Selasa, 30 Januari 2018

BREXIT DAN PENGARUHNYA TERHADAP LIGA PRIMER INGGRIS

Pada tanggal 13 Juni 2016 nanti, masyarakat Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, Irlandia Utara) dan Gibraltar akan menggelar sebuah referendum yang akan mempengaruhi kehidupan mereka kedepannya. Referendum tersebut mengenai apakah Inggris Raya akan tetap menjadi anggota Uni Eropa atau memutuskan untuk keluar dari regionalisme kawasan di wilayah Eropa tersebut, keputusan keluar dari UE sendiri biasa disebut sebagai Brexit (British Exit).
            Referendum yang akan digelar pada tanggal 13 Juni nanti juga akan menjadi referendum kedua yang dilakukan oleh Inggris Raya mengenai keanggotaan mereka di Uni Eropa, setelah sebelumnya mereka juga melakukan referendum pada tahun 1975. Berbagai argumentasi dikeluarkan oleh pihak yang pro – UE maupun pro – Brexit. Mereka yang pro – Brexit beranggapan bahwa kebijakan Brexit akan membuat Inggris Raya kembali mendapatkan kedaulatan mereka dalam mengeluarkan berbagai kebijakan nasional, mulai dari keamanan, ekonomi hingga politik. Adapun, mereka yang pro – UE beranggapan bahwa berada di dalam wilayah UE akan menguntungkan Inggris Raya karena akan membuat Inggris menikmati kemudahan dalam perdagangan dengan sesama anggota UE dan perpindahan manusia di kawasan UE.
            Inggris Raya sendiri diyakini akan mengalami berbagai perubahan apabila benar-benar memilih meningalkan UE. Pemimpin Uni Eropa, Jean-Claude Juncker mengingatkan bahwa apabila Inggris Raya benar-benar meninggalkan Uni Eropa, maka Inggris Raya akan dikategorikan sebagai negara dunia ketiga dan tidak akan bisa menikmati berbagai keuntungan yang saat ini mereka dapatkan dari Uni Eropa. Bahkan, Inggris Raya juga diyakini tidak akan bisa menikmati ‘Single-Market’ layaknya Swiss dan Norwegia, yang bukan anggota UE namun merupakan anggota European Economic Area (EEA), karena status mereka yang dianggap “Desertir”. Kalangan pebisnis juga sudah mewanti-wanti bahwa keputusan “Brexit” akan berpengaruh terhadap iklim investasi di Inggris Raya. Hal ini, karena banyak pebisnis yang berinvestasi di Inggris Raya mengincar kemudahan perpindahan barang dan jasa di kawasan Uni Eropa.
            Keputusan Brexit juga akan membuat pengaruh di bidang politik dan keamanan. Salah satunya adalah kekhawatiran bahwa keputusan Brexit juga akan menimbulkan keinginan masyarakat Skotlandia akan kembali menggelar referendum untuk lepas dari Inggris Raya, hal ini karena hampir sebagian besar alasan masyarakat Skotlandia memilih untuk tetap bertahan dalam referendum tahun 2014 lalu adalah kemudahan yang didapat dengan menjadi bagian dari Inggris dan Uni Eropa. Selain itu, keputusan Brexit juga akan mempengaruhi perjanjian perdamaian Good Friday di Irlandia Utara antara Inggris Raya dan Irlandia yang ditekan pada tahun 1998. Menurut PM Irlandia, Enda Kenny, hal tersebut dapat terjadi karena keputusan Brexit akan mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi untuk menciptakan perdamaian yang sudah dijaga selama 18 tahun.
            Pengaruh Brexit Terhadap Sepakbola Inggris dan Liga Primer
            Lalu bagaimana dengan sepakbola? Apakah Brexit juga akan mempengaruhi industri sepakbola di Inggris Raya? Jawabannya sudah pasti. Saat ini hampir sebagian besar kompetisi sepakbola di Inggris Raya dipenuhi oleh pemain dari berbagai negara Uni Eropa, terutama tiga kompetisi besar di Inggris Raya, yaitu Liga Premier Inggris, Liga Championship Inggris dan Liga Premier Skotlandia. Keberadaan pemain dari neara-negara UE tersebut membuat kompetisi – kompetisi tersebut menjadi lebih menarik untuk ditonton. Lalu bagaimana dengan nasib pemain-pemain tersebut apabila Brexit benar-benar terjadi?
            Menurut analisis yang dilakukan oleh situs BBC Sport, total akan terdapat 332 pemain dari negara-negara Uni Eropa atau memiliki paspor negara-negara Uni Eropa di kompetisi Championship dan Liga Primer Skotlandia yang nasibnya terancam tidak bisa merumput. Selain itu, analisis tersebut juga mengungkapkan bahwa hanya terdapat 23 pemain dari 180 pemain asing Uni Eropa di kompetisi Championship yang benar-benar dapat merumput di kompetisi tersebut. Kebanyakan dari 23 pemain tersebut adalah pemain berkewarganegaraan Irlandia dan negara-negara Persemakmuran yang memiliki kewarganegaraan Britania Raya.
            Lalu bagaimana dengan Liga Primer Inggris? Menurut situs Guardian, saat ini terdapat 161 pemain dari berbagai negara UE dan EEA yang bermain di Liga Primer Inggris dan kebanyakan dari mereka terancam tidak bisa merumput di EPL karena mereka harus mengikuti peraturan yang sama dengan pemain-pemain dari negara non-UE. Di Inggris Raya sendiri, saat ini setiap pemain dari luar Uni Eropa yang ingin bermain di Inggris Raya harus memenuhi persyaratan izin kerja yang diterapkan pemerintahan Inggris Raya.
            Persyaratan yang selama ini diterapkan bagi pemain non-UE adalah pemain tersebut harus berasal dari negara yang masuk dalam 70 besar peringkat FIFA dan harus bermain untuk timnas negaranya dalam dua tahun terakhir. Bagi negara dengan peringkat 1 – 10 maka jumlah bermain si pemain harus sebanyak 30 % dari total pertandingan timnas negaranya dalam dua tahun terakhir untuk mendapatkan izin kerja. Kemudian negara peringkat 11 – 20 adalah sebesar 45% dari total pertandingan timnas, kemudian persentasenya meningkat menjadi 60% untuk negara peringkat 21 – 30 dan 75% untuk negara peringkat 31 hingga 70. Dengan persyaratan tersebut, diyakini akan banyak pemain UE dan EEA yang gagal merumput di EPL karena selama ini mereka menikmati keuntungan kebebasan perpindahan barang dan manusia di bawah aturan UE.
            Hal ini mungkin tidak akan berpengaruh besar bagi pemain-pemain bintang seperti Mesut Oezil (Arsenal), Diego Costa (Chelsea) atau Kevin de Bruyne (Manchester City) yang menjadi langganan tim nasional dan timnas mereka masuk dalam 10 besar FIFA. Namun, hal ini akan cukup berpenaruh terhadap beberapa pemain-pemain muda potensial seperti Hector Bellerin (Arsenal). Kurt Zouma (Chelsea) dan Anthony Martial (Manchester United) yang terancam tidak dapat bermain di EPL karena belum memenuhi kuota bermain dalam pertandingan internasional selama dua tahun terakhir.
            Saat ini, hampir seluruh 20 klub yang berlaga di EPL musim lalu memiliki ketergantungan terhadap pemain dari negara-negara UE. Bahkan, juara EPL musim lalu pun hampir sebagian besar pemain intinya dipenuhi pemain dari negara-negara UE dan EEA atau memiliki paspor UE. Keputusan tersebut juga akan membuat klub-klub EPL terutama yang bercokol di papan tengah dan bawah harus mengandalkan pemain-pemain dari Inggris Raya atau Irlandia, itupun dengan jaminan Skotlandia tidak menggelar referendum dan memilih pisah dari Inggris Raya pasca – Brexit, karena pemain-pemain dari negara-negara UE tersebut harus memenuhi kriteria untuk dapat bermain di EPL. Selain itu, kebiasaan beberapa klub besar membajak pemain-pemain muda potensial dari negara anggota UE seperti ketika Arsenal mengambil Bellerin atau Chelsea mengambil Zouma juga tidak bisa dilakukan lagi, karena transfer pemain-pemain tersebut pasti akan terganjal izin kerja.
            Lalu bagaimana dengan nasib EPL apabila pemain-pemain dari UE kesulitan untuk bisa merumput di EPL? Hal ini tentu akan mengurangi daya tarik liga Primer Inggris sendiri. Nilai komersil EPL yang juga mencakup hak siar dan sponsor juga diyakini akan menurun apabila pemain-pemain dari negara-negara UE tersebut sulit untuk merumput, karena pemain-pemain UE tersebut juga yang selama ini memberikan warna menarik dalam persaingan EPL. Investor-investor asing macam Abramovich (Chelsea) dan Sheikh Khaldoon Al-Mubarak (City) yang ingin mengakuisisi klub EPL, juga diyakini akan berpikir ulang untuk menginvestasikan uangnya di EPL karena menurunnya nilai komersil EPL. Hal tersebut jelas akan mempengaruhi pendapatan klub-klub EPL secara signifikan.
            Memang, pembatasan tersebut masih bisa diakali dengan berbagai alternatif, semisal dengan adanya perjanjian khusus antara Inggris Raya dan negara-negara Uni Eropa untuk memperlakukan mereka layaknya pemain lokal, seperti di liga Swiss atau memperlonggar aturan izin kerja bagi pemain Uni Eropa yang ingin bermain di EPL. Namun hal tersebut juga tidak akan mudah mengingat sangat sulit menciptakan suatu perjanjian hanya berdasarkan kepentingan sepakbola semata apalagi status Inggris Raya di UE yang berbeda dengan Swiss, dimana Inggris Raya berstatus desersi, sementara Swiss berstatus anggota potensial di masa depan. Hal tersebut diyakini akan menjadi hambatan tersendiri. Namun, jika FA ingin status liga primer tetap gemerlap seperti saat ini, maka mereka pasti akan mencari jalan terbaik bagi nasib para pemain UE tersebut di EPL.  
            Akan tetapi, hal tersebut tidak selamanya berdampak buruk. Dampak positif yang bisa diraih dari keadaan tersebut adalah makin besarnya kesempatan bagi pemain asli Inggris Raya untuk unjuk gigi di liga mereka sendiri. Selama ini, dengan derasnya arus pemain asing yang masuk di EPL, mereka seakan tersisih dan sulit untuk bersaing dengan pemain dari luar Inggris Raya. Dengan sulitnya kesempatan bagi pemain UE untuk merumput di EPL,maka pemain asli Inggris Raya, terutama Inggris akan mendapatkan kesempatan lebih besar untuk bermain dan berkembang, kedepannya hal tersebut akan mempengaruhi performa timnas Inggris dengan banyaknya pilihan pemain, karena selama ini salah satu masalah mereka dalam berpartisipasi di turnamen besar adalah minimnya pilihan pemain berkualitas yang dapat dipanggil ke timnas.
            Hal-hal positif dan negative dari Brexit terhadap sepakbola Inggris, terutama EPL tersebut memang harus diperhatikan oleh para fans sepakbola yang akan memilih untuk tetap atau keluar dari Uni Eropa pada tanggal 23 Juni nanti, kendati masalah keamanan dan ekonomi tetap menjadi prioritas utama.
Terakhir, penulis bukanlah tipikal pendukung model regionalism ala Uni Eropa dan sejenisnya. Namun, penulis juga tetap menghargai apabila masyarakat Inggris Raya tetap memilih menjadi anggota Uni Eropa. Maka, bagaimana langkah yang harus dilakukan demi masa depan Liga Primer pada tanggal 23 Juni nanti? Jawabannya biarkan rakyat Inggris Raya yang menentukan sendiri nasib mereka.