara bagian federal otonom. Hal ini karena dalam proposal tersebut, provinsi Sa'ada yang merupakan wilayah kekuasaan mereka secara historis akan dikuasai oleh pemerintahan Sana'a.
Kelompok Houthi menginginkan pembagian kekuasaan yang lebih luas dalam pemerintah Federal serta berharap wilayah Utara diatur menjadi wilayah kekuasaan mereka. Tidak dikabulkannya permintaan kelompok Houthi tersebut membuat kelompok Houthi melakukan berbagai aksi protes terhadap pemerintah, termasuk menunggangi beberapa isu, seperti menolak kenaikan harga bahan bakar minyak.

Naiknya presiden baru, Abdrabboud Hadi Mansour pada tahun 2012 ternyata semakin memperburuk konflik antara pemerintah dan kelompok Houthi. Hal ini karena Mansour juga menerapkan kebijakan konfrontatif seperti yang dilakukan oleh kelompok Saleh. Hal ini kemudian membuat kelompok ini terus menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apalagi, kelompok ini juga mendapatkan 35 kursi di konferensi dialog nasional yang membuat pengaruh kelompok ini semakin menguat di Yaman.

Menguatnya pengaruh politik kelompok Houthi membuat Mansour mempertimbangkan dialog dengan kelompok Houthi untuk proses rekonsiliasi nasional. Namun, penunjukkan Khaled Bahah, mantan Dubes Yaman untuk AS sebagai Perdana Menteri membuat kelompok ini marah dan berhasil menguasai istana kepresidenan serta mengusir Mansour dari istana tersebut. Mansour sendiri kemudian memindahkan pemerintahan ke Aden.

B. Masa depan konflik Yaman

Masih terus berlangsungnya konflik antara pemerintah dengan milisi Houthi serta ikut sertanya pemerintah Arab Saudi dalam konflik ini membuat konflik di Yaman masih jauh dari selesai. Bertambahnya aktor konflik dengan munculnya kelompok Al-Qaeda di Yaman atau AQAP serta ISIS membuat eskalasi konflik yang terjadi di Yaman semakin meluas. Letak Yaman yang strategis juga membuat Arab Saudi dan Iran untuk terus bertarung memperebutkan pengaruh mereka di Timur Tengah dan dari konflik tersebut, rakyat Yaman tentu yang akan paling menderita dari konflik tersebut. Amerika Serikat di sisi lain, juga tidak ingin pengaruh Iran di Timteng meningkat karena dapat membahayakan keamanan nasional Israel. Hal ini kemudian juga membuat AS untuk terus mendukung langkah Arab Saudi untuk melakukan intervensi di Yaman.

Maka, seperti yang diucapkan oleh menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pasca- serangan ke KBRI d Sana'a bahwa dibutuhkan proses dialog dan diplomasi untuk menyelesaikan konflik ini serta kemauan dari setiap pihak yang berkonflik untuk menurunkan egonya agar konflik yang terjadi di Yaman tersebut bisa berakhir. (Kharizma Ahmada)


Tidak ada komentar: