EKONOMI POLITIK GLOBAL, LIBERALISME DAN MAFIA BARKELEY
A. Pengertian Politik Ekonomi Global
Dalam beberapa hal tanpa kita sadari,
hidup kita bergantung pada ekonomi politik. Untuk dapat bertahan hidup, manusia
memerlukan makanan, pakaian dan berbagai kebutuhan lainnya. Untuk mendapatkan
kebutuhan tersebut, manusia memerlukan pasar yang menjual barang kebutuhan
tersebut yang kemudian dibeli denngan uang yang telah didapatkan. Sebuah pasar
yang modern kemudian didasarkan pada sebuah aturan politik, karena tanpa adanya
aturan akan mengakibatkan terjadinya berkuasanya mafia atas pasar tersebut.
Peraturan dan Perundang-undangan kemudian mengatur lebih lanjut peranan pasar
tersebut (Jackson & Sorensen, 2013, p. 160) .
Pada saat yang sama, kekuatan ekonomi
menjadi basis penting dari kekuatan politik. Jika ekonomi bertujuan mengejar
kekayaan, maka politik bertujuan mengejar kekuasaan. Keduanya memiliki hubungan
yang rumit dan membingungkan. Rumitnya hubungan ini kemudian berlaku dalam
tatanan internasional antara politik dan ekonomi, serta Negara dan pasar yang
menjadi landasan inti dari ekonomi politik global. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 160)
Ada banyak definisi
yang digunakan untuk menjelaskan politik ekonomi global. Beberapa definisi
mengarah pada arti kata-kata yang membentuk frasa tersebut. Menurut Lionel
Robbin, dalam The Nature and Significance
of Economic Science (1932), ekonomi
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai sebuah hubungan
antara tujuan dan kelangkaan bahan atau sumber daya dengan penggunaan bahan
alternatif (Gilpin, 2001, p. 25) . Sementara itu,
politik mempunyai arti umum sebagai cara untuk mencapai kepentingan atau tujuan
tertentu.
Istilah
Ekonomi politik mulai muncul di abad 17 di Perancis. Istilah ini muncul dalam
buku Antoine de Montchrétien yang berjudul Traité de l’economie politique pada
tahun 1615. Kemudian oleh penulis asal Inggris, Sir James Steurt pada tahun
1761, istilah ini mulai secara umum diperkenalkan dalam bukunya yang berjudul
An Inquiry into the Principles of Political Economy. Menurut Steurt, Ekonomi
Politik mengacu pada studi antar disiplin ilmu yang mempelajari ekonomi,
politik dan hukum yang menjelaskan bagaimana institusi politik, lingkungan
politik dan sistem ekonomi ( baik kapitalis, komunis atau campuran keduanya), saling
mempengaruhi satu sama lainnya. (Hammodd, 2011, p. 190)
Di akhir abad
20, pengertian ekonomi politik kembali berubah. Menurut sejumlah ahli ekonomi
yang berasal dari Chicago School, ekonomi politik diartikan sebagai perluasan
ruang lingkup dan isu dalam permasalahan ekonomi (Gilpin, 2001, p. 26) Namun, politisi
beranggapan bahwa ilmu politik memasuki seluruh aspek kehidupan, termasuk
bidang ekonomi. Oleh karena itu, keterkaitan antara ekonomi dan politik sudah
terjalin sejak lama.
Pada tahun 1776,
Adam Smith mendefinisikan ekonomi politik sebagai cabang dari ilmu pengetahuan
dari seorang negarawan atau legislator dan pedoman dari pengelolaan ekonomi
nasional. Definisi tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations. Ini menjadi dasar
pemikiran Adam Smith dalam teori liberalisasi pasar yang dikembangkannya. (Gilpin,
2001, p. 25)
Pada abad ke-21,
istilah ‘ekonomi politik’ didefinisikan dengan tiga pengertian yang berbeda.
Untuk ahli ekonomi dan akademisi, ekonomi politik merujuk pada aplikasi dari
pelbagai jenis tingkah laku manusia. Beberapa kalangan akademisi menggunakan
istilah tersebut untuk menggambarkan upaya yang dilakukan berdasarkan teori
ekonomi untuk menjelaskan tindakan sosial. Sementara itu, ahli politik
menganggap bahwa ilmu politik tidak dapat dipisahkan dari ilmu lain, termasuk
ekonomi. Oleh karena itu, kelompok ahli politik mendefinisikan ekonomi politik
sebagai hubungan atau interaksi antara ekonomi dan politik. (Gilpin, 2001, pp. 30-31)
Secara
keseluruhan, Ekonomi Politik Internasional adalah studi tentang interaksi
antara ekonomi atau pasar dengan politik atau negara di arena internasional.
Dalam pengertian yang umum, ekonomi dapat didefinisikan sebagai sistem
produksi, distribusi, dan menggunakan kesejahteraan sedangkan politik adalah
seperangkat lembaga dan peraturan yang mengatur interaksi antara ekonomi dan
sosial. (Frieden & Lake, 2003, p. 1) . Kegiata operasional
pasar juga tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan dan hukum yang telah
ditetapkan.
Keberadaan
Ekonomi Politik Internasional sendiri sudah berlangsung sejak lama. Kira-kira
sejak 6000 tahun Sebelum Masehi ketika bangsa Assyria melakukan kegiatan
perdagangan dengan bangsa Turki dan Mesopotamia di Barat serta dengan bangsa
India di Timur. Ketika hukum yang mengatur bisnis dan perdagangan untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh Hammurabi di Babylonia, kegiatan perdagangan antar
negara mulai marak terjadi, walaupun risikonya cukup berbahaya. Salah satunya
yang terkenal adalah jalur perdagangan Sutera yang menjadi penghubung bangsa
China menjual produknya ke negara-negara Mediterania Timur. Hal ini kemudian
dilanjutkan dengan perdagangan melalui jalur laut yang dilakukan banyak negara.
(Miller, 2008, pp. 2-3)
Lingkungan
ekonomi diisi oleh beberapa aktor yang bersifat individu (konsumen dan
produsen) yang mempunyai kepentingan pribadi, sedangkan firma, negara, dan
aktor ekonomi lainnya dianggap sebagai pendukung dari aktor individu. Dalam
konteks ini, ekonomi politik global mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam
politik ekonomi global, aktor utamanya adalah negara, sedangkan individu,
firma, dan aktor ekonomi lainnya merupakan pendukung dari kinerja pemerintah di
bidang ekonomi. Setiap hubungan yang dijalin oleh suatu negara dalam kerangka
kerja sama ekonomi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh aktor non-negara. Namun, setiap kegiatan yang dilakukan oleh
aktor non-negara juga berpengaruh terhadap politik ekonomi negara di tataran
global. (Gilpin, 2001, p. 34)
Contohnya adalah
pergerakan Multi-National Corporation (MNC)
atau Perusahaan Multi-Nasional. Negara asal suatu MNC mengharuskan MNC memilih
negara yang diakuinya secara politik atau ekonomi. MNC yang berasal dari China
dapat membuka perwakilannya di Taiwan dan walaupun hubungan kedua negara bisa
dibilang tidak akur secara politik. Namun ketidakuran secara politik tersebut
tidak berpengaruh dalam hubungan dagang, dimana investasi perusahaan asal
Taiwan seperti Foxconn di China cukup tinggi.
MNC juga
mempunyai pengaruh terhadap setiap kebijakan politik suatu negara, termasuk
pada tataran global. Salah satu contohnya adalah ketika PT. Newmont mengajukan
gugatan kepada mahkamah internasional ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan
UU Minerba yang mengharuskan setiap perusahaan tambang membangun smelter di
Indonesia atau ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008, MNC berhasil
melobi kongres untuk mem-bail out perusahaan-perusahaan yang bemasalah seperti
Goldman Sachs, AIG dan Merryll-Lynch.
Ekonomi Politik
Internasional mulai berkembang sebagai pendekatan Heterodox terhadap studi
internasional pada tahun 1970-an di era ketika sistem Bretton Woods tidak
berjalan dan terjadi krisis minyak dunia pada tahun 1973 yang mengingatkan para
akademisi akan pentingnya situasi darurat dan lemahnya fondasi ekonomi dunia. Hal
ini dimulai ketika tahun 1971 ketika Susan Strange membentuk London School of
Economics yang menjadi landasan studi modern Ekonomi Politik Global yang
kemudian diikuti oleh Royal Institute of International Affairs di Chatham House
membentuk kelompok studi Ekonomi Politik Internasional. (Hammodd, 2011, p. 191)
B.
PANDANGAN
LIBERALISME TERHADAP EKONOMI POLITIK GLOBAL
Ketika
Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations pada tahun 1776. Ia mulai
menerapkan sistem self-regulating market.
Ia berargumen bahwa pasar yang kompetitif, berdasarkan ketersediaan dan
permintaan serta berjalan sendiri dapat membuat keputusan untuk menciptakan
sistem ekonomi suatu negara tanpa gangguan dari pemerintah atau kontrol bisnis.
Smith menyebut sistem ini dengan nama “Invisible Hand”. Smith beranggapan
sistem ini sebagai mekanisme positif dalam berjalannya bisnis, dimana pasar
akan memaksa pelaku bisnis untuk memproduksi barang dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat sesuai kemauan mereka serta menjual barang tersebut dengan
harga terbaik. (Miller, 2008, p. 9)
Smith
percaya bahwa pasar cenderung secara spontan untuk memperluas kepuasan
kebutuhan manusia, asalkan pemerintah tidak ikut campur. Ide-ide inti dari
pemikiran Smith meliputi aktor individual yang rasional, kepercayaan akan kemajuan
tanpa intervensi dan asumsi keuntungan bersama dari pertukaran bebas. Namun
Smith juga menambahkan beberapa elemen sendiri untuk pemikiran liberal,
termasuk gagasan kunci yaitu ekonomi pasar yang merupakan sumber utama
kemajuan, kerjasama, dan kemakmuran. Campur tangan politik dan peraturan
negara, sebaliknya bersifat tidak ekonomis, kemunduran, dan dapat menimbulkan
konflik. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165) .
Robert
Giplin berargumen bahwa dari pemikiran Adam Smith tersebut, para pemikir
liberal kontemporer dapat berbagi seperangkat asumsi dan keyakinan mengenai
sifat manusia, masyarakat dan kegiatan ekonomi. Elemen kunci dari keyakinan ini
adalah gagasan bahwa hubungan ekonomi yang menyatukan antar masyarakat,
mendamaikan konflik dalam hubungan internasional, dan alam ekonomi beroperasi
sesuai dengan alam logikanya sendiri. Keyakinan Smith pada kemajuan di tingkat
internasional menempatkan dia pada ketegasannya dalam hubungan antara utopis
dan idealis dalam hubungan internasional atau sering disebut sebagai
liberalisme komersial. (Walter, 1994, p. 3)
Ekonomi
Liberal disebut sebuah doktrin dan seperangkat prinsip-prinsip untuk mengatur
dan mengelola pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu. Hal ini
didasarkan pada gagasan bahwa jika dibiarkan berkembang secara sendiri, ekonomi
pasar akan beroperasi secara spontan sesuai dengan mekanisme dan hukum yang
berlaku. Undang-undang ini melekat dalam proses produksi ekonomi dan
pertukaran. Salah satu contohnya adalah hukum keunggulan komparatif yang
dikembangkan oleh David Ricardo. Ia berargumen bahwa perdagangan bebas, yang
merupakan aktivitas kegiatan komersial yang dijalankan secara bebas dengan
melewati batas wilayah negara, akan membawa manfaat bagi setiap elemen yang
berpartisipasi karena perdagangan bebas membuat hambatan yang berlaku menjadi
hilang. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165)
Ekonomi
Liberal menolak pandangan Merkantilis bahwa negara adalah adalah aktor pusat
dan menjadi acuan utama dalam hubungan ekonomi. Aktor pusat di mata kaum
Liberal adalah Individu yang berperan sebagai konsumen dan produsen. Pasar adalah sebuah arena terbuka, dimana
tempat setiap individu datang dan
bertukar barang dan jasa. Individu adalah aktor rasional dalam mengejar
kepentingan ekonominya dan ketika mereka mengajukan rasionalitas dalam pasar,
maka semua pihak akan mendapatkannya.
Pertukaran
ekonomi melalui pasar adalah sebuah positive-sum
games dimana semua pihak dapat mendapatkan sesuatu yang lebih karena
meningkatnya efisiensi. Individu dan perusahaan tidak akan mungkin masuk ke
dalam pasar jika tidak ada peluang untuk mendapatkan keuntungan disana. Liberal
juga menolak pemikiran merkantilis bahwa keuntungan ekonomi suatu negara
membutuhkan kerugian bagi negara lainnya. Jalan menuju kesejahteraan manusia
hanya dapat dilakukan melalui ekspansi pasar bebas dan kapitalisme yang tidak
hanya berlaku di satu negara, tapi juga melintasi batas internasional. (Jackson
& Sorensen, 2013, p. 166)
Salah
satu hal yang ditekankan oleh Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional
adalah terjadinya perdagangan bebas. Seperti yang diucapkan oleh David Ricardo (Jackson
& Sorensen, 2013, p. 165) bahwa :
Under a system of perfectly free
commerce, each country naturally devotes its capital and labour to such
employments as are most beneficial to each. The pursuit of individual advantage
is admirably connected with the universal good of the whole. By stimulating
industry, by rewarding ingenuity, and by using most efficaciously the peculiar
powers bestowed by nature, it distributes labour most effectively and most
economically: while, by increasing the general mass of productions, it diffuses
general benefit and binds together, by one common tie of interest and
inter-course, the universal society of nations throughout the civilized world.
Perdagangan
bebas sendiri adalah pasar terbuka bagi pertukaran barang dan jasa antar
negara. Para pendukung perdagangan bebas beranggapan bahwa konsep “invisible hands” Adam Smith dapat
mencegah bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah termasuk kebijakan
tarif yang diangap bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas.
Mereka
juga beranggapan bahwa setiap bentuk proteksionisme dan kebijakan perdagangan
tidak akan menjadi masalah jika seluruh dunia bersatu dalam pasar global tanpa
batas negara. Namun karena di dunia ini terdapat lebih dari 200 negara dan
setiap negara memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing, maka kemudian
muncul pertanyaan bagaimana setiap negara memenuhi kepentingan ekonomisnya.
Adam Smith menjawab pertanyaan ini dengan Perdagangan bebas. Karena dengan
sistem ini, setiap negara dapat meningkatkan alokasi optimal sumber dayanya dan
menikmati nilai ekonomi produksi tertingginya. (Miller, 2008, p. 44)
Adam
Smith berargumen bahwa inefisiensi ekonomi dari proteksionisme merkantilisme
telah mendukung terjadinya perdagangan bebas. Smith berpendapat bahwa
negara-negara harus melakukan perdagangan ketika pasar mengidentifikasi produk
pelengkap. Produk pelengkap adalah produk yang ingin dibuat oleh kedua negara,
Tapi salah satu negara membuat produk tersebut lebih murah dari produk negara
lainn. Dalam bahasa perdagangan, setiap negara memiliki keunggulan yang mutlak
dalam menciptakan sesuatu yang diinginkan oleh negara lain, kemudian dilengkapi
dengan adanya pasar untuk melakukan perdagangan, maka kedua negara diharapkan
melakukan aktivitaspertukaran perdagangan. Kemudian, bagaimana jika satu negara
memiliki keunggulan absolut dalam semua produk yang dapat diperdagangkan? Maka,
pertanyaan ini kemudian dijawab oleh David Ricardo. (Miller, 2008, p. 44)
Ricardo
menjawab pertanyaan ini melalui teori keuntungan komparatif. Ia berargumen
bahwa bahkan setiap negara yang memiliki keunggulan absolut dalam semua produk
akan mendapatkan selisih antara nilai total produksi dan rasio biaya produksi.
Maka, hal ini dapat menjadi celah perdagangan yang menguntungkan seluruh pihak.
Dimana, jika suatu negara memproduksi suatu barang melebihi total kebutuhan
negara tersebut, maka negara tersebut memiliki sebuah keunggulan komparatif. Untuk
menghindari jatuhnya harga, maka negara yang memiliki keunggulan komparatif
tersebut kemudian dapat menjual produknya di negara yang memiliki kelemahan
komparatif.
Sebagai
contoh, ketika Amerika Serikat memiliki keunggulan di bidang otomatif dan
produksi otomotif mereka sudah memenuhi kebutuhan domestik, maka untuk
menghindari jatuhnya harga otomotif tersebut. Pemerintah Amerika Serikat dapat
menjual produk otomotif tersebut ke Meksiko atau Jamaika yang tidak memiliki
keunggulan di bidang otomotif. Dengan asumsi demikian, maka baik Amerika
Serikat, Meksiko dan Jamaika akan saling mendapatkan keuntungan, dimana Amerika
Serikat mendapatkan uang, sementara Meksiko dan Jamaika mendapatkan barang.
Perkembangan
perdagangan bebas semakin didukung oleh pandangan dari Richard Cobden, John
Bright dan lainnya yang mendukung kampanye penghapusan penghapusan perlindungan
terhadap perdagangan agrikultural Inggris. Mereka berargumen bahwa perdagangan
bebas tidak hanya mendukung kesejahteraan, tapi juga akan meningkatkan
perdamaian. Mereka beranggapan, bahwa pertukaran barang dan jasa tidak hanya
akan mempromosikan penciptaan kesejahteraan, tapi juga mencegah hasrat suatu
negara untuk membangun kekaisaran dan membangun kekuatan militer dengan tujuan
penguasaan ekonomi. (Falkner, 2011, p. 30)
Berakhirnya
Perang Dunia ke-II membuat pemerintah berbagai negara di seluruh dunia berusaha
menghapus neo-merkantilisme. Perdagangan bebas gencar dipromosikan sebagai
prinsip dasar menghapus proteksionisme. Dimulai dengan dibentuknya General
Agreement of Tariffs & Trade tahun 1947. Sejak 1947 hingga 1993,
negara-negara anggota GATT terus berunding dan bernegosiasi untuk mengurangi
tariff masuk bagi suatu barang ke titik rendah dari 40% menjadi 5%. Dimana,
prinsip dasar dari GATT adalah tidak adanya diskriminasi. Yang mana, jika ada
satu negara anggota yang menegosiasikan pengurangan tariff bagi satu negara
anggota lainnya, maka hal tersebut harus berlaku bagi seluruh negara anggota
GATT, karena GATT menjunjung asas most-favoured
nations. (Miller, 2008, p. 48)
Setelah
perundingan terakhir GATT yang dinamakan Uruguay Round, maka disepakati untuk
pembentukan traktat organisasi yang mengatur perdagangan dunia bernama World
Trade Organizations (WTO). WTO sendiri kemudian menambahkan elemen-elemen lain
dalam cakupannya yaitu penerapan prinsip perdagangan bebas terhadap produk
agricultural dan tekstil, perlindungan atas hak kekayaan intelektual,
penyelesaian setiap masalah perdagangan negara anggota harus melalui badan
penyelesaian masalah atau dispute settlement body (DSB) WTO, perdagangan jasa
juga harus melalui mekanisme yang sama dengan lainnya dan terakhir adalah
setiap investor dari negara yang menjadi anggota WTO yang menanamkan modalnya
di negara yang juga menjadi anggota WTO wajib diperlakukan layaknya investor
domestik. (Miller, 2008, p. 49)
Selain
melalui WTO, proses perdagangan bebas di era modern juga dilakukan melalui
jalur regional. Pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) untuk menciptakan
pasar tunggal di negara-negara Eropa menjadi salah satu contoh proses
perdagangan bebas regional. Kemudian juga munculnya North American Free Trade
Area (NAFTA) dan Mercosur memperluas jumlah negara yang terlibat dalam perdagangan
bebas regional. Kemudian juga ditambah dengan banyaknya negara yang
memberlakukan perjanjian perdagangan bebas bilateral seperti yang terjadi
antara Australia dengan Korea Selatan atau Amerika Serikat dengan Kanada.
Era
Globalisasi juga mengakibatkan perpindahan barang dan modal menjadi semakin
cepat dan melewati batas. Terbentuknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak
di berbagai bidang baik lingkungan hidup, sosial masyarakat maupun hak asasi
manusia yang bergerak melintasi batas negara mengakibatkan terjadinya
interkoneksi antara satu negara dengan negara lain.
Hal
ini oleh pemikir Liberal seperti Joseph Nye dan Robert O. Keohane menciptakan
sebuah orde internasional yang saling ketergantungan. Dalam kondisi
ketergantungan, jaring interaksi kompleks mengikat negara-negara dengan status
otonomi dan batas wilayah yang semakin terbatas. Para pemikir Liberal
beranggapan keterikatan antar
negara-negara ini dapat mencegah konflik dalam situasi internasional yang
anarkis. Hal ini karena hubungan yang dekat antar negara ini akan membuat
penggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian konflik menjadi semakin besar
risikonya. (Falkner, 2011, p. 31)
Akan
tetapi, perdagangan bebas juga tidak terlepas dari berbagai kritikan. E.H. Carr
dan beberapa pakar lainnya mengkritik bahwa perdagangan bebas hanya akan
menguntungkan negara dengan kekuatan ekonomi yang maju. Britania pada abad
ke-19 beranggapan bahwa Perdagangan bebas adalah kepentingan dari seluruh
negara, namun terdapat perbedaan antara kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Carr
berargumen bahwa doktrin perdagangan bebas dapat menjadi disalahartikan menjadi
doktrin kaya dan memiliki kekuatan penuh.
Yang
kedua, disamping ketergantungan dan integrasi ekonomi yang tinggi. Perang Dunia
I telah mematahkan argument bahwa perdagangan bebas dapat menjaga perdamaian.
Kebangkitan ekonomi merkantilisme dan ekspansi militer pasca perang telah
menimbulkan pertanyaan atas asumsi perdagangan bebas liberal tersebut (Falkner,
2011, p. 30) .
Kebangkitan kaum Fasis, Komunis dan Nasionalisme sebelum Perang Dunia ke II
semakin menenggelamkan argumen para pemikir Perdagangan bebas tersebut.
C.
Mafia Barkeley
Istilah Mafia
Barkeley bermula dari kebijakan pemerintah Soeharto di awal era Orde Baru. Kehancuran
ekonomi yang diakibatkan kebijakan pemerintahan era Orde Lama yang melupakan
pembangunan ekonomi dan banyak berkonfrontasi. Untuk membangun kembali
perekonomian Indonesia, pemerintah Soeharto meminta nasihat dari orang-orang
Indonesia yang sekolah dan menempuh gelar Ph.D bidang ekonomi di Amerika
Serikat untuk membangun perekonomian Indonesia. Mereka inilah yang kemudian
disebut sebagai Mafia Barkeley (McCawley, 2008) . Penyebutan istilah Mafia Barkeley
didasarkan pada pemimpin kelompok ekonom-teknokrat ini, Profesor Widjojo
Nitisastro meraih gelar pascasarjana ekonomi dari Universitas California,
Barkeley. (Wie, 2002, p. 196)
Berawal dari
Soeharto yang membentuk tim ekspert dari fakultas Ekonomi UI pada bulan
September 1966 dibawah Mayjen Sujono Humardani untuk mengurus masalah ekonomi
dan finansial. Soeharto merasa yakin dengan para ekonom-teknokrat ini setelah
kelima ekonom yaitu Prof. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Emil Salim
dan Subroto, usai kelimanya memberikan ceramah di Seskoad pada Agustus 1966.
Seminar ini yang kemudian menjadi landasan basis pemikiran Soeharto dalam
masalah ekonomi.
Para Teknokrat
ekonomi ini kemudian menelurkan berbagai kebijakan yang dianggap mampu
memperbaiki perekonomian Indonesia yang terbagi dalam tiga fase yaitu
Stabilisasi, Rehabilitasi dan Pengembangan.
Kebijakan Stabilisasi dalam dua tahun ditujukan untuk menata ulang utang
Indonesia dan mendapatkan pinjaman baru serta mengundang investor asing masuk
ke Indonesia. (Wie, 2002)
Di akhir tahun
1960-an, kelompok ini berhasil menciptakan stabilitas harga. Dengan bantuan
pinjaman dari kelompok Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia
berhasil tumbuh menjadi kekuatan industri baru. Pertumbuhan ini mengakibatkan
perubahan Indonesia yang diakhir tahun 1960-an masih tergantung pada sektor
agrikultural menjadi negara yang GDP-nya berasal dari sector industri
manufaktur pada awal tahun 1990-an. Kebangkitan ini juga membuat Bank Dunia
pada tahun 1993 menempatkan Indonesia dalam kategori “East Asian Miracle”
bersama Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan
Thailand.
Kelompok Mafia
Barkeley berhasil menjadikan ekonomi Indonesia menjadi sangat Liberal di era
Soeharto setelah sebelumnya ekonomi Indonesia bersifat tertutup di era
Soekarno. Akan tetapi, masa bulan madu kesuksesan ekonomi ini harus berakhir
ketika Krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1997.
Menurut Fuad
Bawazier, keruntuhan ekonomi Indonesia dikarenakan sistem ekonomi Liberal yang
berdampingan dengan sistem monopoli, tata niaga dan sistem perbankan yang bank
sentralnya amburadul. Perbankan sangat dimanjakan, sehingga pengelolaannya
menjadi tidak prudent.
Keputusan
pemerintah Indonesia yang mengikuti anjuran Mafia Barkeley untuk mengikuti
resep IMF pada tahun 1998 pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia justru
semakin jatuh. Apalagi setelah pemerintah menerapkan kebijakan uang ketat yang
membuat aliran dana menjadi semakin sulit. Pada akhirnya hal ini membuat
banyaknya perusahaan yang tidak sanggup membayar gaji karyawannya dan tingkat
pengangguran meluas. (Rafick, 2007, pp. 100-101)
Kendati Mafia
Barkeley telah melakukan kegagalan yang membuat Indonesia jatuh dalam krisis,
namun mereka masih tetap mendapatkan kepercayaan dalam perekonomian Indonesia.
Pasca tumbangnya Soeharto di era Megawati Soekarno Putri, para ekonom Mafia
Barkeley justru mendapat tempat penting di pemerintahan seperti Frans Seda,
Darojatun Kuncoro, Boediono, Laksamana Soekardi dan Rini M. Soewandi dan di era
Susilo Bambang Yudhoyono seperti Sri Mulyani dan Chatib Basri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar