Sabtu, 25 April 2015

POSMODERNISME




POSMODERNISME

A. PENDAHULUAN

Posmodernisme atau Posstrukturalisme dianggap sebagai teori kritis yang pertama dan paling utama dalam ilmu sosial, termasuk dalam Hubungan Internasional yang didasarkan pada metodologi positivis. Pada dasarnya, pendekatan positivis pada Hubungan Internasional adalah keyakinan ilmiah bahwa tidak mungkin ilmu kumulatif dalam Hubungan Internasional bisa meningkatkan kemutakhiran, presisi, kehematan, prediksi serta kemampuan eksplanatif. (Jackson & Sorensen, 2013)
Positivis sendiri percaya akan adanya kesatuan ilmu, yakni tidak adanya perbedaan fundamental antara ilmu sosial dengan ilmu alam. Positivis berpendapat bahwa metode-metode dalam ilmu alam, termasuk metode kuantitatif dapat diterapkan dalam ilmu sosial dan ilmu alam. (Jackson & Sorensen, 2013)
Makna dari positivis adalah mengumpulkan data yang dapat menyebabkan terjadinya penjelasan ilmiah. Karena itu, dibutuhkan metodologi dan sikap ilmiah di pihak peneliti. Kemudian dari hal tersebut, dapat dilakukan sebuah penjelasan secara empiris mengenai prilaku politik. Hal ini termasuk cara menentukan bagaimana perilaku politik seseorang, serta hasil, proses politik dan sistem yang dihasilkan dari perilaku politik tersebut. (Jackson & Sorensen, 2013)
Positivisme memandang dunia sosial dan politik, termasuk dunia internasional, sebagai tempat yang memiliki pola dan keteraturan yang dapat dijelaskan apabila metodologi yang benar dapat diterapkan secara tepat. Positivis berargumen bahwa observasi dan pengalaman adalah kunci untuk menyusun dan menilai teori-teori ilmiah. Hal ini kemudian dapat berkembang menjadi pengetahuan obyektif dari dunia ini atau setidaknya terjadi banyak kesepakatan inter-subyek. (Jackson & Sorensen, 2013)
Hal ini kemudian ditentang oleh Posmodernisme, yang mana mereka menolak penerapan empiris tersebut pada ilmu sosial. Mereka beranggapan bahwa pendekatan empiris yang hanya berdasarkan pengamatan belaka tidak akan bisa diterapkan dalam ilmu sosial. Dalam melakukan pengamatan tersebut, si peneliti harus dibarengi dengan pemahaman konsep dan teori. Karena tanpa itu, yang bersangkutan hanya akan didikte oleh apa yang ia amati tanpa bisa menemukan kebenaran. (Jackson & Sorensen, 2013)
Posmodernisme adalah salah satu teori yang dianggap paling kontroversial dalam Humanisme dan ilmu sosial. Itu biasanya selalu dihubungkan dengan penyebab kejahatan moral dan politik. Terutama setelah kasus 11 September, dimana Posmodern disalahkan karena dianggap tidak menunjukkan simpati moralnya atas kejadian tersebut, padahal saat itu adalah saat dimana simpati moral ditunjukkan. Namun, Posmodernisme justru lebih menunjukkan sifat skeptis, bahkan lebih condong mendukung tindakan terorisme tersebut. Akan tetapi, para pakar Posmodernisme sendiri tidaklah mendukung tindakan tersebut, Namun, mereka haya mempertanyakan tindakan moral dan epistemologis dari tindakan tersebut (Devetak, 2005).
Makna Posmodernisme tidak hanya terputus antara proponen dan kritik, tapi juga menghubungkan antara proponen. Para pakar sendiri melabeli Posmodernisme dengan istilah “post-strukturalisme” dan “dekonstruksi”. Namun, kadang-kadang mereka menolak melabeli Posmodernisme dengan nama-nama tersebut secara bersamaan. Namun, definisi Posmodernisme sendiri lebih mengutamakan pendekatan pragmatis dan adoptif. (Devetak, 2005)
Posmodernisme lahir karena setiap cara memandang politik internasional adalah berbeda, tergantung dari abstraksi, representasi dan interpretasi. Hal itu terjadi karena dunia tidak hadir kepada kita dalam bentuk pengelompokkan atau teori yang sudah dibuat. Ketika kita berbicara mengenai dunia yang anarkis, akhir dari perang dingin, hubungan gender maupun isu lainnya. Maka, posmodernisme memandang teori yang paling obyektif sekalipun tidak lepas dari interpretasi. (Campbell, 2013)
Siapapun itu baik pemimpin politik, aktivis sosial, akademisi maupun mahasiswa dapat membuat interpretasi mereka sendiri tentang “dunia”, baik mereka terlibat maupun tidak dalam penetapan teori, praktek maupun kajian Hubungan Internasional. Maka kemudian, berarti siapapun dapat membuat pendapatnya sendiri dan diakui sebagai pengetahuan yang sah. Hal ini karena pemahaman terhadap politik internasional bersifat bebas dalam arti hanya terdapat satu kemungkinan diantara beberapa kemungkinan dan tidak bebas dalam arti praktek-praktek sosial dan historis tertentu telah membuat cara dominan dalam membuat “dunia” yang memiliki efek nyata terhadap kita. (Campbell, 2013)
Interpretasi dominan dalam memandang “dunia” telah dibentuk oleh disiplin HI, yang secara tradisional membicarakan negara dan pembuat kebijakannya dalam mengejar kepentingannya untuk melindungi keamanan, hubungan ekonomi dan efek materialnya serta hak-hak bagi mereka yang telah diperlakukan buruk. “Kita” yang membicarakan hal ini dari sudut pandang tertentu seringkali berkulit putih, berasal dari Barat, makmur serta berada dalam zona nyaman. Hal ini mengakibatkan representasi mereka merasuk dalam identitas kita sebagai kerangka acuan dalam membangun kerangka politik dunia. (Campbell, 2013)
Paham Posmodernisme dimasukkan ke ranah HI pada tahun 1980-an melalui pemikiran dari Richard Ashley, James der Derian, Michael D. Shapiro dan R.B.J. Walker. Mereka memfokuskan studi ini sebagai artikulasi kritik meta-teori terhadap teori Neo-Realis dan Neo-Liberalis untuk mendemonstrasikan bagaimana ketajaman asumsi teoritis dari perspektif tradisional dalam memandang politik Internasional. (Campbell, 2013)
Dalam fokusnya terhadap praktik konseptual dan politik yang memasukkan satu hal dan mengesampingkan hal lainnya, pendekatan Posmodernisme terfokus pada bagaimana hubungan antara sisi luar dan dalam dapat dibentuk secara berkesinambungan. Seperti bagi paham Realisme, Negara dibatasi oleh batas antara luar dan dalam, kedaulatan dan anarki serta kita dan mereka. Adapun, Posmodernisme memulai dengan pertanyaan tentang bagaimana negara bisa dinyatakan sebagai aktor penting dalam politik Internasional dan bagaimana negara bisa dinyatakan sebagai aktor tunggal yang rasional. Posmodernisme pada awalnya tampak prihatin dengan praktik kenegaraan yang membuat negara dan kepentingannya tampak wajar dan perlu. Pendekatan ini juga tidak anti serta mengabaikan peran negara dan berusaha berjuang di luar peran negara, karena dalam banyak hal, posmodernisme juga menjelaskan bagaimana negara adalah dasar dari paradigma dan Posmodernisme prihatin dengan produksi konseptual dan sejarah negara serta fomasi politik, ekonomi dan sosialnya. (Campbell, 2013)
Posmodernisme dipandang sebagai kemungkinan terbaik dalam menggambarkan sebuah pandangan terhadap dunia (atau bahkan anti akan pandangan terhadap dunia). Para akademisi yang bekerja terhadap pandangan terhadap dunia ini merasa skeptis terhadap kemungkinan penjelasan teoritis yang menyeluruh terhadap hal-hal yang terjadi di dunia. Mereka memilih untuk tidak mencari teori-teori besar, melainkan untuk memeriksa secara rinci bagaimana dunia datang untuk dilihat dan memikirkan cara-cara tertentu pada saat-saat tertentu juga untuk mempelajari praktik-praktik sosial dalam hubungan kekuasaan dan menghasilkan dukungan. (Edkins, 2007)
Merumuskan grand theory dipandang sebagai praktik sosial diantara praktik-praktik sosial lainnya. Teori-teori tentang bagaimana karya-karya di dunia dianggap sebagai bagian dari dunia, tidak menjadi bagian yang terpisah dan dipelajari oleh Posmodernisme bersama praktik-praktik lainnya. Asumsi awal dari pemikiran posmodernisme adalah tidak ada titik di luar dunia, yang mana dunia itu adalah dunia yang dapat diamati. Semua pengamatan dan sistem teoritis dalam teori fisik atau ilmu pengetahuan alam serta teori sosial adalah bagian dari dunia tempat mereka berusaha untuk menggambarkan atau menjelaskan serta memiliki efek di dunia itu. (Edkins, 2007)

B. KRITIK POSMODERNISME TERHADAP TEORI TRADISIONAL
Posmodernisme memandang setiap teori empiris sebagai sebuah mitos. Setiap teori, termasuk teori Neo-Realis dan Neo-Liberalis, menentukan sendiri apa yang mereka sebut sebagai fakta, sehingga dengan kata lain, tidak ada kebenaran yang obyektif. Semua yang melibatkan tindakan manusia adalah subyektif. Teori-teori dominan dalam HI bisa dikataan sebagai sebuah cerita yang diucapkan secara terus menerus sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran bagi mereka. Namun, hal tersebut bukan berarti hal itu adalah sebuah kebohongan. Hanya saja, dianggap sebagai kebenaran dari satu sudut pandang yang harus dibuktikan dengan cerita kebenaran dari sudut pandang lainnya. (Jackson & Sorensen, 2013)
Pakar-pakar penting teori Posmodernisme seperti Richard Ashley, David Campbell, James der Derian, Michael Saphiro dan Rob Walker banyak mengkritik teori Neo-Realis, seperti Ashley dalam tulisannya di artikel yang berjudul “The Poverty of Neo-Realism” mengkritik teori Neo-Realis adalah teori yang mengklaim bahwa hanay beberapa elemen dari informasi tentang negara berdaulat dalam sistem internasional yang anarkis dapat memberi tahu kita hal yang penting dan besar dalam hubungan antar negara. Teori itu sendiri bahkan mengklaim dapat menjelaskan secara valid tentang politik internasional selama berabad-abad . (Jackson & Sorensen, 2013)
Target kritik Posmodernisme terhadap Neo-Realis adalah biasnya teori tersebut secara historis. Teori tersebut dianggap ahistoris karena pola pikir statis yang menganggap sejarah menciptakan struktur sosial yang tidak dapat diubah hingga hari ini dan hal tersebut adalah pemberian alam. Penekanan ini berlanjut dan terus berulang. (Jackson & Sorensen, 2013)
Peran aktor individu juga dikurangi dalam menciptakan sebuah sisi lain sejarah. Hal ini kemudian menegaskan Neo-Realisme memiliki kesulitan dalam mengasumsikan perubahan yang terjadi dalam hubungan internasional. Setiap alternatif yang akan terjadi di masa depan tetap akan membeku antara kedaulatan domestik dan sistem internasional yang anarkis atau pengurangan kedaulatan negara dengan pembentukan pemerintahan dunia. (Jackson & Sorensen, 2013)
Posmodernisme juga mengkritik Neo-realisme karena kualitas asal usul teori strukturalis.Ini seakan menggambarkan bahwa Neo-realisme memiliki kesulitan dalam mengubah sejarah. Emphasisnya adalah kelanjutan dari sebuah struktur dan pengulangan. Struktur Internasional yang anarkis akan berlanjut hingga kapanpun dan terus berulang. (Sorensen, 1998)
Di sisi lain, Steve Smith mengungkapkan terdapat empat kritik yang diajukan oleh Posmodernisme terhadap teori HI Tradisional. Yang pertama adalah adanay kemungkinan kesatuan ilmu dengan asumsi epistemologi dan ontologi dasar. Kedua adalah etik dan moralitas dari ilmu tradisional tersebut berbeda dengan fakta. Sehingga, mengakibatkan ilmu tersebut tidak bisa dianalisa secara obyektif. Ketiga, terdapat ilmu alam dalama kajian sosial yang dapat dianalisa secara obyektif dan yang terakhir adalah hukum dan fakta dalam ilmu tersebut dapat dipalsukan oleh studi empiris. (Dornelles, 2002)
Sementara Ashley mengkritik pengaruh positivis oleh Kenneth Waltz dengan menganggap membatasi panggung dunia dengan aktor tunggal yaitu negara yang mengawasi jalannya hukum politik internasional. Pandangan ini kemudian menghasilkan pandangan dunia yang seperti bola billiard yang tidak menghormati peraturan dan sering menghasilkan situasi yang tidak stabil dalam politik internasional dan mengakibatkan terjadinya sikap intersubyektif yang mengganggap hukum dibuat dan diterapkan. (Dornelles, 2002)

C. UNSUR DALAM POSMODERNISME

Dalam Posmodernisme, kemudian dikenal dua hal yang saling berkaitan yaitu power dan pengetahuan. Pengetahuan sendiri adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk menciptakan sesuatu berdasarkan hubungan nilai, kepentingan dan kekuatan. Pengetahuan itu sendiri tidak akan rusak karena pengaruh dari luar dan didasarkan atas alasan yang murni. (Devetak, 2005)
menurut Foucaut, terdapat konsistensi yang berlaku secara umum yang tidak dapat berkurang nilainya karena faktor identitas, antara mode interpretasi dan pegoperasian dari power. Power dan pengetahuan bersifat saling mendukung. Mereka secara langsung menyiratkan satu sama lainnya. Sebagai contoh, Foucaut dalam Discipline and Punish (1977) menginvestigasi kemungkinan evolusi sistem penal terhubung secara intim dengan ilmu Humaniora. Argumennya didasarkan pada proses tunggal dari “Epistemologi-yurisdikal” dan formasi mendasari sejarah penjara di satu sisi dengan ilmu humaniora di sisi lain. Dengan kata lain, penjara sesuai dengan kehidupan masyarakat modern dan kehidupan modern menangkap dunia manusia. (Devetak, 2005)
Tipe analisis semacam ini telah diterapkan dalam dunia hubungan internasional oleh banyak pakar. Richard Ashley telah berhasil menemukan satu dimensi dari hubungan power – pengetahuan dari apa yang disebut Foucaut sebagai “rule of immanence” antara pengetahuan dari negara dengan pengetahuan dari setiap manusia. Ashley berargumen bahwa tata negara yang modern adalah tata manusia yang modern. Ia ingin mendemonstrasikan bagaimana paradigma kedaulatan secara simultan memberikan peningkatan terhadap disposisi epistemologis dan catatan terhadap kehidupan politik modern tertentu. (Devetak, 2005)
Hal lainnya yang juga penting untuk dipelajari dalam paham Posmodernisme adalah genealogi atau paham silsilah. Genealogi dipahami sebagai pemikiran historikal yang mengekspose dan mendaftarkan signifikansi antara power dan pengetahuan. Seperti yang dijelaskan oleh Ronald Bleiker bahwa Genealogi terfokus pada proses konstruksi asal mula dan arti yang diberikan oleh representasi masa lalu, repreentasi tersebut memandu kita secara berkesinambungan dalam kehidupan sehari-hari dan menetapkan batasan nyata dalam opsi sosial dan politik. (Devetak, 2005)
Arti fundamental dari Genealogi adalah terpusat pada menuliskan jawaban atas sejarah yang mengekspose proses eksklusi dan melindungi yang memungkinkan untuk terciptanya sebuah ide teleologi dari sebuah peristiwa sejarah sebagai peristiwa terpada dari awal, tengah hingga akhir. Sejarah, dari perspektif genealogi tidak mengenal bukti pengungkapan bertahap terhadap kebenaran dan makna. Sebaliknya, itu adalah proses pengulangan tanpa akhir dari sebuah dominasi. Sejarah adalah hasil dari rangkaian dominasi serta pemaksaan dalam pengetahuan dan kekuasaan. Tugas dari Genealogi adalah mengungkap sejarah berdasarkan aneka jalan yang telah dibina atau tertutup dalam konstitusi subyek, obyek, bidang tindakan dan domain pengetahuan. (Devetak, 2005)
Genealogi menyatakan sebuah perspektif, yang mana menolak kapasitas untuk mengidentifikasi awal mula dan arti dari sejarah yang obyektif. Pendekatan genealogi adalah sebuah pendekatan anti-essentialis dalam orientasi, mengungkapkan ide dari seluruh ilmu dalam waktu bersamaan, dan menempatkan isu dalam perspektif partikuler. Salah satu konteks yang ditetapkan adalah bahwa tidak ada kebenaran yang obyektif, yang ada hanya persaingan perspektif. (Devetak, 2005)
Perspektif sendiri tidaklah bisa dilihat dengan alat optik modern dalam melihat dunia seperti teleskop atau mikroskop, namun juga sangat fabris dalam memandang dunia. Bagi posmodernis, mengikuti pendapat Nietzsche, perspektif menyatu dalam konstitusi dalam memandang dunia nyata. Bukan hanya karena itu adalah satu-satunya aset, namun juga elemen dasar dan penting dalam hal itu. (Devetak, 2005)
Genealogi sendiri bukanlah ilmu yang tidak memiliki masalah. Sejak, perjuangannya melawan bentuk dari kekuatan yang terasosiasi dalam pengetahuan.Kebanyakan, setelah genealogi ditelusuri, dia akan digolongkan ke dalam rumpun uniter, yang mana banyak ditolak oleh rumpun ilmu pengetahuan. Maka, genealogi kembali menjadi bagian dari efek power dan pengetahuan. (Edkins, 2007)
Salah satu contoh kasus dalam Genealogi adalah peristiwa 11 September 2001, yaitu meledaknya dua menara kembar di kota New York akibat ditabrak oleh pesawat. Para pakar Posmodernisme kemudian membandingkan kejadian ini dengan serangan Jepang ke Pearl Harbour tahun 1941.
Perbandingan ini terjadi karena dua kejadian tersebut menginisiasi keterlibatan Amerika Serikat dalam sebuah perang. Pada serangan Pearl Harbour pada tahun 1941 pada akhirnya membuat Amerika Serikat resmi terjun dalam pertempuran di Pasifik dan ikut berperan aktif dalam Perang Dunia II. Adapun, serangan 11 September 2001 menginisasi keterlibatan Amerika Serikat dalam peperangan asimetris melawan terorisme. Walaupun, Amerika Serikat juga terlibat dalam peperangan langsung dengan invasi ke Afghanistan dan Iraq setelah kejadian 11 September.
Maka, bagi para pakar Posmodernisme, kejadian yang terjadi di masa lalu bukan tidak mungkin bsia diulang lagi dan digunakan oleh aktor yang sama untuk kepentingan serupa.
Dekonstruksi adalah mode umum yang diambil menjadi konsep yang stabil dan oposisi kontekstual. Titik utamanya adalah untuk menunjukkan efek dan biaya yang dihasilkan oleh konsep menetap dan oposisi. Menurut Derrida, konsepsi oposisi tidak pernah bersikap netral, namun bersikap hierarkial. Salah satu dari dua istilah dalam oposisi adalah hak istimewa atas lainnya. Istilah istimewa ini konon berkonotasi kehadiran, kepatutan,
kepenuhan, kemurnian, atau identitas yang lain tidak memiliki (misalnya, Kedaulatan sebagai lawan anarki). Dekonstruksi upaya untuk menunjukkan bahwa oposisi tersebut tidak dapat dipertahankan, karena setiap istilah selalu sudah tergantung pada yang lain. Memang, istilah keuntungan hak istimewa yang hanya dengan mengingkari ketergantungannya pada istilah bawahan. (Devetak, 2007)
Dekonstruksi adalah ungkapan spesifik yang dielaborasikan oleh Derida dan banyak memiliki bukti dalam pendekatannya dengan posmodernisme di hubungan internasional. Dekonstruksi adalah lawan dari konstruksi. Untuk memahami pola ini, maka harus terlebih dahulu memahami kritik Derrida terhadap metafisika barat atau biasa disebut logosentrisme. (Edkins, 2007)
Logosentrisme, cara penalaran yang penting untuk pemikiran kontemporer. Secara spesifik berasal dari Eropa. Beroperasi secara dikotomi seperti bagian dalam/luar, pria/wanita, dan mengingat/melupakan. Masing-masing membentuk suatu hierarki. Dimana, termin pertama dalam pasangan ini dipandang lebih utama daripada yang kedua. Namun, Derrida kembali menegaskan bahwa termin prioritas tidak dapat bergerak tanpa bayangannya sendiri. (Edkins, 2007)
Salah satu serangan terbesar yang dilakukan oleh Posmodernisme terhadap naratif Logosentris di ilmu tradisional HI adalah dikotomi anarki dan kedaulatan. Ini adalah salah satu pemikiran pusat dari realisme. Hal ini karena bagi konsep keamanan realis,baik skema struktur internasional atau antara negarawan yang bertindak rasional, kondisi dunia di luar batas sebuah negara adalah dunia yang berbahaya atau anarkis. Dimana, tidak ada hukum atau peraturan yang mengatur. (Dornelles, 2002)
kemudian, hal lain yang juga menjadi salah satu pola pikir dalam Posmodernisme adalah “Double Reading”. Hal ini mengacu pada pemikiran Derrida untuk menjelaskan hubungan antara efek stabilitas dengan destabilitas adalah dengan membaca lebih dari dua kali untuk sebuah analisis. “Double Reading” adalah strategi duplikasi yang secara simultan dapat dipercaya. Pembacaan yang pertama bertujuan untuk mengomentari atau merepetisi interpretasi yang dominan dalam isu tersebut. Sedang pembacaan yang kedua bertujuan untuk kembali mengingat hal yang dirasa tidak pas dalam isu tersebut. Dimana, penekanan dari pengingatan in iditujukan kepada teks, pendekatan dan institusi dari isu tersebut. (Devetak, 2005)

D. KRITIK ATAS POSMODERNISME

Posmodernisme sendiri walau banyak mengkritik teori tradisional HI tidak membuat dia sendiri menjadi teori yang bebas kritik. Salah satu yang menjadi sasaran kritik adalah sisi emphasis posmodernisme terhadap tekstualitas. Hal Ini membuat Posmodernisme dianggap sebagai teori yang teori relativisme nihil total. Dengan menolak realita obyektif dan menyatakan bahwa seluruh teori HI tidak punya landasan berpijak, maka Posmodernisme dianggap sebagai teori yang tidak memiliki mekanisme dalam menguhubungkan satu teori dengan teori lainnya. (Dornelles, 2002)
Vazquez, salah satu orang yang menghargai kontribusi teori Posmodernisme beranggapan bahwa jika seluruh realita adalah konstruksi sosial, maka Posmodernisme sendiri tidaklah lebih dari sebuah konstruksi sosial. Sebagai contoh adalah bagaimana mungkin Posmodernisme menganggap dekonstruksi dari prosedur logosentrisme adalah yang paling benar, maka bagaimana mereka mempertahankan thesis bahwa mengapa logosentrisme adalah yang paling benar. Mendapat soal seperti ini, maka jawaban dari Posmodernisme adalah pertanyaan seperti itu hanya cocok apabila dilakukan dengan pendekatan positivis-empiris. Dimana kemungkinan terdapat metode obyektif yang dapat memfalsifikasi teori. (Dornelles,2002)
Anggapan bahwa Posmodernisme memunculkan anarki epistemologis yang kemudian menghasilkan strategi delegitimasi yang menolak semua pandangan dibalik batas pendekatan “saintifik”, sebuah definisi yang diciptakan oleh positivis. Namun, kendati demikian, tuduhan “nihilisme” atau “anything goes”lebih tepat diarahkan pada realis atau teori non-kritikal lainnya yang menolak etika politik teori. Kritik-kritik tersebut juga menuduh Posmodernisme sebagai teori yang anti-empiris. (Dornelles, 2002)
Para kritikus juga menganggap Posmodernisme terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk mengkritik teori lain daripada membangun teorinya sendiri dalam analisa Hubungan Internasional. Selain itu, Posmodernisme dianggap sebagai teori yang kanibalistik, karena menghabiskan waktunya mengkritik teori lain tanpa memberikan sumbangsih akan pandangannya terhadap dunia dari sudut pandang Hubungan Internasional. (Campbell, 2013)
Robert O. Keohane menambahkan bahwa Posmodernisme harus bisa membuktikan bahwa mereka bisa menjadi sisi terang dalam kasus penting di politik global. Sampai hal itu terjadi, maka mereka hanyalah sebuah “margins of field”, yang tidak terlihat sebagai bukti dari teori empiris nyata, yang kebanyakan secara eksplisit dan implisit menerima satu atau versi lain dari premis rasional. (Campbell, 2013)
Thomas Bierstekers juga menambahkan bahwa teori Posmodernisme akan membimbing umat manusia jatuh kepada sebuah gang yang gelap. Biersteker beranggapan bahwa bagaimana mungkin menganggap Posmodernisme sebagai post-positivis pluralis jika mereka tidak memiliki kriteria alternatif. Biersteker bahkan mempertanyakan status Posmodernisme sebagai teori penolakan, intoleran atau lebih buruk dari itu. (Campbell, 2013)

E. KESIMPULAN

Teori Posmodernisme dalam kajian Hubungan Internasional bisa dianggap sebagai suatu kajian baru yang berbeda dengan yang lainnya. Karena dalam teori ini, mereka menganggap bahwa tidak adanya kebenaran dalam sebuah paradigma Hubungan Internasional, namun yang ada hanyalah peperangan perspektif antara satu teori dengan teori lainnya. Teori ini juga berhasil membuat para pakar menganalisa fenomena dalam Hubungan Internasional dengan cara yang berbeda. Dua diantaranya yang paling banyak digunakan adalah Genealogi dan Dekonstruksi.
Posmodernisme juga membuat manusia untuk mampu berpikir kritis dan tidak menelan mentah-mentah teori yang ada. Posmodernisme juga menyerang teori-teori tradisional yang sudah ada, terutama Neo-Realis dan Neo-Liberalis yang dianggap menciptakan sebuah fakta yang dianggap belum dapat dibuktikan, termasuk sistem internasional yang anarkis.
Akan tetapi, kendati teori ini banyak dikritik sebagai teori yang tidak bisa menghasilkan solusi dan kanibal. Namun, teori ini terbukti berhasil diterapkan dalam berbagai kasus daripada pendekatan-pendekatan teori positivis. Seperti contohnya kebijakan luar negeri di Korea, Bosnia dan Amerika Serikat. Dalam kasus Bosnia, kebijakan luar negeri tidak hanya didasarkan pada hasil yang konkrit, namun juga dihubungkan pada identitas, fakta dan kejadian yang terjadi di lapangan. Pendekatan Balkan dan Genosida membuat Inggris dan Amerika Serikat berhasil menerapkan kebijakan yang tepat dalam kasus ini.


F. DAFTAR PUSTAKA

Campbell, David (2013). Post-Structuralism in Dunne, Tim et al, International Relations Theories : Discipline and Diversity : Third Edition (pp 223 – 246), Oxford : Oxford University Press
Devetak, Richard (2005). Theories of International Relations : 3rd Edtition , New York : Palgrave MacMillan
Dornelles, Felipe Krauss (2002). Postmodernism and IR : From Disparate Critique to A Coherent Theory of Global Politics. Global Politics Network , 1-19
Edkins, Jenny (2007) . Post-Structuralism in Griffiths, Martin, International Relations for twenty-first century : An Introduction (pp. 88 – 98). New York : Routledge
Sorensen, Georg (1998). IR Theory after the Cold War in Dunne,Tim et al, The Eighty years crisis : International Relations 1919 – 1999 (pp.83-100), Cambridge : Cambridge University Press
Sorensen, Georg & Jackson, Robert (2013). Introduction to International Relations : Theories and Approach : Fifth Edition, Oxford : Oxford University Press




DIPLOMASI PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT DALAM PERANG AS – MEKSIKO 1846 – 1848

1. Pendahuluan
            Perang yang terjadi antara Amerika Serikat dan Meksiko pada tahun 1846 hingga 1848 adalah salah satu perang yang penting dalam tonggak sejarah Amerika Serikat, walaupun tidak terlalu banyak mendapat sorotan publik layaknya Perang Sipil. Tercatat lima negara bagian, yaitu California, Nevada, Arizona, Utah dan New Mexico, resmi bergabung menjadi bagian dari Amerika Serikat usai perang ini. Peperangan ini juga menjadi perang pertama yang dilakukan Amerika Serikat setelah merdeka terhadap negara lain. Perang AS – Meksiko ini pada akhirnya juga turut berpengaruh dalam terjadinya perang sipil di AS antara tahun 1861 – 1865.
            Permasalahan yang terjadi dalam perang AS – Meksiko ini adalah keinginan Amerika Serikat untuk memperluas wilayahnya karena semakin tingginya kebutuhan mereka akan lahan baru, seiring semakin tingginya arus imigrasi ke negara tersebut. Maka, dimulailah proses diplomasi dari presiden AS kala itu, James K. Polk, untuk bisa meyakinkan pemerintah Meksiko agar bersedia menjual lima negara bagian yang diinginkan tersebut serta usaha Polk untuk meyakinkan kongres bahwa bergabungnya lima negara bagian tersebut adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh Amerika Serikat.
            Namun, pada kenyataanya. Meksiko tidak mau menjual wilayah mereka kepada AS. Apalagi mereka masih marah dengan tindakan pemerintah AS yang menganeksasi Texas menjadi wilayah mereka pada tahun 1845. Adapun, kongres AS sendiri banyak yang menentang perang tersebut karena kekhawatiran mereka akan bertambahnya negara bagian baru yang melegalkan perbudakan, padahal banyak dari anggota kongres terutama dari wilayah Utara yang menginginkan perbudakan dihapus dan pertanian di Selatan diganti menjadi industri.
            Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses diplomasi yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat, dalam hal ini presiden James K. Polk, dalam mempengaruhi kongres dan pemerintah Meksiko untuk bisa melaksanakan kepentingan nasionalnya mendapatkan California dan negara bagian lainnya serta legitimasi atas wilayah Texas, termasuk dengan melancarkan peperangan.

2. Proses Berjalannya Diplomasi Pemerintah Amerika Serikat
            Dalam perjalanannya, proses diplomasi yang dilakukan oleh presiden AS, James K. Polk bermula ketika ia mengirim jendral Zachary Taylor ke Texas pada tanggal 18 Juli 1845 untuk melindungi wilayah perbatasan Texas dari serbuan tentara Meksiko, sekaligus untuk mempercepat proses bergabungnya Texas menjadi negara bagian Amerika Serikat yang pada akhirnya bergabung pada tanggal 27 Desember 1845 (Rives, 1913 p.2).
            Di sisi lain, ia juga mengirim surat kepada Thomas Larkin, konsulat AS di wilayah Alta California mengenai ketertarikan Polk untuk menjadikan California sebagai negara bagian tambahannya. Hal ini ditunjukkan dengan dukungannya terhadap kemerdekaan Alta California dari Meksiko dengan kesediannya mengirimkan voluntir ke wilayah tersebut (Rives, 1913 p.2).
            Untuk memuluskan langkahnya dan mencegah Inggris mengganggu ambisinya, Polk segera menandatangani traktat Oregon, di mana Amerika Serikat juga sedang berperang dengan Inggris untuk merebut wilayah Oregon. Usai menandatangani traktat Oregon, Polk segera mengutus John C. Fremont      untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Amerika Serikat di Texas yaitu membiayai imigran-imigran Amerika Serikat di wilayah tersebut untuk memberontak dan merebut kemerdekaan dari Meksiko (Rives, 1913 p.3).
            Untuk mengambil simpati pemerintah Meksiko, Polk lalu mengirim utusannya, John Slidell ke Mexico City untuk menemui Presiden Meksiko, Jose Herrera, untuk bernegosiasi mengenai  pembelian wilayah California dari Meksiko serta negara bagian lainnya. Untuk melindungi Slidell, Polk juga mengirimkan tentaranya ke Rio Grande, yang diklaim sebagai wilayah perbatasan Texas (Pletcher, 2014).
            Namun, kedatangan Slidell ke Mexico City ternyata tidak disambut dengan baik oleh Herrera dan rakyat Meksiko. Rakyat Meksiko yang masih marah dengan dukungan Amerika Serikat terhadap kemerdekaan Texas tentu tidak ingin lagi kehilangan wilayahnya. Maka, seusai Slidell pergi meninggalkan Mexico City, Herrera segera mengirimkan tentaranya ke Rio Grande untuk bertempur melawan tentara Amerika Serikat yang ditugaskan disana (Pletcher, 2014).
            Serangan tentara Meksiko terhadap pasukan AS di Rio Grande ini telah memberikan legitimasi kepada Polk untuk memulai peperangan melawan Meksiko. Namun, walaupun Polk dan kabinetnya sudah bersiap untuk melancarkan peperangan. Kongres pada kala itu, masih terbelah antara berperang dan menjaga perdamaian dengan tentara Meksiko.
            Polk kemudian mengirimkan surat kepada kongres pada tanggal 11 Mei 1846 yang isinya menyatakan bahwa pemerintah Meksiko tidak hanya menolak utusan pemerintah AS yang diutus untuk melakukan pembicaraan damai, tetapi juga telah menginvasi wilayah AS dan menumpahkan darah tentara AS di wilayah kedaulatan AS. Dalam pesannya, Polk juga menekankan bahwa peperangan saat itu sedang terjadi di wilayah kedaulatan AS (Fisher, 2009 p.2).
            Kendati demikian, tidak semua anggota kongres setuju dengan pernyataan Polk bahwa peperangan sedang terjadi di tanah Amerika Serikat. Dalam perdebatan antara senat dan anggota kongres, beberapa senator seperti William Allen dan John Calhoun menyatakan bahwa peperangan tidak pernah terjadi. Calhoun bahkan menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara pertempuran dan peperangan. Ia juga menambahkan bahwa adanya kemungkinan terjadinya invasi tanpa dibarengi peperangan, namun ia segera menegaskan bahwa sudah tugas suci pemerintah AS untuk memulai sebuah peperangan apabila kedaulatannya dilanggar (Fisher, 2009 p.2).
            Kecerdikan diplomasi Polk meyakinkan kongres pada akhirnya membuat kongres setuju untuk mengirimkan 15.000 pasukan untuk berperang melawan tentara Meksiko. Namun, walaupun demikian, perdebatan di parlemen masih terus terjadi. Anggota kongres dari partai Republik, Garrett Davis menyatakan bahwa telah terjadi pertempuran antara tentara Amerika Serikat dan Meksiko. Akan tetapi, ia menolak klaim yang menyatakan bahwa Meksiko bersalah dalam peperangan ini karena telah menciptakan pertumpahan darah di tanah AS, tanpa didukung bukti yang kuat. Davis justru menuding balik pihak Amerika Serikat yang memulai peperangan ini dengan mencaplok wilayah Meksiko dan memulai invasi disana (Fisher, 2009 p.3).
            Beberapa sejarawan meyakini bahwa penolakan atas invasi ke Meksiko ini didasari atas kekhawatiran bertambahnya jumlah negara bagian yang mengizinkan praktik perbudakan di wilayah Selatan. Padahal, praktik perbudakan sendiri bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Disamping itu, keberadaan para budak ini juga akan membuat proses industrialisasi di wilayah selatan, yang ekonominya masih bergantung kepada pertanian dan perkebunan, menjadi semakin sulit. Sehingga kemudian muncul banyak tudingan bahwa para pemilik budak dan kaum abolisionis di tubuh pemerintahan Polk adalah golongan yang bertanggung jawab dalam memicu peperangan antara AS dengan Meksiko (globalsecurity.org, 2014)
            Pada akhirnya, walau diwarnai banyak penolakan. Senat akhirnya sepakat untuk meloloskan Undang-undang yang menyatakan telah terjadi peperangan. Mayoritas dari anggota dewan Senat setuju untuk meloloskan undang-undang tersebut. Sementara itu, tiga senator termasuk Calhoun memlih absen karena keberatan dengan adanya RUU tersebut. Dengan disahkannya UU yang menyatakan peperangan tersebut, maka pemerintah segera mengirim 10.000 voluntir untuk diterjunkan dalam peperangan melawan Meksiko serta bantuan senilai 10 Juta Dollar AS agar AS bisa memenangi peperangan tersebut (Fisher, 2009 p.3).
            Polk sendiri merasa yakin bisa memenangi peperangan tersebut. Maka, ia pun segera mengirim utusannya secara rahasia untuk menemui mantan diktator Meksiko, Antonio Lopez de Santa Ana yang sedang diasingkan ke Kuba setelah kekalahannya secara memalukan dalam Revolusi Texas tahun 1835. Polk ingin membujuk Santa Ana agar menyetujui penjualan California kepada AS. Santa Ana sendiri menyetujui penjualan tersebut, asalkan ia dibantu untuk kembali berkuasa. Maka, Polk pun segera memerintahkan Angkatan Laut AS untuk membawa Santa Ana kembali ke Meksiko dan merebut kekuasaan. Sayangnya, perhitungan Polk kali ini salah. Usai dibantu kembai berkuasa, Santa Ana justru melanggar kesepakatan yang telah dibuat dan berbalik memimpin tentaranya melawan tentara Amerika Serikat (globalsecurity.org, 2014).
            Sementara di medan perang, tentara Meksiko terus terdesak. Tentara AS dibawah arahan jendral   Winfried Scott, berhasil menguasai Mexico City pada tanggal 23 Februari 1847 dan dilanjutkan menguasai kota pelabuhan Veracruz pada tanggal 29 Maret 1847. Hal ini merupakan sebuah pencapaian besar dalam sejarah militer AS, karena untuk pertama kalinya mereka berhasil memenangkan pertempuran di luar negara mereka. Hal ini juga menjadi jaminan bahwa kemenangan dalam peperangan antara AS – Meksiko sudah mulai dapat dipastikan (Globalsecurity.org, 2014).
            Dalam kondisi demikian, Polk memutuskan mengirim perwakilan diplomatik khusus yang diberi kuasa untuk bernegosiasi perdamaian kapanpun Meksiko bersedia. Pada akhirnya, gencatan senjata pun disetujui. Tetapi, tentara Meksiko di bawah arahan Santa Ana ternyata menolak menyerah dan Santa Ana selalu menggunakan momen gencatan senjata untuk menyiapkan peperangan selanjutnya (globalsecurity.org, 2014).
            Dengan kalahnya tentara Meksiko dari sisi kekuatan persenjataan dan taktik bertempur ditambah dengan konflik internal antara pemerintah Meksiko dengan pemberontak Yucatan, membuat Pemerintah Meksiko resmi menyerah kepada pemerintah AS pada tanggal 14 September 1847. Mereka pun akhirnya terpaksa menandatangani perjanjian Hidalgo Guadelupe. Perjanjian ini ditandatangani oleh diplomat AS, Nicholas Trist serta perwakilan pemerintah Meksiko, Luis G. Cuevas, Bernardo Couto, dan Miguel Atristain (www.loc.gov, 2014).
            Isi dari perjanjian ini menyatakan bahwa Amerika Serikat berhak mendapatkan kontrol penuh atas Texas, menetapkan perbatasan baru AS – Meksiko di wilayah Rio Grande, dan mendapatkan lahan baru yang mencakup California, Nevada, Arizona, New Mexico, Utah, Colorado serta beberapa wilayah Oklahoma, Kansas dan Wyoming. Sebagai gantinya, pemerintah Meksiko mendapatkan uang sebesar 15 juta dolar AS, yang jumlahnya separuh lebih kecil dari tawaran pertama AS serta penghapusan utang Meksiko sebesar 32,5 juta dolar AS (globalsecurity.org, 2014).
            Namun, kendati sudah mendapatkan California dan negara bagian lainnya. Polk ternyata masih belum puas dengan apa yang ia dapatkan. Ia masih berusaha menginginkan tambahan lahan lain. Hanya saja, ia sadar bahwa untuk mendapatkan keinginannya, Polk harus memulai kembali sebuah peperangan dan kongres kemungkinan besar akan menolak terjadinya peperangan baru. Maka, ia pun bersikap mengalah dan segera menyerahkan perjanjian tersebut kepada senat dan kemudian disetujui. Perjanjian ini pun kemudian juga disetujui oleh kongres Meksiko sehingga peperangan antar kedua negara ini resmi berakhir pada bulan Mei 1848 (globalsecurity.org, 2014).
3. Kesimpulan
            Perang AS – Meksiko ini tercipta karena masalah yang dialami sebuah negara baru yang mengalami kekurangan lahan dan berambisi memperluas lahannya seiring dengan kedatangan jumlah imigran ke AS yang semakin pesat. Paham Manifest Destiny yang melegitimasi setiap orang kulit putih memiliki hak untuk mengambil setiap lahan kosong di benua Amerika juga mendorong terjadinya gelombang perluasan wilayah sebesar-sebesarnya. AS, dalam hal ini diwakili sang presiden, James K. Polk, memang sangat bersemangat dalam hal ini. Mulai dari menganeksasi Texas hingga ambisinya membeli California yang berujung peperangan selama satu setengah tahun dengan Meksiko.
            Penulis meyakini bahwa ambisi Polk tersebut tidak lepas dari potensi ekonomis yang dimiliki oleh negara bagian tersebut. Seperti halnya Texas yang memiliki cadangan minyak dan California yang memiliki cadangan emas. Hal ini juga dikarenakan AS masih belum sepenuhnya pulih dari krisis yang menerpa mereka pada tahun 1837 dan mereka harus mencari lahan baru yang subur dan produktif  untuk menunjang perekonomian negaranya.
            Akan tetapi, Polk sendiri dalam kebijakannya, terlihat tidak begitu ingin berperang dengan Meksiko. Ia memutuskan berperang hanya untuk memastikan bahwa wilayah yang diincarnya bisa menjadi bagian dari AS, karena ia menganggap bahwa peperangan akan dengan cepat berakhir. Ini terlihat dari kebijakannya selama peperangan yang memberikan Meksiko kesempatan untuk melakukan pembicaraan damai kapanpun juga ditambah keputusannya untuk memberikan uang ganti rugi kepada pemerintah Meksiko dan penghapusan utang, walaupun mereka dalam hal ini bertindak sebagai pemenang perang.
            Maka, jelas sudah bahwa diplomasi yang dilakukan pemerintah AS, dalam hal ini Presiden James K. Polk, dalam mengamankan kepentingan nasionalnya di perang AS – Meksiko 1846 – 1848 berlangsung dengan baik. Keberhasilannya meyakinkan kongres serta menekan pemerintah Meksiko untuk melakukan perundingan damai, walau hal itu harus dilakukan dengan hard power terbukti mampu menuai hasil. AS pun mendapatkan apa yang diinginkannya yaitu wilayah negara bagian baru serta legitimasi atas wilayah Texas. Adapun Meksiko, walaupun harus mengakui kekalahan, namun mereka masih mendapatkan hadiah berupa uang ganti rugi dan penghapusan hutang.

4. Daftar Acuan

Fisher, Louis, 2009, The Mexican's War and Lincoln's Spot Resolution, The Law of Library Congress Journal

Pletcher, David M., 2014, James K. Polk and US – Mexican's War : A Policy Appraisal, Indiana University Journal

Rives, George Lockhart, 1913, The United States and Mexico, 1821–1848: a history of the relations between the two countries from the independence of Mexico to the close of the war with the United States,          New York, Charles Bounville Books.


http://www.loc.gov/rr/program/bib/ourdocs/Guadalupe.html diakses pada tanggal 13 Agustus 2014





DIPLOMASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI GUGATAN PT. NEWMONT NUSA TENGGARA TERKAIT DIBERLAKUKANNYA UU MINERBA


A.    Pendahuluan
Kisruh yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang berujung pada dibawanya kasus ini ke badan arbitrase diawali oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang ingin menerapkan peraturan kebijakan Undang-undang no. 4 tahun 2009 tentang peraturan pertambangan mineral dan batubara. Peraturan ini melarang perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia untuk melakukan ekspor mineral dan batu bara mentah, tanpa diolah dan dimurnikan terlebih dahulu di smelter yang dibuat di wilayah Indonesia. (Deteksi.co, 2014)
Undang-undang ini juga mengharuskan setiap perusahaan tambang untuk memiliki fasilitas peleburan dan pengolahan pada tahun 2014. Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut memerlukan dukungan dalam bentuk peraturan yang lebih operasional di tingkat kementerian. Salah satu tindaklanjut dari undang-undang ini adalah terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. (Deteksi.co, 2014)
Pemerintah dan DPR dalam menerapkan UU ini menurut Marwan Batubara, pengamat energi dan mineral dari IRESS,memiliki dasar sendiri, yaitu karena nilai ekspor dalam bentuk mineral mentah sangatlah murah. Padahal selama ini, perusahaan tambang telah mengeksploitasi bahan mentah tambang di Indonesia yang kemudian di ekspor ke negara asal perusahaan tersebut. Di negara induk tersebut, bahan tambang tersebutdiolah menjadi barang jadi dan kemudian diekspor kembal ike Indonesia dengan harga tinggi. (Rizal, 2013). Sehingga wajar apabila pemerintah Indonesia ingin menambahkan nilai jual dari produk tambang mineral dan batu bara dengan mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter.
Akan tetapi, penerapan peraturan ini kemudian banyak ditentang oleh banyak perusahaan tambang, karena dianggap memberatkan. Seperti Asosiasi Pengusaha Mineral se-Indonesia (Apemindo) yang mendatangi komisi VII DPR-RI dan meminta pemerintah membatalkan pelaksanaan UU Minerba, karena Apemindo menganggap pemerintah tidak siap untuk memfasilitasi pembangunan smelter. (Rizal, 2013)
Dari sekian banyak perusahaan tambang yang menolak keberadaan UU ini, terdapat dua perusahaan tambang yang paling gencar dalam menolak yaitu PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Kedua perusahaan ini bahkan mengancam akan menghentikan produksinya di Indonesia yang akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan apabila pemerintah benar-benar menerapkan UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba (Radhy, 2014). tidak adanya kesepahaman antara pemerintah dengan dua perusahaan tambang ini kemudian membuat PT. NNT membawa permasalahan ini ke ranah hukum dengan menggugat pemerintah Indonesia ke jalur hukum melalui mahkamah arbitrase internasional melalui the International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID).

B.     DIPLOMASI PEMERINTAH INDONESIA DENGAN PT. NNT
Pengertian Diplomasi menurut kamus besar Oxford adalah seni untuk menghadapi masyarakat sehingga kepentingan dari si pemilik kepentingannya bisa selesai dengan lancar. (Steger, 2003, p. 7). Diplomasi tidak hanya bisa berlangsung secara eksternal, namun juga dalam aspek internal, yaitu negara secara sengaja melakukan diplomasi terhadap entitas di dalam negeri mengenai kepentingan dan tingkah lakunya. Dalam pandangan ini menekankan bahwa diplomasi adalah satu hal yang dilakukan oleh negara, dengan menggunakan seluruh sumber daya legal mereka dalam menjalankan aksinya. (Hurd, 2011, p. 585)
Di era Globalisasi, Diplomasi berkembang tidak hanya melibatkan negara dengan negara. Aktor-aktor baru seperti perusahaan multi-nasional, lembaga swadaya masyarakat hingga lembaga survey menjadi aktor baru dalam proses diplomasi. Negara dengan lembaga non-negara banyak terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan diplomasi untuk merebut sumber daya, pasar dan legitimasi, yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan dari pemerintah. (Saner & Yiu, 2008, pp. 85-86)
Dalam perjalanannya, Pemerintah Indonesia terus berdiplomasi dengan PT. Newmont untuk dapat mengikuti UU No.4 tahun 2009 dan membatalkan tuntutannya terhadap mahkamah arbitrase. Hal ini bermula dari keengganan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) untuk menjalankan UU no.4 tahun 2009 tentang Minerba karena dianggap merugikan mereka. Pemerintah Indonesia kemudian terkesan melunak dan mengeluarkan beleid terbaru untuk mendispensasi Newmont dan Freeport yaitu dengan mengeluarkan PP Nomor 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Ketiga Permen ESDM Nomor 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral (Wijayanto, 2014).
Kendati dianggap bertentangan dengan UU no. 4 tahun 2009 pemerintah melalui Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Dede Suhendra menyatakan bahwa Freeport dan Newmont telah melakukan pengolahan mineral mencapai kadar 30 persen berupa konsentrat tembaga. Karena itu, kedua perusahaan tambang asing tersebut tetap diberikan kelonggaran untuk mengekspor bahan mentah mineral milik negara.Menurut Dede, Freeport dan Newmont telah mengolah hasil tambang dengan kadar cuprum (Cu) mencapai 25 persen. Padahal larangan ekspor yang telah disepakati kadar Cu hanya sampai 15 persen.(Wijayanto, 2014).
Kendati sudah mendapat kelonggaran, namun ternyata hal itu tidak memuaskan PT.NNT. Mereka kali ini mempermasalahkan Bea Keluar (BK) yang dianggap berpotensi mengurangi pendapatan keuntungan mereka. Karena itu, mereka pun kemudian membawa masalah ini ke pengadilan ICSID. (Hartono, 2014)
Keputusan yang dilakukan Newmont ini membuat pemerintah Indonesia kecewa, karena mereka merasa bahwa pemerintah dan PT.NNT sedang melakukan perundingan terkait UU Minerba. Melalui Menteri perekonomian, Chairul Tanjung, Pemerintah mengatakan bahwa perundingan dengan berbagai perusahaan tambang sedang dilakukan dan apabila kesepakatan sudah dicapai, maka PT. NNT bersama Freeport dan perusahaan tambang lainnya bisa kembali beroperasi dan mengekspor hasil tambangnya dengan nilai bea keluar. (Ratya, 2014)
Sebelum melakukan gugatan, Pemerintah Indonesia sudah memberlakukan larangan untuk mengekspor bahan tambang mentah. Hal ini kemudian, memaksa PT. NNT menutup tambang tembaganya di lapangan Batu Hijau. Hal ini memaksa PT. NNT memberlakukan force majeur dan ini menjadi salah satu alasan dalam delik pengaduan. Hal ini, pajak baru yang diterapkan oleh pemerintah sebesar 25 persen dan akan meningkat menjadi 60 persen pada 2016. (Proctor, 2014)
Namun, Presiden Direktur PT.NNT, Martiono Hadianto menyatakan bahwa langkah yang dilakukan PT.NNT ini adalah langkah terakhir yang dilakukan PT. NNT dan para pemegang saham karena mereka merasa bahwa mereka harus membawa ke mahkamah internasional untuk memastikan pekerjaan-pekerjaan, hak-hak serta kepentingan-kepentingan para pemangku kepentingan perusahaan terlindungi juga sudah memberikan devisa yang besar bagi Indonesia selama ini. (Ratya, 2014)
PT.NNT juga memberikan syarat kepada pemerintah Indonesia apabila mereka ingin PT. NNT mencabut gugatan mereka, maka pemerintah Indonesia harus mencabut larangan ekspor mineral mereka sehingga operasional tambang mereka kembali pulih. Apa yang dilakukan PT.NNT membuat pemerintah Indonesia marah, mereka berargumen bahwa gugatan tersebut tidak etis karena dilakukan di tengah proses perundingan. Adapun menurut Dirjen Minerba Kementerian ESDM, R. Sukhyar, proses perundingan sudah mencapai kesepakatan dalam beberapa klausul. Sedangkan klausul yang masih belum mencapai kesepakatan adalah klausul besaran royalti yang dibayarkan PT.NNT kepada pemerintah Indonesia. (Khafid & Rikang, 2014) 
Pemerintah Indonesia tidak  tinggal diam terhadap langkah yang dilakukan oleh PT.NNT. Menteri Perekonomian, Chairul Tanjung sudah menyiapkan sanksi kepada PT. NTT apabila mereka tidak mencabut gugatan. Hal ini dirapatkan dalam sidang cabinet pada tanggal 10 Juli 2014. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tetap membuka ruang untuk Newmont jika ingin kembali ke meja perundingan. (Wicaksono, 2014)
Selain itu, pemerintah Indonesia sudah bersiap untuk melawan PT.NNT yang membawa permasalahan ini. Bahkan pemerintah Indonesia sudah siap menggugat balik PT.NNT ke mahkamah arbitrase dan menyewa pengacara terbaik untuk melawan gugatan PT.NNT. Hal ini dikemukakan oleh menteri perindustrian, M.S. Hidayat setelah berdiskusi dengan menteri perekonomian, Chairul Tanjung. (Jumadil Akhir, 2014)
Setelah melalui proses diplomasi panjang, pihak Newmont akhirnya membatalkan tuntutannya ke mahkamah arbitrase internasional pada tanggal 26 Agustus 2014 setelah merasa adanya solusi konstruktif untuk kembali berunding dengan pemerintah Indonesia. Hal ini menurut Martiono akan kembali membuka jalan bagi PT.NNT untuk kembali melakukan kegiatan ekspor setelah selama tujuh bulan izin ekspor dibekukan karena tidak adanya jaminan untuk membangun shelter. Sehinga Martiono berharap solusi ini akan membuat terciptanya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan PT.NNT. (Taylor & Supriyatna, 2014)
Dicabutnya gugatan dan dimulai kembalinya negosiasi formal menandakan bahwa pemerintah Indonesia telah bersikap tegas dan tidak bisa tunduk terhadap setiap intervensi yang dilakukan oleh perusahaan yang berinvestasi di Indonesia. Perundingan mengenai kontrak tambang antara PT. NNT dengan Pemerintah Indonesia dalam hal ini, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kemudian kembali dilanjutkan.
Akhirnya pada tanggal 4 September 2014, nota kesepahaman kontrak tambang antara PT.NNT dengan pemerintah Indonesia berhasil dicapai. Dimana dari hasil kesepakatan ini terdapat enam poin yang disepakati. Poin yang terpenting adalah kenaikan royalti sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012, yakni emas sebesar 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. (Yusuf & Sandi, 2014)
Kesepakatan lainnya adalah rencana kerja dan luas wilayah pertambangan yang direalisasikan oleh Newmont, dari semula sekitar 87.000 hektare menjadi 66.422 hektare. Menurut Sukhyar, Newmont masih berniat mengembangkan tambang ke wilayah timur yang bisa dilakukan hingga kontrak habis pada 2030. Selain itu, Newmont sepakat membayar dana jaminan pembangunan smelter senilai US$ 25 juta. Meskipun pembangunan smelter akan bekerjasama dengan Freeport, pemerintah tetap menuntut Newmont memberi dana jaminan sebagai komitmen kesungguhan pembangunan smelter dan kewajiban divestasi. (Yusuf & Sandi, 2014)
Kendati kesepakatan sudah dicapai, ternyata ketidakpuasan masih membayangi direksi PT.NNT. PT.NNT melalui salah satu pemegang sahamnya, PT. Pakuafu Indah melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Oktober 2014 terkait diberlakukannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. PT. Pakuafu Indah  menggugat pasal 169 tentang perubahan kontrak karya menjadi IUP PK, dan pasal 170 tentang kewajiban melakukan pemurnian sebagaimana yang telah dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya undang-undang Minerba disahkan. (Wicaksono P. E., 2014)
Kembali digugat, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Melalui Kementerian ESDM, Pemerintah Indonesia mengancam akan mencabut hold amandemen apabila gugatan tersebut tidak dicabut. Sukhyar yang merupakan Dirjen Minerba Kemenetrian ESDM Menyayangkan sikap PT. NNT yang tidak konsisten (Wicaksono P. E., 2014). Pada akhirnya gugatan tersebut dicabut. Juru Bicara PT.NTT, Rubi Purnomo menyatakan bahwa gugatan tersebut dilayangkan tanpa konsultasi dan sepengetahuan direksi PT.NNT lainnya. Sehingga proses penandatanganan amandemen kontrak pertambangan bisa kembali dilanjutkan. (Prakoso, 2014)

C.     KESIMPULAN
Diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi gugatan PT. Newmont Nusa Tenggara memang tergolong berhasil. Pemerintah Indonesia berhasil meyakinkan PT. NNT untuk menarik gugatannya dari ICSID melalui berbagai cara, seperti berjanji melawan balik PT.NNT dan mengancam PT.NNT untuk kembali berunding di meja perundingan.
Pemerintah berhasil memaksa PT. NNT, layaknya mereka memaksa PT. Freeport untuk kembali berunding dan mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia, terutama mematuhi UU No.4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara. Pemerintah juga berhasil memaksa PT.NNT untuk membangun smelter pengolahan, kendati smelter tersebut dibuat secara patungan dengan PT. Freeport dan PT.NNT baru bisa menjamin pembangunan smelter baru bisa diselesaikan pada tahun 2017 serta yang terpenting adalah kenaikan royalti dari pajak tambang yang dibayarkan oleh PT.NNT.
Waaupun di kemudian hari, Freeport dan PT. NNT terkesan menghindari kewajiban mereka untuk membangun smelter dan tetap pada pendirian mereka dalam konsesi kontrak. Namun, secara proses diplomasi, apa yang dilakukan Indonesia melalui menteri coordinator perekonomian, Chairul Tanjung dalam memaksa PT.NNT untuk kembali berdiplomasi bisa dikatakan berhasil.

DAFTAR REFERENSI


Deteksi.co. (2014, Juli 7). Pemerintah VS PT.NNT. Retrieved Janauri 11, 2015, from http://deteksi.co: http://deteksi.co/2014/07/pemerintah-vs-pt-nnt/
Hartono, R. (2014, Juli 16). Melawan Gugatan Newmont. Retrieved from www.berdikarionline.com: http://www.berdikarionline.com/opini/20140716/melawan-gugatan-newmont.html
Hurd, I. (2011). Law and The Practice of Diplomacy. International Journal, 581-596.
Jumadil Akhir, D. (2014, Juli 21). Lawan Newmont, Pemerintah Siapkan Lawyer. Retrieved from Economy.Okezone.com: http://economy.okezone.com/read/2014/07/21/20/1015739/lawan-newmont-pemerintah-siapkan-lawyer
Khafid, S., & Rikang, R. (2014, Juli 17). Newmont Mau Cabut Gugatan Arbitrase, Ini Syaratnya. Retrieved Januari 17, 2015, from www.tempo.co: http://www.tempo.co/read/news/2014/07/17/090593794/Newmont-Mau-Cabut-Gugatan-Arbitrase-Ini-Syaratnya-
Prakoso, R. (2014, November 9). Pemegang Saham Newmont Cabut Gugatan Uji Materi. Retrieved Januari 17, 2015, from www.beritasatu.com: http://www.beritasatu.com/hukum/223837-pemegang-saham-newmont-cabut-gugatan-uji-materi.html
Proctor, C. (2014, Agustus 26). Newmont Mining to withdraw arbitration request against Indonesia over taxes. Retrieved from www.bizjournal.com: http://www.bizjournals.com/denver/blog/earth_to_power/2014/08/newmont-mining-to-withdraw-arbitration-request.html
Radhy, R. (2014, Januari 8). Dilema Ekspor Minerba. Retrieved Januari 11, 2015, from nasional.sindonews.com: http://nasional.sindonews.com/read/824528/18/dilema-ekspor-minerba-1389143866/
Ratya, M. P. (2014, Juli 2). CT Kecewa Newmont Gugat Pemerintah ke Arbitrase. Retrieved from Finance.detik.com: http://finance.detik.com/read/2014/07/02/123635/2625449/4/ct-kecewa-newmont-gugat-pemerintah-ke-arbitrase
Rizal, S. (2013, Desember 16). Gencar Penolakan UU Mienrba. Retrieved Januari 11, 2015, from Sinarharapan.co: http://sinarharapan.co/news/read/29600/gencar-penolakan-uu-minerba
Saner, R., & Yiu, L. (2008). Business - Government - NGO Relations : The Impact on Global Economic Governance. In A. F. Cooper, B. Hocking, & W. Maley, Global Governance and Diplomacy (pp. 85-103). New York: Palgrave-McMillan.
Steger, U. (2003). Corporate Diplomacy : The Strategy for a Volatile, Fragmented Business Environment. West Sussex: Wiley.
Taylor, M., & Supriyatna, Y. (2014, Agustus 26). UPDATE 2-Newmont withdraws mining arbitration case against Indonesia. Retrieved from www.reuters.com: http://www.reuters.com/article/2014/08/26/indonesia-newmont-arbitration-idUSL3N0QW3EG20140826
Wicaksono, K. A. (2014, Juli 12). GUGATAN ARBITRASE: Sanksi Untuk Newmont Tunggu Sidang Kabinet. Retrieved from Industri.bisnis.com: http://industri.bisnis.com/read/20140712/44/242755/gugatan-arbitrase-sanksi-untuk-newmont-tunggu-sidang-kabinet
Wicaksono, P. E. (2014, November 3). Digugat Lagi, RI Ogah Renegosiasi Kontrak Dengan PT. Newmont. Retrieved Januari 17, 2015, from Bisnis.Liputan6.com: https://bisnis.liputan6.com/read/2128099/digugat-lagi-ri-ogah-renegosiasi-kontrak-dengan-newmont
Wijayanto, N. (2014, Januari 13). Freeport dan Newmont dapat kelonggaran ekspor mineral. Retrieved from ekbis.sindonews.com: http://ekbis.sindonews.com/read/826152/34/freeport-dan-newmont-dapat-kelonggaran-ekspor-mineral-1389603171
Yusuf, H. A., & Sandi, A. P. (2014, September 4). Renegosiasi Pemerintah dan Newmont Rampung. Retrieved from www.tempo.co: http://www.tempo.co/read/news/2014/09/04/090604519/Renegosiasi-Pemerintah-dan-Newmont-Rampung






EKONOMI POLITIK GLOBAL, LIBERALISME DAN MAFIA BARKELEY
A.    Pengertian Politik Ekonomi Global
Dalam beberapa hal tanpa kita sadari, hidup kita bergantung pada ekonomi politik. Untuk dapat bertahan hidup, manusia memerlukan makanan, pakaian dan berbagai kebutuhan lainnya. Untuk mendapatkan kebutuhan tersebut, manusia memerlukan pasar yang menjual barang kebutuhan tersebut yang kemudian dibeli denngan uang yang telah didapatkan. Sebuah pasar yang modern kemudian didasarkan pada sebuah aturan politik, karena tanpa adanya aturan akan mengakibatkan terjadinya berkuasanya mafia atas pasar tersebut. Peraturan dan Perundang-undangan kemudian mengatur lebih lanjut peranan pasar tersebut (Jackson & Sorensen, 2013, p. 160).
Pada saat yang sama, kekuatan ekonomi menjadi basis penting dari kekuatan politik. Jika ekonomi bertujuan mengejar kekayaan, maka politik bertujuan mengejar kekuasaan. Keduanya memiliki hubungan yang rumit dan membingungkan. Rumitnya hubungan ini kemudian berlaku dalam tatanan internasional antara politik dan ekonomi, serta Negara dan pasar yang menjadi landasan inti dari ekonomi politik global. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 160)
Ada banyak definisi yang digunakan untuk menjelaskan politik ekonomi global. Beberapa definisi mengarah pada arti kata-kata yang membentuk frasa tersebut. Menurut Lionel Robbin, dalam The Nature and Significance of Economic Science (1932), ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai sebuah hubungan antara tujuan dan kelangkaan bahan atau sumber daya dengan penggunaan bahan alternatif  (Gilpin, 2001, p. 25). Sementara itu, politik mempunyai arti umum sebagai cara untuk mencapai kepentingan atau tujuan tertentu.
Istilah Ekonomi politik mulai muncul di abad 17 di Perancis. Istilah ini muncul dalam buku Antoine de Montchrétien yang berjudul Traité de l’economie politique pada tahun 1615. Kemudian oleh penulis asal Inggris, Sir James Steurt pada tahun 1761, istilah ini mulai secara umum diperkenalkan dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Principles of Political Economy. Menurut Steurt, Ekonomi Politik mengacu pada studi antar disiplin ilmu yang mempelajari ekonomi, politik dan hukum yang menjelaskan bagaimana institusi politik, lingkungan politik dan sistem ekonomi ( baik kapitalis, komunis atau campuran keduanya), saling mempengaruhi satu sama lainnya. (Hammodd, 2011, p. 190)
Di akhir abad 20, pengertian ekonomi politik kembali berubah. Menurut sejumlah ahli ekonomi yang berasal dari Chicago School, ekonomi politik diartikan sebagai perluasan ruang lingkup dan isu dalam permasalahan ekonomi (Gilpin, 2001, p. 26) Namun, politisi beranggapan bahwa ilmu politik memasuki seluruh aspek kehidupan, termasuk bidang ekonomi. Oleh karena itu, keterkaitan antara ekonomi dan politik sudah terjalin sejak lama.
Pada tahun 1776, Adam Smith mendefinisikan ekonomi politik sebagai cabang dari ilmu pengetahuan dari seorang negarawan atau legislator dan pedoman dari pengelolaan ekonomi nasional. Definisi tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations. Ini menjadi dasar pemikiran Adam Smith dalam teori liberalisasi pasar yang dikembangkannya. (Gilpin, 2001, p. 25)
Pada abad ke-21, istilah ‘ekonomi politik’ didefinisikan dengan tiga pengertian yang berbeda. Untuk ahli ekonomi dan akademisi, ekonomi politik merujuk pada aplikasi dari pelbagai jenis tingkah laku manusia. Beberapa kalangan akademisi menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan upaya yang dilakukan berdasarkan teori ekonomi untuk menjelaskan tindakan sosial. Sementara itu, ahli politik menganggap bahwa ilmu politik tidak dapat dipisahkan dari ilmu lain, termasuk ekonomi. Oleh karena itu, kelompok ahli politik mendefinisikan ekonomi politik sebagai hubungan atau interaksi antara ekonomi dan politik. (Gilpin, 2001, pp. 30-31)
Secara keseluruhan, Ekonomi Politik Internasional adalah studi tentang interaksi antara ekonomi atau pasar dengan politik atau negara di arena internasional. Dalam pengertian yang umum, ekonomi dapat didefinisikan sebagai sistem produksi, distribusi, dan menggunakan kesejahteraan sedangkan politik adalah seperangkat lembaga dan peraturan yang mengatur interaksi antara ekonomi dan sosial. (Frieden & Lake, 2003, p. 1). Kegiata operasional pasar juga tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan dan hukum yang telah ditetapkan.
Keberadaan Ekonomi Politik Internasional sendiri sudah berlangsung sejak lama. Kira-kira sejak 6000 tahun Sebelum Masehi ketika bangsa Assyria melakukan kegiatan perdagangan dengan bangsa Turki dan Mesopotamia di Barat serta dengan bangsa India di Timur. Ketika hukum yang mengatur bisnis dan perdagangan untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Hammurabi di Babylonia, kegiatan perdagangan antar negara mulai marak terjadi, walaupun risikonya cukup berbahaya. Salah satunya yang terkenal adalah jalur perdagangan Sutera yang menjadi penghubung bangsa China menjual produknya ke negara-negara Mediterania Timur. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan perdagangan melalui jalur laut yang dilakukan banyak negara. (Miller, 2008, pp. 2-3)

Lingkungan ekonomi diisi oleh beberapa aktor yang bersifat individu (konsumen dan produsen) yang mempunyai kepentingan pribadi, sedangkan firma, negara, dan aktor ekonomi lainnya dianggap sebagai pendukung dari aktor individu. Dalam konteks ini, ekonomi politik global mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam politik ekonomi global, aktor utamanya adalah negara, sedangkan individu, firma, dan aktor ekonomi lainnya merupakan pendukung dari kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Setiap hubungan yang dijalin oleh suatu negara dalam kerangka kerja sama ekonomi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh aktor non-negara. Namun, setiap kegiatan yang dilakukan oleh aktor non-negara juga berpengaruh terhadap politik ekonomi negara di tataran global. (Gilpin, 2001, p. 34)
Contohnya adalah pergerakan Multi-National Corporation (MNC) atau Perusahaan Multi-Nasional. Negara asal suatu MNC mengharuskan MNC memilih negara yang diakuinya secara politik atau ekonomi. MNC yang berasal dari China dapat membuka perwakilannya di Taiwan dan walaupun hubungan kedua negara bisa dibilang tidak akur secara politik. Namun ketidakuran secara politik tersebut tidak berpengaruh dalam hubungan dagang, dimana investasi perusahaan asal Taiwan seperti Foxconn di China cukup tinggi.
MNC juga mempunyai pengaruh terhadap setiap kebijakan politik suatu negara, termasuk pada tataran global. Salah satu contohnya adalah ketika PT. Newmont mengajukan gugatan kepada mahkamah internasional ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Minerba yang mengharuskan setiap perusahaan tambang membangun smelter di Indonesia atau ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008, MNC berhasil melobi kongres untuk mem-bail out perusahaan-perusahaan yang bemasalah seperti Goldman Sachs, AIG dan Merryll-Lynch.

Ekonomi Politik Internasional mulai berkembang sebagai pendekatan Heterodox terhadap studi internasional pada tahun 1970-an di era ketika sistem Bretton Woods tidak berjalan dan terjadi krisis minyak dunia pada tahun 1973 yang mengingatkan para akademisi akan pentingnya situasi darurat dan lemahnya fondasi ekonomi dunia. Hal ini dimulai ketika tahun 1971 ketika Susan Strange membentuk London School of Economics yang menjadi landasan studi modern Ekonomi Politik Global yang kemudian diikuti oleh Royal Institute of International Affairs di Chatham House membentuk kelompok studi Ekonomi Politik Internasional. (Hammodd, 2011, p. 191)
B.     PANDANGAN LIBERALISME TERHADAP EKONOMI POLITIK GLOBAL

Ketika Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations pada tahun 1776. Ia mulai menerapkan sistem self-regulating market. Ia berargumen bahwa pasar yang kompetitif, berdasarkan ketersediaan dan permintaan serta berjalan sendiri dapat membuat keputusan untuk menciptakan sistem ekonomi suatu negara tanpa gangguan dari pemerintah atau kontrol bisnis. Smith menyebut sistem ini dengan nama “Invisible Hand”. Smith beranggapan sistem ini sebagai mekanisme positif dalam berjalannya bisnis, dimana pasar akan memaksa pelaku bisnis untuk memproduksi barang dan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai kemauan mereka serta menjual barang tersebut dengan harga terbaik. (Miller, 2008, p. 9)
Smith percaya bahwa pasar cenderung secara spontan untuk memperluas kepuasan kebutuhan manusia, asalkan pemerintah tidak ikut campur. Ide-ide inti dari pemikiran Smith meliputi aktor individual yang rasional, kepercayaan akan kemajuan tanpa intervensi dan asumsi keuntungan bersama dari pertukaran bebas. Namun Smith juga menambahkan beberapa elemen sendiri untuk pemikiran liberal, termasuk gagasan kunci yaitu ekonomi pasar yang merupakan sumber utama kemajuan, kerjasama, dan kemakmuran. Campur tangan politik dan peraturan negara, sebaliknya bersifat tidak ekonomis, kemunduran, dan dapat menimbulkan konflik. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165).
Robert Giplin berargumen bahwa dari pemikiran Adam Smith tersebut, para pemikir liberal kontemporer dapat berbagi seperangkat asumsi dan keyakinan mengenai sifat manusia, masyarakat dan kegiatan ekonomi. Elemen kunci dari keyakinan ini adalah gagasan bahwa hubungan ekonomi yang menyatukan antar masyarakat, mendamaikan konflik dalam hubungan internasional, dan alam ekonomi beroperasi sesuai dengan alam logikanya sendiri. Keyakinan Smith pada kemajuan di tingkat internasional menempatkan dia pada ketegasannya dalam hubungan antara utopis dan idealis dalam hubungan internasional atau sering disebut sebagai liberalisme komersial. (Walter, 1994, p. 3) 
Ekonomi Liberal disebut sebuah doktrin dan seperangkat prinsip-prinsip untuk mengatur dan mengelola pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa jika dibiarkan berkembang secara sendiri, ekonomi pasar akan beroperasi secara spontan sesuai dengan mekanisme dan hukum yang berlaku. Undang-undang ini melekat dalam proses produksi ekonomi dan pertukaran. Salah satu contohnya adalah hukum keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Ricardo. Ia berargumen bahwa perdagangan bebas, yang merupakan aktivitas kegiatan komersial yang dijalankan secara bebas dengan melewati batas wilayah negara, akan membawa manfaat bagi setiap elemen yang berpartisipasi karena perdagangan bebas membuat hambatan yang berlaku menjadi hilang. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165)   
Ekonomi Liberal menolak pandangan Merkantilis bahwa negara adalah adalah aktor pusat dan menjadi acuan utama dalam hubungan ekonomi. Aktor pusat di mata kaum Liberal adalah Individu yang berperan sebagai konsumen dan produsen.  Pasar adalah sebuah arena terbuka, dimana tempat setiap individu datang dan  bertukar barang dan jasa. Individu adalah aktor rasional dalam mengejar kepentingan ekonominya dan ketika mereka mengajukan rasionalitas dalam pasar, maka semua pihak akan mendapatkannya.
Pertukaran ekonomi melalui pasar adalah sebuah positive-sum games dimana semua pihak dapat mendapatkan sesuatu yang lebih karena meningkatnya efisiensi. Individu dan perusahaan tidak akan mungkin masuk ke dalam pasar jika tidak ada peluang untuk mendapatkan keuntungan disana. Liberal juga menolak pemikiran merkantilis bahwa keuntungan ekonomi suatu negara membutuhkan kerugian bagi negara lainnya. Jalan menuju kesejahteraan manusia hanya dapat dilakukan melalui ekspansi pasar bebas dan kapitalisme yang tidak hanya berlaku di satu negara, tapi juga melintasi batas internasional. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 166)  
Salah satu hal yang ditekankan oleh Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional adalah terjadinya perdagangan bebas. Seperti yang diucapkan oleh David Ricardo (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165) bahwa :
Under a system of perfectly free commerce, each country naturally devotes its capital and labour to such employments as are most beneficial to each. The pursuit of individual advantage is admirably connected with the universal good of the whole. By stimulating industry, by rewarding ingenuity, and by using most efficaciously the peculiar powers bestowed by nature, it distributes labour most effectively and most economically: while, by increasing the general mass of productions, it diffuses general benefit and binds together, by one common tie of interest and inter-course, the universal society of nations throughout the civilized world.
Perdagangan bebas sendiri adalah pasar terbuka bagi pertukaran barang dan jasa antar negara. Para pendukung perdagangan bebas beranggapan bahwa konsep “invisible hands” Adam Smith dapat mencegah bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah termasuk kebijakan tarif yang diangap bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas.
Mereka juga beranggapan bahwa setiap bentuk proteksionisme dan kebijakan perdagangan tidak akan menjadi masalah jika seluruh dunia bersatu dalam pasar global tanpa batas negara. Namun karena di dunia ini terdapat lebih dari 200 negara dan setiap negara memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing, maka kemudian muncul pertanyaan bagaimana setiap negara memenuhi kepentingan ekonomisnya. Adam Smith menjawab pertanyaan ini dengan Perdagangan bebas. Karena dengan sistem ini, setiap negara dapat meningkatkan alokasi optimal sumber dayanya dan menikmati nilai ekonomi produksi tertingginya. (Miller, 2008, p. 44)
Adam Smith berargumen bahwa inefisiensi ekonomi dari proteksionisme merkantilisme telah mendukung terjadinya perdagangan bebas. Smith berpendapat bahwa negara-negara harus melakukan perdagangan ketika pasar mengidentifikasi produk pelengkap. Produk pelengkap adalah produk yang ingin dibuat oleh kedua negara, Tapi salah satu negara membuat produk tersebut lebih murah dari produk negara lainn. Dalam bahasa perdagangan, setiap negara memiliki keunggulan yang mutlak dalam menciptakan sesuatu yang diinginkan oleh negara lain, kemudian dilengkapi dengan adanya pasar untuk melakukan perdagangan, maka kedua negara diharapkan melakukan aktivitaspertukaran perdagangan. Kemudian, bagaimana jika satu negara memiliki keunggulan absolut dalam semua produk yang dapat diperdagangkan? Maka, pertanyaan ini kemudian dijawab oleh David Ricardo. (Miller, 2008, p. 44)
Ricardo menjawab pertanyaan ini melalui teori keuntungan komparatif. Ia berargumen bahwa bahkan setiap negara yang memiliki keunggulan absolut dalam semua produk akan mendapatkan selisih antara nilai total produksi dan rasio biaya produksi. Maka, hal ini dapat menjadi celah perdagangan yang menguntungkan seluruh pihak. Dimana, jika suatu negara memproduksi suatu barang melebihi total kebutuhan negara tersebut, maka negara tersebut memiliki sebuah keunggulan komparatif. Untuk menghindari jatuhnya harga, maka negara yang memiliki keunggulan komparatif tersebut kemudian dapat menjual produknya di negara yang memiliki kelemahan komparatif.
Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat memiliki keunggulan di bidang otomatif dan produksi otomotif mereka sudah memenuhi kebutuhan domestik, maka untuk menghindari jatuhnya harga otomotif tersebut. Pemerintah Amerika Serikat dapat menjual produk otomotif tersebut ke Meksiko atau Jamaika yang tidak memiliki keunggulan di bidang otomotif. Dengan asumsi demikian, maka baik Amerika Serikat, Meksiko dan Jamaika akan saling mendapatkan keuntungan, dimana Amerika Serikat mendapatkan uang, sementara Meksiko dan Jamaika mendapatkan barang.
Perkembangan perdagangan bebas semakin didukung oleh pandangan dari Richard Cobden, John Bright dan lainnya yang mendukung kampanye penghapusan penghapusan perlindungan terhadap perdagangan agrikultural Inggris. Mereka berargumen bahwa perdagangan bebas tidak hanya mendukung kesejahteraan, tapi juga akan meningkatkan perdamaian. Mereka beranggapan, bahwa pertukaran barang dan jasa tidak hanya akan mempromosikan penciptaan kesejahteraan, tapi juga mencegah hasrat suatu negara untuk membangun kekaisaran dan membangun kekuatan militer dengan tujuan penguasaan ekonomi. (Falkner, 2011, p. 30)
Berakhirnya Perang Dunia ke-II membuat pemerintah berbagai negara di seluruh dunia berusaha menghapus neo-merkantilisme. Perdagangan bebas gencar dipromosikan sebagai prinsip dasar menghapus proteksionisme. Dimulai dengan dibentuknya General Agreement of Tariffs & Trade tahun 1947. Sejak 1947 hingga 1993, negara-negara anggota GATT terus berunding dan bernegosiasi untuk mengurangi tariff masuk bagi suatu barang ke titik rendah dari 40% menjadi 5%. Dimana, prinsip dasar dari GATT adalah tidak adanya diskriminasi. Yang mana, jika ada satu negara anggota yang menegosiasikan pengurangan tariff bagi satu negara anggota lainnya, maka hal tersebut harus berlaku bagi seluruh negara anggota GATT, karena GATT menjunjung asas most-favoured nations. (Miller, 2008, p. 48)
Setelah perundingan terakhir GATT yang dinamakan Uruguay Round, maka disepakati untuk pembentukan traktat organisasi yang mengatur perdagangan dunia bernama World Trade Organizations (WTO). WTO sendiri kemudian menambahkan elemen-elemen lain dalam cakupannya yaitu penerapan prinsip perdagangan bebas terhadap produk agricultural dan tekstil, perlindungan atas hak kekayaan intelektual, penyelesaian setiap masalah perdagangan negara anggota harus melalui badan penyelesaian masalah atau dispute settlement body (DSB) WTO, perdagangan jasa juga harus melalui mekanisme yang sama dengan lainnya dan terakhir adalah setiap investor dari negara yang menjadi anggota WTO yang menanamkan modalnya di negara yang juga menjadi anggota WTO wajib diperlakukan layaknya investor domestik. (Miller, 2008, p. 49)
Selain melalui WTO, proses perdagangan bebas di era modern juga dilakukan melalui jalur regional. Pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) untuk menciptakan pasar tunggal di negara-negara Eropa menjadi salah satu contoh proses perdagangan bebas regional. Kemudian juga munculnya North American Free Trade Area (NAFTA) dan Mercosur memperluas jumlah negara yang terlibat dalam perdagangan bebas regional. Kemudian juga ditambah dengan banyaknya negara yang memberlakukan perjanjian perdagangan bebas bilateral seperti yang terjadi antara Australia dengan Korea Selatan atau Amerika Serikat dengan Kanada.
Era Globalisasi juga mengakibatkan perpindahan barang dan modal menjadi semakin cepat dan melewati batas. Terbentuknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di berbagai bidang baik lingkungan hidup, sosial masyarakat maupun hak asasi manusia yang bergerak melintasi batas negara mengakibatkan terjadinya interkoneksi antara satu negara dengan negara lain.
Hal ini oleh pemikir Liberal seperti Joseph Nye dan Robert O. Keohane menciptakan sebuah orde internasional yang saling ketergantungan. Dalam kondisi ketergantungan, jaring interaksi kompleks mengikat negara-negara dengan status otonomi dan batas wilayah yang semakin terbatas. Para pemikir Liberal beranggapan keterikatan  antar negara-negara ini dapat mencegah konflik dalam situasi internasional yang anarkis. Hal ini karena hubungan yang dekat antar negara ini akan membuat penggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian konflik menjadi semakin besar risikonya. (Falkner, 2011, p. 31)
Akan tetapi, perdagangan bebas juga tidak terlepas dari berbagai kritikan. E.H. Carr dan beberapa pakar lainnya mengkritik bahwa perdagangan bebas hanya akan menguntungkan negara dengan kekuatan ekonomi yang maju. Britania pada abad ke-19 beranggapan bahwa Perdagangan bebas adalah kepentingan dari seluruh negara, namun terdapat perbedaan antara kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Carr berargumen bahwa doktrin perdagangan bebas dapat menjadi disalahartikan menjadi doktrin kaya dan memiliki kekuatan penuh.
Yang kedua, disamping ketergantungan dan integrasi ekonomi yang tinggi. Perang Dunia I telah mematahkan argument bahwa perdagangan bebas dapat menjaga perdamaian. Kebangkitan ekonomi merkantilisme dan ekspansi militer pasca perang telah menimbulkan pertanyaan atas asumsi perdagangan bebas liberal tersebut (Falkner, 2011, p. 30). Kebangkitan kaum Fasis, Komunis dan Nasionalisme sebelum Perang Dunia ke II semakin menenggelamkan argumen para pemikir Perdagangan bebas tersebut.
C.    Mafia Barkeley

Istilah Mafia Barkeley bermula dari kebijakan pemerintah Soeharto di awal era Orde Baru. Kehancuran ekonomi yang diakibatkan kebijakan pemerintahan era Orde Lama yang melupakan pembangunan ekonomi dan banyak berkonfrontasi. Untuk membangun kembali perekonomian Indonesia, pemerintah Soeharto meminta nasihat dari orang-orang Indonesia yang sekolah dan menempuh gelar Ph.D bidang ekonomi di Amerika Serikat untuk membangun perekonomian Indonesia. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai Mafia Barkeley (McCawley, 2008). Penyebutan istilah Mafia Barkeley didasarkan pada pemimpin kelompok ekonom-teknokrat ini, Profesor Widjojo Nitisastro meraih gelar pascasarjana ekonomi dari Universitas California, Barkeley. (Wie, 2002, p. 196)
Berawal dari Soeharto yang membentuk tim ekspert dari fakultas Ekonomi UI pada bulan September 1966 dibawah Mayjen Sujono Humardani untuk mengurus masalah ekonomi dan finansial. Soeharto merasa yakin dengan para ekonom-teknokrat ini setelah kelima ekonom yaitu Prof. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Emil Salim dan Subroto, usai kelimanya memberikan ceramah di Seskoad pada Agustus 1966. Seminar ini yang kemudian menjadi landasan basis pemikiran Soeharto dalam masalah ekonomi.
Para Teknokrat ekonomi ini kemudian menelurkan berbagai kebijakan yang dianggap mampu memperbaiki perekonomian Indonesia yang terbagi dalam tiga fase yaitu Stabilisasi, Rehabilitasi dan Pengembangan.  Kebijakan Stabilisasi dalam dua tahun ditujukan untuk menata ulang utang Indonesia dan mendapatkan pinjaman baru serta mengundang investor asing masuk ke Indonesia. (Wie, 2002)
Di akhir tahun 1960-an, kelompok ini berhasil menciptakan stabilitas harga. Dengan bantuan pinjaman dari kelompok Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia berhasil tumbuh menjadi kekuatan industri baru. Pertumbuhan ini mengakibatkan perubahan Indonesia yang diakhir tahun 1960-an masih tergantung pada sektor agrikultural menjadi negara yang GDP-nya berasal dari sector industri manufaktur pada awal tahun 1990-an. Kebangkitan ini juga membuat Bank Dunia pada tahun 1993 menempatkan Indonesia dalam kategori “East Asian Miracle” bersama Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Thailand.
Kelompok Mafia Barkeley berhasil menjadikan ekonomi Indonesia menjadi sangat Liberal di era Soeharto setelah sebelumnya ekonomi Indonesia bersifat tertutup di era Soekarno. Akan tetapi, masa bulan madu kesuksesan ekonomi ini harus berakhir ketika Krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1997.
Menurut Fuad Bawazier, keruntuhan ekonomi Indonesia dikarenakan sistem ekonomi Liberal yang berdampingan dengan sistem monopoli, tata niaga dan sistem perbankan yang bank sentralnya amburadul. Perbankan sangat dimanjakan, sehingga pengelolaannya menjadi tidak prudent.
Keputusan pemerintah Indonesia yang mengikuti anjuran Mafia Barkeley untuk mengikuti resep IMF pada tahun 1998 pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia justru semakin jatuh. Apalagi setelah pemerintah menerapkan kebijakan uang ketat yang membuat aliran dana menjadi semakin sulit. Pada akhirnya hal ini membuat banyaknya perusahaan yang tidak sanggup membayar gaji karyawannya dan tingkat pengangguran meluas. (Rafick, 2007, pp. 100-101) 
Kendati Mafia Barkeley telah melakukan kegagalan yang membuat Indonesia jatuh dalam krisis, namun mereka masih tetap mendapatkan kepercayaan dalam perekonomian Indonesia. Pasca tumbangnya Soeharto di era Megawati Soekarno Putri, para ekonom Mafia Barkeley justru mendapat tempat penting di pemerintahan seperti Frans Seda, Darojatun Kuncoro, Boediono, Laksamana Soekardi dan Rini M. Soewandi dan di era Susilo Bambang Yudhoyono seperti Sri Mulyani dan Chatib Basri.