Rabu, 23 Januari 2013

Diplomasi Perdamaian Israel - Palestina



Israel dan Palestina adalah dua negara yang terus berkonflik hingga 1948 hingga saat ini. Dan konflik kedua negara ini diperkirakan akan berlangsung lama. Berbagai perundingan suadah mereka lalui. Mulai dari Partition Plan 1947 hingga Annapolis, namun tidak ada satupun yang mampu menemukan titik temu dari masalah dua negara tersebut. Akar mula dari permasalahan ini adalah ketika menlu Inggris, James Balfour pada tahun 1917 memutuskan untuk mendirikan sebuah wilayah Yahudi di wilayah Arab, hal yang ditentang oleh negara Arab.
Namun paham Zionis yang berkembang membuat ribuan umat Yahudi dari pelosok Eropa mendatangi tanah Palestina paska Perang Dunia II dengan harapan bahwa tanah di Palestina adalah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan. Namun, hal ini tentu saja ditolak bansga Arab. Apalagi kedatanagn bangsa Yahudi tersebut membuat ribuan warga Palestina mengungsi dan terusir dari negaranya sendiri.
PBB Sendiri sebenarnya sempat mengeluarkan solusi yang cukup adil yaitu dengan membagi wilayah tersebut dalam dua bagian dengan Jerrusalem yang menjadi pusat konflik sebagai kota International. Namun, partition Plan ini tidak pernah berjalan, pasalnya tiga hari kemudian Israel justru mendeklarasikan berdirinya negara Israel dengan David Ben Gurion sebagai presidennya.
Pendirian negara Israel ini sendiri memancing kemarahan negara-negara Arab yang kemudian mendeklarasikan perang pada tahun 1948 – 1967 yang dimenangi Israel dengan bantuan Amerika Serikat.
Namun, walaupun sampai hari ini belum ada kesepakatan damai antara kedua negara. Sudah banyak berbagai perundingan yang dilaksanakan oleh kedua negara. Perundingan pertama yang dilaksanakan adalah Konferensi Madrid tahun 1991 yang juga menjadi perundingan pertama antara kedua negara yang difasilitasi pemerintah Spanyol serta didukung A.S. dan Uni Sovyet.
Dalam proses negosiasi ini, Israel membuat Revokasi dari Resolusi PBB no. 3379 sebagai partisipasi mereka dalam konferensi sebagai kelanjutan dari resolusi no.46/86. Israel sendiri menyatakan konferensi ini sangat penting, karena apabila Israel berhasil berdamai dengan palestina maka akan berpengaruh terhadap hubungan diplomatik mereka dengan negara lain terutama negara Muslim dan Timur Tengah.
Namun perundingan yang dimaksudkan dengan baik ini berjalan dengan alot dan pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa selain kekecewaan dari kedua belah pihak baik Israel maupun Palestina. Namun walau tidak menghasilkan apa-apa, Sekretaris negara Amerika Serikat, James Baker memandang positif konferensi ini sebagai langkah awal menuju perdamaian di Timur Tengah.
Namun dua tahun kemudian perundingan damai kedua negara kembali dilakuakn di Oslo dengan nama Oslo Accord 1993. Dalam perundingan Oslo tersebut pimpinan PLO Yasser Arafat dan PM Israel, Yitzhak Rabin hadir difasilitasi oleh Bill Clinton.
Dalam kesepakatan ini kedua negara sepakat untuk berdamai dan mengakui kedaulatan masing-masing. Israel akan mengakui PLO sebagai otoritas berkuasa di Palestina serta mengizinkan Yasser Arafat kembali ke Tepi Barat, serta menghilangkan kekerasan diantara kedua belah pihak. Namun, perjanjian yang sudah bagus dan damai ini justru dirusak oleh kelompok ekstrim kanan Israel yang sangat Zionis. Pada akhirnya kesepakatn ini tidak berjaan bahkan PM Yitzhak Rabin harus tewas ditangan Ekstremis Yahudi karena menyetujui kesepaktan ini. Sehingga perundingan yang sudah berjalan terpaksa batal karena arogansi Parlemen Israel yang rata-rata menganut paham Zionis.
 Mandeknya Oslo Accord ini kemudian berlanjut ke Protokol Hebron pada tahun 1997. Protokol ini sendiri dibagi dalam 5 segmen. Yaitu :
1.      The Agreed Minute of January 7, 1997
2.      The Note for the Record of January 15, 1997
3.      The actual Protocol Concerning the Redeployment in Hebron of January 17, 1997
4.      A Letter to be provided by US Secretary of State Warren Christopher to Benjamin Netanyahu at the time of signing of the Hebron Protocol on January 17, 1997
5.      An Agreement on Temporary International Presence in Hebron (TIPH) on January 21, 1997
Dalam perundingan ini, Israel berkonsentrasi pada masalah pembebasan tahanan serta pembagian batasan wilayah. Serta menuntut wilayah yang lebih luas. Sedang PLO yang mewakili Palestina meminta kelanjutan dari palestina Charter serta pengurangan tingkat kekerasan yang dilakukan oleh Israel.
Setelah Protokol Hebron. Perundingan dilanjutkan pada tahun 2000 bertempat di Camp David, A.S. tempat dimana Israel melaksanakan perjanjian damai dengan Mesir. Dimana, diharapkan masalah Israel – Palestina akan selesai layaknya masalah Israel – Mesir. Dalam negosiasi ini, Israel diwakili PM Ehud Barak, sedang PLO Diwakili Yasser Arafat dan Amerika Serikat memediasi diwakili Presiden Bill Clinton.
Yang menjadi topic bahasan dalam Camp David Summit ini menyangkut empat hal yaitu :
1.      Teritorial
2.      Jerrusalem dan Temple Mount
3.      Pengungsi dan hak untuk kembali
4.      Perhatian terhadap keamanan Israel
Namun, lagi-lagi kesepakatan ini menemui jalan buntu karena baik Israel maupun Palestina sama-sama tidak mencapai titik kepuasan sendiri. Palestina merasa kurang mengeai Masalah Teritori dimana mereka hanay diberikan wilayah yang hingga saat ini hanya Tepi Barat dan Gaza. Sedang Israel menginginkan wilayah lebih. Barak menawarkan Palestina 91% wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat plus control atas jerrusalem Timur yang akan menjadi ibukota mereka.Namun Palestina menuntut perbatasan seperti sebelum tahun 1967, dimana ketika itu wilayah Palestina berjumlah 2 kali lipat wilayah yang ditawarkan Israel. Namun, Menlu Israel Shlomo Ben Ami menolak perbatasan seperti sebelum 1967, karena meraa Israel berhak atas teritori yang lebih. Dan mandeknya perundingan ini, membuat Bill Clinton menyalahkan Arafat dengan ucapan bahwa Arafat menolak perdamaian.
Namun kendati gagal menemukan titik temu perdamaian setidaknya ada beberapa poin yang berhasil dicapai. Yaitu :
1.Kedua belah pihak sepakat bahwa tujuan negosiasi mereka adalah untuk mengakhiri dekade konflik dan mencapai perdamaian yang adil dan abadi.
 2. Kedua belah pihak berkomitmen untuk melanjutkan upaya mereka untuk mencapai kesepakatan tentang semua isu status permanen secepat mungkin.
 3. Kedua belah pihak sepakat bahwa perundingan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338 adalah satu-satunya cara untuk mencapai suatu perjanjian dan mereka berjanji untuk menciptakan lingkungan untuk negosiasi bebas dari tekanan, intimidasi dan ancaman kekerasan.                                     4. Kedua belah pihak memahami pentingnya menghindari tindakan sepihak bahwa sebelum memeriksa hasil negosiasi dan bahwa perbedaan mereka akan diselesaikan hanya dengan negosiasi itikad baik.
5. Kedua belah pihak sepakat bahwa Amerika Serikat tetap menjadi mitra penting dalam mencari perdamaian dan akan terus berkonsultasi erat dengan Presiden Clinton dan Sekretaris Albright pada periode ke depan.
                Setidaknya dengan tercapainya hal diatas ada itikad dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik dengan jalan damai, walau pemerintah Zionis sendiri dengan egonya menolak apa ayng sudah diperjanjikannya.
                Perundingan kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Taba, Mesir yangdisebut sebagai Taba Summit pada tanggal 21 – 27 Januari 2001. Masalah yang dibahas dalam perundingan Taba sendiri tidak jauh berbeda mulai dari teritori, pengungsi hingga keamanan.
                Pertemuan ini sendiri menghasilkan beberapa hal yang pada akhirnya dijadikan landasan pada pertemuan berikutnya, yaitu :
# Yerusalem: negosiator Israel disampaikan kepada Palestina gagasan untuk menciptakan sebuah rezim internasional khusus untuk "Cekungan suci" - sebuah daerah termasuk Kota Tua dan beberapa daerah di luar tembok termasuk makam Bukit Zaitun. Palestina menolak proposal itu, bersikeras pada kedaulatan Palestina sebagai gantinya.

# Wilayah dan permukiman: Israel mengurangi tuntutannya sampai 6% dengan kompensasi teritorial yang akan mengimbangi sekitar 3%, sedangkan Palestina mengusulkan pencaplokan Israel dari sekitar 3% bersama dengan kompensasi teritorial jumlah yang sama. Usulan Israel akan memberi Palestina sekitar 97% dari luas tanah Tepi Barat, tapi tidak ada kesepakatan akhir.

# Pengungsi komite: pengungsi Arab dari Israel dan jumlah yang sama pengungsi Yahudi dipaksa keluar dari negara-negara Arab, masalah dating kembali ke 1948 Perang Arab-Israel. Menteri Kehakiman Israel Yossi Beilin melaporkan bahwa perunding Palestina Nabil Sha'ath, mencapai kesepakatan mengenai hak Palestina Ahmed Qurei kembali namun bersikeras pada Palestina 'Hak Kembali.
                Mentoknya perundingan membuat perundinga nkembali dilanjutan pada tahun 2007 di Annapolis, dimana kondisinya saat itu sudah berubah pada masa itu, Hamas, kelompok Radikal di Palestina memenangi Pemilu. Dimana Hamas sangat menolak bentuk negosiasi apapun dengan Palestina. Perwakilan Palestina di pertemuan Annapolis sendiri adalah PM Palestina versi Fatah, Mahmoud Abbas bukan Ismail Haniyah yang merupakan PM Palestina sebenarnya.
                Dalam konferensi Annapolis ini tidak ada hal baru yang bsia dihasilkan selain mengakui Mahmoud Abbas sebagai pemimpin otoritas Palestina. Dan semakin memecah Palestina menajdi dua yaitu Tepi Barat oleh Fattah dan Jalur Gaza oleh Hamas.
Permasalahan Israel – Palestina sendiri akan sangat sulit untuk selesai karena selain masalah ideology. Masalah tanah dan sumber air juga diyakini sebagai penyebab sulitnya masalah ini selesai. Paham Zionis yang menginginkan Israel sebesar Wilayah mereka di era nabi Ibrahim dari Sungai Eufrat hingga Tigris diduga menjadi penyebab sulitnya proses negosiasi. Dimana proses negosiasi selalu berat sebelah dan menguntungkan Israel serta merugikan Palestina.
Sehingga proses perundingan ini sendiri akan selalu mengalami proses tarik ulur karena titik temu tidak  dapat tercapai dan pihak Israel sebagai pihak yang kuat selalu memaksakan kehendaknya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Kesepakatan yang baik adalah bilamana konsensi yang dibuat oleh salah satu pihak tidak berlawanan dengan kepentingan pihak lainnya.Namun yang terjadi dalam kasus Israel – Palestina justru sebaliknya dan selalu merugikan satu pihak yaitu Palestina sehingga diharapkan kerendahan hati dari Israel apabila proses negosiasi damai ingin tercapai.

cHINA fOREIGN pOLICY



  • Cina sejak Deng Xiaoping. Deng Xiaoping, also Teng Hsiao-p’ing (1904-1997), Chinese Communist leader, who survived two purges to become virtual ruler of post-Mao China. He was born into a family of landlords in Jiading (Chia-ting), Sichuan (Szechwan) Province, studied in France and Moscow during the 1920s, and after his return to China served the Communist Party in various capacities, joining Mao Zedong in Jiangxi by 1930 and participating in the Long March in 1934-1935. During China’s struggle against Japanese aggression (1937-1945), Deng served as a political commissar with the army, being elevated to the Communist Party’s Central Committee in 1945.
After the collapse of the Nationalist regime and the establishment of the Communist government in 1949, Deng moved up rapidly in the Communist hierarchy under Mao’s patronage, serving as vice-premier (1952) and General Secretary of the Chinese Communist Party (1956-1966). Deng distinguished himself as a pragmatist in opposition to Mao’s advocacy of revolutionary zeal, especially after the disastrous failure of Mao’s Great Leap Forward, and was therefore exposed to radical attacks during the Cultural Revolution. Stripped of office during the Cultural Revolution in late 1966, he disappeared from view until Zhou Enlai made him deputy premier in 1973. On Zhou’s death early in 1976, Mao’s radical allies, the Gang of Four, had Deng purged again, but after Mao’s death and their fall later that year, he was reinstated by Hua Guofeng in 1977. He edged Hua out of power, installed his protégés Zhao Ziyang and Hu Yaobang in high office, and began his campaign for the redevelopment of China.
Deng’s reforms were generally economic and social, aimed at encouraging initiative and growth, and achieved through persuasion and consensus. He rationalized economic planning, freed enterprises from state control, and reinstated profit as the guiding principle of economic life. His overall aim was to strengthen and stabilize China, thus securing Communist rule. China joined the International Monetary Fund and the World Bank in 1980; special enterprise zones and other initiatives were established to attract foreign investment. Deng’s official appointments as chairman of the party’s Central Military Commission (1981-1989) and of the party’s Central Advisory Commission (1982-1987) disguised his true position, though his control of the military was decisive for his leadership. In foreign policy, he developed close ties with Japan and the United States as a counterbalance to the Soviet Union.
Deng’s policies produced rapid economic development, but also unleashed unforeseen social turmoil and political aspirations, as it became clear that he had no intention of compromising the Communist Party’s absolute power. Deng personally approved the bloody massacre that ended the mass pro-democracy demonstrations in Tiananmen Square in 1989, and purged his one-time protégé Zhao Zhiyang, who had proved too sympathetic towards the pro-democracy movement. Deng resigned from his last official post in November 1989, but retained paramount authority, continuing to promote growth under the slogan “to grow rich is glorious”, while suppressing democratic aspirations and preserving the Communist monopoly of power under political conservatives such as Li Peng. After 1989, China’s economic boom continued, as did an apparent haemorrhaging of central authority to the regions, and the political calm of this period was evidently the result of present or implied force, ultimately underwritten by Deng’s own links with the military. He continued to support rapid economic expansion, especially in China’s provinces, while he was able to conduct active policy; but in the mid-1990s, suffering from respiratory ailments and Parkinson’s disease, he increasingly slipped from public view, amid reports of jockeyings for power among younger Communist leaders such as Li Peng and Jiang Zemin. Having installed Jiang as his heir apparent, Deng died on February 19, 1997, after a long period of illness.