Selasa, 30 Januari 2018

BREXIT DAN PENGARUHNYA TERHADAP LIGA PRIMER INGGRIS

Pada tanggal 13 Juni 2016 nanti, masyarakat Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, Irlandia Utara) dan Gibraltar akan menggelar sebuah referendum yang akan mempengaruhi kehidupan mereka kedepannya. Referendum tersebut mengenai apakah Inggris Raya akan tetap menjadi anggota Uni Eropa atau memutuskan untuk keluar dari regionalisme kawasan di wilayah Eropa tersebut, keputusan keluar dari UE sendiri biasa disebut sebagai Brexit (British Exit).
            Referendum yang akan digelar pada tanggal 13 Juni nanti juga akan menjadi referendum kedua yang dilakukan oleh Inggris Raya mengenai keanggotaan mereka di Uni Eropa, setelah sebelumnya mereka juga melakukan referendum pada tahun 1975. Berbagai argumentasi dikeluarkan oleh pihak yang pro – UE maupun pro – Brexit. Mereka yang pro – Brexit beranggapan bahwa kebijakan Brexit akan membuat Inggris Raya kembali mendapatkan kedaulatan mereka dalam mengeluarkan berbagai kebijakan nasional, mulai dari keamanan, ekonomi hingga politik. Adapun, mereka yang pro – UE beranggapan bahwa berada di dalam wilayah UE akan menguntungkan Inggris Raya karena akan membuat Inggris menikmati kemudahan dalam perdagangan dengan sesama anggota UE dan perpindahan manusia di kawasan UE.
            Inggris Raya sendiri diyakini akan mengalami berbagai perubahan apabila benar-benar memilih meningalkan UE. Pemimpin Uni Eropa, Jean-Claude Juncker mengingatkan bahwa apabila Inggris Raya benar-benar meninggalkan Uni Eropa, maka Inggris Raya akan dikategorikan sebagai negara dunia ketiga dan tidak akan bisa menikmati berbagai keuntungan yang saat ini mereka dapatkan dari Uni Eropa. Bahkan, Inggris Raya juga diyakini tidak akan bisa menikmati ‘Single-Market’ layaknya Swiss dan Norwegia, yang bukan anggota UE namun merupakan anggota European Economic Area (EEA), karena status mereka yang dianggap “Desertir”. Kalangan pebisnis juga sudah mewanti-wanti bahwa keputusan “Brexit” akan berpengaruh terhadap iklim investasi di Inggris Raya. Hal ini, karena banyak pebisnis yang berinvestasi di Inggris Raya mengincar kemudahan perpindahan barang dan jasa di kawasan Uni Eropa.
            Keputusan Brexit juga akan membuat pengaruh di bidang politik dan keamanan. Salah satunya adalah kekhawatiran bahwa keputusan Brexit juga akan menimbulkan keinginan masyarakat Skotlandia akan kembali menggelar referendum untuk lepas dari Inggris Raya, hal ini karena hampir sebagian besar alasan masyarakat Skotlandia memilih untuk tetap bertahan dalam referendum tahun 2014 lalu adalah kemudahan yang didapat dengan menjadi bagian dari Inggris dan Uni Eropa. Selain itu, keputusan Brexit juga akan mempengaruhi perjanjian perdamaian Good Friday di Irlandia Utara antara Inggris Raya dan Irlandia yang ditekan pada tahun 1998. Menurut PM Irlandia, Enda Kenny, hal tersebut dapat terjadi karena keputusan Brexit akan mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi untuk menciptakan perdamaian yang sudah dijaga selama 18 tahun.
            Pengaruh Brexit Terhadap Sepakbola Inggris dan Liga Primer
            Lalu bagaimana dengan sepakbola? Apakah Brexit juga akan mempengaruhi industri sepakbola di Inggris Raya? Jawabannya sudah pasti. Saat ini hampir sebagian besar kompetisi sepakbola di Inggris Raya dipenuhi oleh pemain dari berbagai negara Uni Eropa, terutama tiga kompetisi besar di Inggris Raya, yaitu Liga Premier Inggris, Liga Championship Inggris dan Liga Premier Skotlandia. Keberadaan pemain dari neara-negara UE tersebut membuat kompetisi – kompetisi tersebut menjadi lebih menarik untuk ditonton. Lalu bagaimana dengan nasib pemain-pemain tersebut apabila Brexit benar-benar terjadi?
            Menurut analisis yang dilakukan oleh situs BBC Sport, total akan terdapat 332 pemain dari negara-negara Uni Eropa atau memiliki paspor negara-negara Uni Eropa di kompetisi Championship dan Liga Primer Skotlandia yang nasibnya terancam tidak bisa merumput. Selain itu, analisis tersebut juga mengungkapkan bahwa hanya terdapat 23 pemain dari 180 pemain asing Uni Eropa di kompetisi Championship yang benar-benar dapat merumput di kompetisi tersebut. Kebanyakan dari 23 pemain tersebut adalah pemain berkewarganegaraan Irlandia dan negara-negara Persemakmuran yang memiliki kewarganegaraan Britania Raya.
            Lalu bagaimana dengan Liga Primer Inggris? Menurut situs Guardian, saat ini terdapat 161 pemain dari berbagai negara UE dan EEA yang bermain di Liga Primer Inggris dan kebanyakan dari mereka terancam tidak bisa merumput di EPL karena mereka harus mengikuti peraturan yang sama dengan pemain-pemain dari negara non-UE. Di Inggris Raya sendiri, saat ini setiap pemain dari luar Uni Eropa yang ingin bermain di Inggris Raya harus memenuhi persyaratan izin kerja yang diterapkan pemerintahan Inggris Raya.
            Persyaratan yang selama ini diterapkan bagi pemain non-UE adalah pemain tersebut harus berasal dari negara yang masuk dalam 70 besar peringkat FIFA dan harus bermain untuk timnas negaranya dalam dua tahun terakhir. Bagi negara dengan peringkat 1 – 10 maka jumlah bermain si pemain harus sebanyak 30 % dari total pertandingan timnas negaranya dalam dua tahun terakhir untuk mendapatkan izin kerja. Kemudian negara peringkat 11 – 20 adalah sebesar 45% dari total pertandingan timnas, kemudian persentasenya meningkat menjadi 60% untuk negara peringkat 21 – 30 dan 75% untuk negara peringkat 31 hingga 70. Dengan persyaratan tersebut, diyakini akan banyak pemain UE dan EEA yang gagal merumput di EPL karena selama ini mereka menikmati keuntungan kebebasan perpindahan barang dan manusia di bawah aturan UE.
            Hal ini mungkin tidak akan berpengaruh besar bagi pemain-pemain bintang seperti Mesut Oezil (Arsenal), Diego Costa (Chelsea) atau Kevin de Bruyne (Manchester City) yang menjadi langganan tim nasional dan timnas mereka masuk dalam 10 besar FIFA. Namun, hal ini akan cukup berpenaruh terhadap beberapa pemain-pemain muda potensial seperti Hector Bellerin (Arsenal). Kurt Zouma (Chelsea) dan Anthony Martial (Manchester United) yang terancam tidak dapat bermain di EPL karena belum memenuhi kuota bermain dalam pertandingan internasional selama dua tahun terakhir.
            Saat ini, hampir seluruh 20 klub yang berlaga di EPL musim lalu memiliki ketergantungan terhadap pemain dari negara-negara UE. Bahkan, juara EPL musim lalu pun hampir sebagian besar pemain intinya dipenuhi pemain dari negara-negara UE dan EEA atau memiliki paspor UE. Keputusan tersebut juga akan membuat klub-klub EPL terutama yang bercokol di papan tengah dan bawah harus mengandalkan pemain-pemain dari Inggris Raya atau Irlandia, itupun dengan jaminan Skotlandia tidak menggelar referendum dan memilih pisah dari Inggris Raya pasca – Brexit, karena pemain-pemain dari negara-negara UE tersebut harus memenuhi kriteria untuk dapat bermain di EPL. Selain itu, kebiasaan beberapa klub besar membajak pemain-pemain muda potensial dari negara anggota UE seperti ketika Arsenal mengambil Bellerin atau Chelsea mengambil Zouma juga tidak bisa dilakukan lagi, karena transfer pemain-pemain tersebut pasti akan terganjal izin kerja.
            Lalu bagaimana dengan nasib EPL apabila pemain-pemain dari UE kesulitan untuk bisa merumput di EPL? Hal ini tentu akan mengurangi daya tarik liga Primer Inggris sendiri. Nilai komersil EPL yang juga mencakup hak siar dan sponsor juga diyakini akan menurun apabila pemain-pemain dari negara-negara UE tersebut sulit untuk merumput, karena pemain-pemain UE tersebut juga yang selama ini memberikan warna menarik dalam persaingan EPL. Investor-investor asing macam Abramovich (Chelsea) dan Sheikh Khaldoon Al-Mubarak (City) yang ingin mengakuisisi klub EPL, juga diyakini akan berpikir ulang untuk menginvestasikan uangnya di EPL karena menurunnya nilai komersil EPL. Hal tersebut jelas akan mempengaruhi pendapatan klub-klub EPL secara signifikan.
            Memang, pembatasan tersebut masih bisa diakali dengan berbagai alternatif, semisal dengan adanya perjanjian khusus antara Inggris Raya dan negara-negara Uni Eropa untuk memperlakukan mereka layaknya pemain lokal, seperti di liga Swiss atau memperlonggar aturan izin kerja bagi pemain Uni Eropa yang ingin bermain di EPL. Namun hal tersebut juga tidak akan mudah mengingat sangat sulit menciptakan suatu perjanjian hanya berdasarkan kepentingan sepakbola semata apalagi status Inggris Raya di UE yang berbeda dengan Swiss, dimana Inggris Raya berstatus desersi, sementara Swiss berstatus anggota potensial di masa depan. Hal tersebut diyakini akan menjadi hambatan tersendiri. Namun, jika FA ingin status liga primer tetap gemerlap seperti saat ini, maka mereka pasti akan mencari jalan terbaik bagi nasib para pemain UE tersebut di EPL.  
            Akan tetapi, hal tersebut tidak selamanya berdampak buruk. Dampak positif yang bisa diraih dari keadaan tersebut adalah makin besarnya kesempatan bagi pemain asli Inggris Raya untuk unjuk gigi di liga mereka sendiri. Selama ini, dengan derasnya arus pemain asing yang masuk di EPL, mereka seakan tersisih dan sulit untuk bersaing dengan pemain dari luar Inggris Raya. Dengan sulitnya kesempatan bagi pemain UE untuk merumput di EPL,maka pemain asli Inggris Raya, terutama Inggris akan mendapatkan kesempatan lebih besar untuk bermain dan berkembang, kedepannya hal tersebut akan mempengaruhi performa timnas Inggris dengan banyaknya pilihan pemain, karena selama ini salah satu masalah mereka dalam berpartisipasi di turnamen besar adalah minimnya pilihan pemain berkualitas yang dapat dipanggil ke timnas.
            Hal-hal positif dan negative dari Brexit terhadap sepakbola Inggris, terutama EPL tersebut memang harus diperhatikan oleh para fans sepakbola yang akan memilih untuk tetap atau keluar dari Uni Eropa pada tanggal 23 Juni nanti, kendati masalah keamanan dan ekonomi tetap menjadi prioritas utama.
Terakhir, penulis bukanlah tipikal pendukung model regionalism ala Uni Eropa dan sejenisnya. Namun, penulis juga tetap menghargai apabila masyarakat Inggris Raya tetap memilih menjadi anggota Uni Eropa. Maka, bagaimana langkah yang harus dilakukan demi masa depan Liga Primer pada tanggal 23 Juni nanti? Jawabannya biarkan rakyat Inggris Raya yang menentukan sendiri nasib mereka.


Selasa, 26 April 2016

KELOMPOK HOUTHI DAN KONFLIK YAMAN

Konflik yang terjadi di Yaman antara milisi Houthi yang beraliran Syiah dengan kelompok pro- presiden Yaman, Abdrabbouh Mansour Hadiyang beraliran Sunni masih terus berlangsung hingga hari ini, bhakan terakhir kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman turut menjadi korban pengeboman.

Pengeboman di kantor kedutaan Republik Indonesia di Sana'a pada tanggal 20 April 2015 seakan menjadi penanda kelanjutan konflik di Yaman masih belum berakhir hingga hari ini. Konflik yang terjadi antara kelompok Syiah Houthi dengan kelompok pro-presiden Yaman, Abdrabbuh Mansour Hadi. Perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi di Timur Tengah juga turut mempengaruhi jalannya konflik ini. Dimana, kelompok Houthi didukung oleh Iran, sedangkan kelompok pro-presiden Yaman didukung oleh Arab Saudi.

Letak Yaman yang strategis, karena keberadaan selat Bab al- Mandab yang menghubungkan Laut Merah dengan Teluk Aden dan menjadi jalur perlintasan kapal dagang dunia membuat konflik di Yaman semakin meluas. Pemerintah Mesir dan Arab Saudi khawatir jalur tersebut jatuh ke tangan milisi Houthi dan pada akhirnya membuat pengaruh Iran di Timteng semakin menguat. Sehingga, berbagai cara mereka lakukan, termasuk dengan mengirimkan pasukan mereka ke Yaman.

Konflik di Yaman bermula dari gelombang Arab Springs di tahun 2011 yang mengakibatkan banyak pemimpin diktator di Timur tengah tumbang. Presiden Yaman kala itu, Ali Abdullah Saleh termasuk satu diantaranya. Tumbangnya Saleh bahkan diikuti oleh serangan bom terhadap dirinya. Akibat dari serangan bom tersebut, Saleh mengalami luka serius dan harus dilarikan ke Arab Saudi.  Dilarikannya Saleh ke Saudi kemudian menjadi momentum bagi rakyat Yaman untuk menolak Saleh kembali ke Yaman.

Situasi Yaman pasca-Arab Springs yang kurang stabil rupanya dijadikan celah oleh Kelompok Houthi untuk bangkit dan memainkan pengaruhnya. Terlebih mereka juga menjadikan kondisi emosional warga Syiah di Yaman sebagai motivasi pendukung untuk menjalankan aksi mereka. Hal ini karena, selama beberapa tahun di bawah pemerintahan Saleh, warga Syiah mendapatkan perlakuan kurang baik dan hanya menjadi warga negara kelas II di Yaman.

Kondisi diatas kemudian memancing timbulnya konflik Sektarian antara milisi Houthi dengan kelompok pro-pemerintah dengan kronologis konflik di Yaman tersebut adalah sebagai berikut.

17 September 2014, pertempuran antara pasukan Pemerintah Yaman dengan Kelompok Houthi berlangsung di tepi ibu kota Sanaa. Pasukan pemberontak menghujani Sanaa dengan serangan mortir.
20 September 2014, gedung stasiun televisi milik Pemerintah Yaman dibakar setelah konflik antara mereka dengan Kelompok Houthi semakin panas. Beberapa gedung lain juga menjadi rusak parah. Televisi Yaman telah meminta bantuan internasional dan nasional untuk melakukan evakuasi.
24 September 2014, Perdana Menteri Yaman Salem Basindwa mengundurkan diri sebagai syarat pembicaraan gencatan senjata yang diajukan oleh Kelompok Houthi. PM Salem digantikan oleh Khaled Bahhah.
20 Januari 2015, Kelompok Houthi menyerang Istana PM Yaman setelah sehari sebelumnya menyerang istana kepresidenan. Serangan ini diakhiri dengan gencatan senajata oleh kedua belah pihak.
23 Januari 2015, Abd Rabbo Mansour Hadi menyatakan mundur dari jabatan Presiden Yaman. Mundurnya Hadi membuat kekuasaan di Yaman lowong. Pemerintahan bentukan Kelompok Houthi tidak mendapat dukungan dari warga Yaman.
Februari 2015, Beberapa negara menutup kedutaan mereka di Yaman karena mengetahui situasi di Sanaa semakin buruk.
22 Februari 2015, Presiden Hadi berhasil melarikan diri ibu kota Sanaa dengan bantuan Dewan Keamanan PBB.
24 Februari 2015, Presiden Hadi menarik pengunduran dirinya. Dia kemudian mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman.
20 Maret 2015, dua bom bunuh diri mengguncang Yaman, menewaskan 142 orang dan melukai ratusan lainnya. Kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini, sekaligus mengumumkan keterlibatan mereka dalam konflik.
23 Maret 2015, Presiden Hadi mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman, sekaligus meminta bantuan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk untuk memulihkan kekuasaannya di sana.
26 Maret 2015, Arab Saudi menyanggupi permintaan Presiden Hadi dan memulai serangan udara ke Yaman.
A. Kelompok Milisi Houthi

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah siapa kelompok milisi Houthi yang banyak dibicarakan masyarakat internasional. Kelompok milisi Houthi adalah kelompok pemberontak yang juga dikenal dengan nama Anshar Allah yang berarti Partisan Allah. Milisi Houthi menganut aliran Syiah Zaidiyah yang menguasai sepertiga wilayah utara Yaman dengan sistem “Imamah” hingga tahun 1962 selama hampir ribuan tahun.

Kelompok Milisi Houthi juga menganut aqidah Syi'ah Itsna'ariyah atau sering disebut dengan nama “Syabab Al-Mu'min” dan “Ansharullah”, yang salah satu pemikirannya adalah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiqy sebagai khalifah pertama dan merasa bahwa yang berhak menjadi penerus Rasulullah SAW adalah Ali Bin Abi Thalib.

Nama Houthi diambil dari nama Hossein Badr Ad Din Al-Houthi yang merupakan pemimpin pemberontakan pertama kelompok ini pada tahun 2004. Perjuangan pertama kelompok ini adalah memperjuangkan otonomi yang lebih luas di provinsi Saada serta melindungi tradisi budaya dan kepercayaan Syiah Zaidiyah dari pengaruh dan gangguan kelompok Islam Sunni.

Hossein Badr Ad Din Al-Houthi sendiri tewas tahun 2004 ketika bersembunyi di dalam gua di gunung Marran dari kejaran pemerintah. Menurut beberapa sumber, kelompok pemerintah mengepung gua tersebut dengan menyiramkan bensin ke dalam gua agar Houthi terbakar di dalamnya setelah kelompok tersebut tertangkap. Namun langkah tersebut ternyata tidak menyurutkan perjuangan kelompok Houthi dalam melakukan pemberontakan. Tongkat kepemimpinan dalam kelompok tersebut kemudian diambil alih oleh keluarga Houthi.

Namun, Ahmed Addhagahassi, professor dari Universitas Sana'a yang juga penulis buku “Houthi Phenomenon” berpendapat bahwa kelompok Houthi awalnya adalah kelompok yang memiliki pemikiran untuk memajukan pendidikan dan visi kebudayaan. Bahkan, mereka sempat menciptakan forum pertemuan antar pemuda di tahun 1990-an. Namun, hal ini ternyata tidak berlangsung lama karena kemudian kelompok ini terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama, yaitu kubu yang tetap memilih untuk mempertahankan keterbukaan denagn dialog, sedangkan kubu kedua adalah kubu radikal yang memutuskan untuk melakukan berbagai cara agar kebudayaan Syiah Zaidiyah tetap terjaga. Dalam perjalanannya, kubu kedua jauh lebih mendapatkan tempat dibanding kubu pertama.

Konflik pertama antara kelompok Houthi dengan Pemerintah Yaman terjadi ketika simpatisan kelompok Houthi melakukan protes terhadap pemerintah di Masjid yang terletak di pusat kota Sana'a. Tindakan protes ini kemudian dianggap oleh presiden Yaman kala itu, Ali Abdullah Saleh sebagai sesuatu yang menghadang kekuasaannya. Karena itu, hal ini kemudian ditanggapi secara responsif oleh presiden Saleh dengan menangkapi anggota kelompok Houthi yang dilanjutkan dengan serangan yang menewaskan Al-Houthi sendiri, usai peringatan pemerintah agar kelompok Houthi menghentikan rangkaian protes tidak diindahkan.

Konflik antara pemerintah dengan kelompok Houthi ini kemudian usai ketika kedua belah menandatangani perjanjian gencatan senjata tahun 2010. Akan tetapi, ketika gelombang Arab Springs terjadi tahun 2011, kelompok Houthi memanfaatkan momentum tersebut untuk ikut serta menurunkan rezim Ali Abdullah Saleh. Usai Saleh diturunkan, kelompok Houthi juga menolak rekomendasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Dialog Nasional Yaman yang memutuskan bahwa wilayah Yaman dibagi dalam enam wilayah negara bagian federal otonom. Hal ini karena dalam proposal tersebut, provinsi Sa'ada yang merupakan wilayah kekuasaan mereka secara historis akan dikuasai oleh pemerintahan Sana'a.
Kelompok Houthi menginginkan pembagian kekuasaan yang lebih luas dalam pemerintah Federal serta berharap wilayah Utara diatur menjadi wilayah kekuasaan mereka. Tidak dikabulkannya permintaan kelompok Houthi tersebut membuat kelompok Houthi melakukan berbagai aksi protes terhadap pemerintah, termasuk menunggangi beberapa isu, seperti menolak kenaikan harga bahan bakar minyak.

Naiknya presiden baru, Abdrabboud Hadi Mansour pada tahun 2012 ternyata semakin memperburuk konflik antara pemerintah dan kelompok Houthi. Hal ini karena Mansour juga menerapkan kebijakan konfrontatif seperti yang dilakukan oleh kelompok Saleh. Hal ini kemudian membuat kelompok ini terus menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apalagi, kelompok ini juga mendapatkan 35 kursi di konferensi dialog nasional yang membuat pengaruh kelompok ini semakin menguat di Yaman.

Menguatnya pengaruh politik kelompok Houthi membuat Mansour mempertimbangkan dialog dengan kelompok Houthi untuk proses rekonsiliasi nasional. Namun, penunjukkan Khaled Bahah, mantan Dubes Yaman untuk AS sebagai Perdana Menteri membuat kelompok ini marah dan berhasil menguasai istana kepresidenan serta mengusir Mansour dari istana tersebut. Mansour sendiri kemudian memindahkan pemerintahan ke Aden.

B. Masa depan konflik Yaman

Masih terus berlangsungnya konflik antara pemerintah dengan milisi Houthi serta ikut sertanya pemerintah Arab Saudi dalam konflik ini membuat konflik di Yaman masih jauh dari selesai. Bertambahnya aktor konflik dengan munculnya kelompok Al-Qaeda di Yaman atau AQAP serta ISIS membuat eskalasi konflik yang terjadi di Yaman semakin meluas. Letak Yaman yang strategis juga membuat Arab Saudi dan Iran untuk terus bertarung memperebutkan pengaruh mereka di Timur Tengah dan dari konflik tersebut, rakyat Yaman tentu yang akan paling menderita dari konflik tersebut. Amerika Serikat di sisi lain, juga tidak ingin pengaruh Iran di Timteng meningkat karena dapat membahayakan keamanan nasional Israel. Hal ini kemudian juga membuat AS untuk terus mendukung langkah Arab Saudi untuk melakukan intervensi di Yaman.

Maka, seperti yang diucapkan oleh menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pasca- serangan ke KBRI d Sana'a bahwa dibutuhkan proses dialog dan diplomasi untuk menyelesaikan konflik ini serta kemauan dari setiap pihak yang berkonflik untuk menurunkan egonya agar konflik yang terjadi di Yaman tersebut bisa berakhir. (Kharizma Ahmada)


PEMBIAYAAN KREDIT NELAYAN INDONESIA YANG MASIH KURANG TERLAYANI SEBAGAI BAGIAN DARI VISI POROS MARITIM

Sejak dahulu, Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Istilah archipelago yang berarti utama (arche) dan laut (pelago) atau laut utama, merupakan bukti bahwa laut adalah bagian dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Salah satu profesi yang menyandarkan hidupnya pada laut adalah nelayan. Posisi nelayan dalam sebuah negara maritim seharusnya menjadi posisi yang di dambakan oleh segenap insan bangsa Indonesia.
Peta Indonesia (Sumber : Google.com)
            Namun demikian, kenyataannya tidaklah demikian. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), jumlah nelayan di Indonesia setiap tahun terus berkurang dan pada tahun 2012 tercatat jumlah nelayan hanya tersisa 2,2 juta orang dari 200 juta-an penduduk Indonesia. Jumlah ini sendiri diperkirakan terus berkurang setiap tahunnya.
            Berbagai Faktor menjadi penyebab berkurangnya jumlah nelayan, banyaknya praktik penangkapan ikan ilegal dengan menggunakan troll dan sebagainya membuat nelayan Indonesia yang sebagian besar masih beroperasi secara tradisional kesulitan untuk bisa mendapatkan ikan, hal ini juga diperparah oleh banyaknya kapal nelayan asing yang masuk secara ilegal ke wilayah Indonesia sehingga tangkapan nelayan Indonesia yang kebanyakan tradisional menjadi semakin kecil. Adanya persyaratan sertifikasi nelayan untuk industri juga membuat nelayan-nelayan tradisional kesulitan untuk memasarkan ikannya dan akhirnya membuat banyak nelayan yang beralih ke profesi lain.
            Hal lain yang juga menjadi salah satu faktor penting mengapa profesi nelayan banyak ditinggalkan adalah sulitnya akses layanan keuangan bagi nelayan, terutama akses pembiayaan. Data yang dihimpun oleh OJK pada tahun 2014 menunjukkan bahwa akses pembiayaan yang diterima oleh sektor nelayan hanya mencapai 1,8 persen dan nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMKM golongan lainnya. Risiko besar yang dihadapi oleh nelayan dalam melaut menjadi faktor utama sulitnya nelayan memperoleh dana pinjaman dari bank atau lembaga pembiayaan lainnya.
            Kesulitan untuk mendapatkan sumber pembiayaan ini memang menjadi ancaman serius bagi nelayan-nelayan di Indonesia ke depannya. Karena nelayan jelas membutuhkan modal yang cukup besar untuk melaut dan menangkap ikan, termasuk salah satunya untuk memiliki perahu, yang merupakan alat utama dalam berlayar. Selama ini dalam memenuhi kebutuhan melaut, nelayan banyak meminjam uang dari tengkulak dengan bunga yang tinggi.
Nelayan sedang menjaring ikan (Sumber : Google.com)
            Untuk mengurangi ketergantungan terhadap tengkulak, maka perlu sebuah solusi yang dapat membuat para nelayan mudah mendapatkan modal dengan kredit pinjaman lunak. Konsep ala Grameen Bank, yang dipopulerkan oleh pemenang Nobel asal Bangladesh, Mohammed Yunus dapat dijadikan salah satu patokan dalam pemberian kredit terhadap para nelayan yang tidak terjangkau oleh bank. Hal ini, karena sistem dalam perbankan yang konvensional mengharuskan adanya agunan, serta prosedur pembiayaan yang panjang dan berbelit menyebabkan banyak nelayan sulit mengakses pembiayaan dari perbankan umum.
            Dalam konsep Grameen Bank M. Yunus, berbagai kelonggaran diberikan terhadap mereka yang tidak terjangkau oleh bank, seperti prosedur dan persyaratan yang sederhana, dimana para nasabah tidak harus pergi ke kantor untuk mendapatkan pembiayaan, dimana Grameen menerapkan strategi 'jemput bola'. Selain itu, waktu pembayaran yang fleksibel juga membuat para peminjam tidak dibebani dalam membayar kredit pembiayaan. Kemudian konsep pembiayaan kelompok juga membuat terciptanya kerjasama dan kekeluargaan diantara peminjam serta mempermudah pengawasan oleh pihak pembiaya. Selain itu, adanya pendampingan terstruktur serta kewajiban kepada nasabah untuk menyisihkan sebagian keuntungan hasil usaha untuk dijadikan tabungan agar suatu saat dapat memiliki asset sendiri juga akan mendorong nasabah mereka yang merupakan kaum papa agar suatu saat bisa mandiri dalam mengembangkan usahanya dan terlepas dari jerat kemiskinan. Hal tersebut terbukti berjalan di Bangladesh dan membuat M. Yunus dan Grameen Bank diberikan gelar nobel perdamaian pada tahun 2006.
Mohammad Yunus, pendiri Grameen Bank beserta nasabahnya (Sumber : Google.com)
            Home Credit, sebagai salah satu perusahaan pembiayaan terbesar di Indonesia daapt menjadi salah satu pioner dalam menerapkan konsep Grameen Bank tersebut terhadap para nelayan di Indonesia yang selama ini tidak dapat dijangkau oleh bank. Pembiayaan yang bisa diberikan kepada para nelayan adalah berupa pembiayaan lunak dalam bentuk barang seperti perahu, jala atau peralatan melaut lainnya. Hal ini jelas akan membantu para nelayan dalam kembali melaut dan mencari sumber penghasilan mereka.
            Hal ini pun juga akan sesuai dengan visi poros maritim Dunia yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo, dimana salah satu pilar dalam poros maritim dunia adalah membangun kembali budaya maritim budaya maritim bangsa Indonesia yang selama ini sudah hilang karena pembangunan bangsa ini yang lebih terfokus ke darat. Maka mengembalikan kejayaan para nelayan dengan memudahkan mereka
            Salah satu pilar lainnya adalah menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Hal ini menegaskan kembali peran penting nelayan dalam menciptakan ketahanan pangan Indonesia dari sektor kelautan. Maka, pemberian akses pembiayaan yang mudah bagi para nelayan juga akan menjadikan Home Credit turut berperan dalam membantu Indonesia mewujudkan visi poros maritim dunia.
Presiden Jokowi dengan visi poros maritim (Sumber : Google.com)
            Kebijakan menteri Susi Pudjiastuti yang ganas terhadap kapal nelayan asing yang mencoba mencuri ikan di Indonesia diharapkan juga dapat membuat para nelayan semakin mudah untuk mendapatkan tangkapannya di wilayah perairan Indonesia yang kaya akan sumber pangan. Hal ini juga diharapkan dapat memudahkan para nelayan tersebut untuk melunasi pinjaman mereka sehingga dapat memicu perusahaan pembiayaan lain untuk mempermudah pembiayaan terhadap para nelayan yang saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan.

            Terakhir, pembiayaan lunak terhadap para nelayan adalah satu hal yang sangat dianjurkan untuk segera dilakukan. Visi poros maritim yang sudah dicanangkan presiden Jokowi dan masih sulitnya akses bagi nelayan dalam memperoleh pembiayaan dapat diinisiasi oleh Home Credit untuk memulai program tersebut, dimana hal ini tidak akan hanya berdampak besar bagi para nelayan, namun juga membantu bangsa Indonesia kembali menemui jati dirinya sebagai bangsa maritim yang berdaulat.

Label : HOME CREDIT INDONESIA, LITERASI KEUANGAN, PEMBIAYAAN NELAYAN, PENGALAMAN PELANGGAN, POROS MARITIM, 

Sabtu, 25 April 2015

POSMODERNISME




POSMODERNISME

A. PENDAHULUAN

Posmodernisme atau Posstrukturalisme dianggap sebagai teori kritis yang pertama dan paling utama dalam ilmu sosial, termasuk dalam Hubungan Internasional yang didasarkan pada metodologi positivis. Pada dasarnya, pendekatan positivis pada Hubungan Internasional adalah keyakinan ilmiah bahwa tidak mungkin ilmu kumulatif dalam Hubungan Internasional bisa meningkatkan kemutakhiran, presisi, kehematan, prediksi serta kemampuan eksplanatif. (Jackson & Sorensen, 2013)
Positivis sendiri percaya akan adanya kesatuan ilmu, yakni tidak adanya perbedaan fundamental antara ilmu sosial dengan ilmu alam. Positivis berpendapat bahwa metode-metode dalam ilmu alam, termasuk metode kuantitatif dapat diterapkan dalam ilmu sosial dan ilmu alam. (Jackson & Sorensen, 2013)
Makna dari positivis adalah mengumpulkan data yang dapat menyebabkan terjadinya penjelasan ilmiah. Karena itu, dibutuhkan metodologi dan sikap ilmiah di pihak peneliti. Kemudian dari hal tersebut, dapat dilakukan sebuah penjelasan secara empiris mengenai prilaku politik. Hal ini termasuk cara menentukan bagaimana perilaku politik seseorang, serta hasil, proses politik dan sistem yang dihasilkan dari perilaku politik tersebut. (Jackson & Sorensen, 2013)
Positivisme memandang dunia sosial dan politik, termasuk dunia internasional, sebagai tempat yang memiliki pola dan keteraturan yang dapat dijelaskan apabila metodologi yang benar dapat diterapkan secara tepat. Positivis berargumen bahwa observasi dan pengalaman adalah kunci untuk menyusun dan menilai teori-teori ilmiah. Hal ini kemudian dapat berkembang menjadi pengetahuan obyektif dari dunia ini atau setidaknya terjadi banyak kesepakatan inter-subyek. (Jackson & Sorensen, 2013)
Hal ini kemudian ditentang oleh Posmodernisme, yang mana mereka menolak penerapan empiris tersebut pada ilmu sosial. Mereka beranggapan bahwa pendekatan empiris yang hanya berdasarkan pengamatan belaka tidak akan bisa diterapkan dalam ilmu sosial. Dalam melakukan pengamatan tersebut, si peneliti harus dibarengi dengan pemahaman konsep dan teori. Karena tanpa itu, yang bersangkutan hanya akan didikte oleh apa yang ia amati tanpa bisa menemukan kebenaran. (Jackson & Sorensen, 2013)
Posmodernisme adalah salah satu teori yang dianggap paling kontroversial dalam Humanisme dan ilmu sosial. Itu biasanya selalu dihubungkan dengan penyebab kejahatan moral dan politik. Terutama setelah kasus 11 September, dimana Posmodern disalahkan karena dianggap tidak menunjukkan simpati moralnya atas kejadian tersebut, padahal saat itu adalah saat dimana simpati moral ditunjukkan. Namun, Posmodernisme justru lebih menunjukkan sifat skeptis, bahkan lebih condong mendukung tindakan terorisme tersebut. Akan tetapi, para pakar Posmodernisme sendiri tidaklah mendukung tindakan tersebut, Namun, mereka haya mempertanyakan tindakan moral dan epistemologis dari tindakan tersebut (Devetak, 2005).
Makna Posmodernisme tidak hanya terputus antara proponen dan kritik, tapi juga menghubungkan antara proponen. Para pakar sendiri melabeli Posmodernisme dengan istilah “post-strukturalisme” dan “dekonstruksi”. Namun, kadang-kadang mereka menolak melabeli Posmodernisme dengan nama-nama tersebut secara bersamaan. Namun, definisi Posmodernisme sendiri lebih mengutamakan pendekatan pragmatis dan adoptif. (Devetak, 2005)
Posmodernisme lahir karena setiap cara memandang politik internasional adalah berbeda, tergantung dari abstraksi, representasi dan interpretasi. Hal itu terjadi karena dunia tidak hadir kepada kita dalam bentuk pengelompokkan atau teori yang sudah dibuat. Ketika kita berbicara mengenai dunia yang anarkis, akhir dari perang dingin, hubungan gender maupun isu lainnya. Maka, posmodernisme memandang teori yang paling obyektif sekalipun tidak lepas dari interpretasi. (Campbell, 2013)
Siapapun itu baik pemimpin politik, aktivis sosial, akademisi maupun mahasiswa dapat membuat interpretasi mereka sendiri tentang “dunia”, baik mereka terlibat maupun tidak dalam penetapan teori, praktek maupun kajian Hubungan Internasional. Maka kemudian, berarti siapapun dapat membuat pendapatnya sendiri dan diakui sebagai pengetahuan yang sah. Hal ini karena pemahaman terhadap politik internasional bersifat bebas dalam arti hanya terdapat satu kemungkinan diantara beberapa kemungkinan dan tidak bebas dalam arti praktek-praktek sosial dan historis tertentu telah membuat cara dominan dalam membuat “dunia” yang memiliki efek nyata terhadap kita. (Campbell, 2013)
Interpretasi dominan dalam memandang “dunia” telah dibentuk oleh disiplin HI, yang secara tradisional membicarakan negara dan pembuat kebijakannya dalam mengejar kepentingannya untuk melindungi keamanan, hubungan ekonomi dan efek materialnya serta hak-hak bagi mereka yang telah diperlakukan buruk. “Kita” yang membicarakan hal ini dari sudut pandang tertentu seringkali berkulit putih, berasal dari Barat, makmur serta berada dalam zona nyaman. Hal ini mengakibatkan representasi mereka merasuk dalam identitas kita sebagai kerangka acuan dalam membangun kerangka politik dunia. (Campbell, 2013)
Paham Posmodernisme dimasukkan ke ranah HI pada tahun 1980-an melalui pemikiran dari Richard Ashley, James der Derian, Michael D. Shapiro dan R.B.J. Walker. Mereka memfokuskan studi ini sebagai artikulasi kritik meta-teori terhadap teori Neo-Realis dan Neo-Liberalis untuk mendemonstrasikan bagaimana ketajaman asumsi teoritis dari perspektif tradisional dalam memandang politik Internasional. (Campbell, 2013)
Dalam fokusnya terhadap praktik konseptual dan politik yang memasukkan satu hal dan mengesampingkan hal lainnya, pendekatan Posmodernisme terfokus pada bagaimana hubungan antara sisi luar dan dalam dapat dibentuk secara berkesinambungan. Seperti bagi paham Realisme, Negara dibatasi oleh batas antara luar dan dalam, kedaulatan dan anarki serta kita dan mereka. Adapun, Posmodernisme memulai dengan pertanyaan tentang bagaimana negara bisa dinyatakan sebagai aktor penting dalam politik Internasional dan bagaimana negara bisa dinyatakan sebagai aktor tunggal yang rasional. Posmodernisme pada awalnya tampak prihatin dengan praktik kenegaraan yang membuat negara dan kepentingannya tampak wajar dan perlu. Pendekatan ini juga tidak anti serta mengabaikan peran negara dan berusaha berjuang di luar peran negara, karena dalam banyak hal, posmodernisme juga menjelaskan bagaimana negara adalah dasar dari paradigma dan Posmodernisme prihatin dengan produksi konseptual dan sejarah negara serta fomasi politik, ekonomi dan sosialnya. (Campbell, 2013)
Posmodernisme dipandang sebagai kemungkinan terbaik dalam menggambarkan sebuah pandangan terhadap dunia (atau bahkan anti akan pandangan terhadap dunia). Para akademisi yang bekerja terhadap pandangan terhadap dunia ini merasa skeptis terhadap kemungkinan penjelasan teoritis yang menyeluruh terhadap hal-hal yang terjadi di dunia. Mereka memilih untuk tidak mencari teori-teori besar, melainkan untuk memeriksa secara rinci bagaimana dunia datang untuk dilihat dan memikirkan cara-cara tertentu pada saat-saat tertentu juga untuk mempelajari praktik-praktik sosial dalam hubungan kekuasaan dan menghasilkan dukungan. (Edkins, 2007)
Merumuskan grand theory dipandang sebagai praktik sosial diantara praktik-praktik sosial lainnya. Teori-teori tentang bagaimana karya-karya di dunia dianggap sebagai bagian dari dunia, tidak menjadi bagian yang terpisah dan dipelajari oleh Posmodernisme bersama praktik-praktik lainnya. Asumsi awal dari pemikiran posmodernisme adalah tidak ada titik di luar dunia, yang mana dunia itu adalah dunia yang dapat diamati. Semua pengamatan dan sistem teoritis dalam teori fisik atau ilmu pengetahuan alam serta teori sosial adalah bagian dari dunia tempat mereka berusaha untuk menggambarkan atau menjelaskan serta memiliki efek di dunia itu. (Edkins, 2007)

B. KRITIK POSMODERNISME TERHADAP TEORI TRADISIONAL
Posmodernisme memandang setiap teori empiris sebagai sebuah mitos. Setiap teori, termasuk teori Neo-Realis dan Neo-Liberalis, menentukan sendiri apa yang mereka sebut sebagai fakta, sehingga dengan kata lain, tidak ada kebenaran yang obyektif. Semua yang melibatkan tindakan manusia adalah subyektif. Teori-teori dominan dalam HI bisa dikataan sebagai sebuah cerita yang diucapkan secara terus menerus sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran bagi mereka. Namun, hal tersebut bukan berarti hal itu adalah sebuah kebohongan. Hanya saja, dianggap sebagai kebenaran dari satu sudut pandang yang harus dibuktikan dengan cerita kebenaran dari sudut pandang lainnya. (Jackson & Sorensen, 2013)
Pakar-pakar penting teori Posmodernisme seperti Richard Ashley, David Campbell, James der Derian, Michael Saphiro dan Rob Walker banyak mengkritik teori Neo-Realis, seperti Ashley dalam tulisannya di artikel yang berjudul “The Poverty of Neo-Realism” mengkritik teori Neo-Realis adalah teori yang mengklaim bahwa hanay beberapa elemen dari informasi tentang negara berdaulat dalam sistem internasional yang anarkis dapat memberi tahu kita hal yang penting dan besar dalam hubungan antar negara. Teori itu sendiri bahkan mengklaim dapat menjelaskan secara valid tentang politik internasional selama berabad-abad . (Jackson & Sorensen, 2013)
Target kritik Posmodernisme terhadap Neo-Realis adalah biasnya teori tersebut secara historis. Teori tersebut dianggap ahistoris karena pola pikir statis yang menganggap sejarah menciptakan struktur sosial yang tidak dapat diubah hingga hari ini dan hal tersebut adalah pemberian alam. Penekanan ini berlanjut dan terus berulang. (Jackson & Sorensen, 2013)
Peran aktor individu juga dikurangi dalam menciptakan sebuah sisi lain sejarah. Hal ini kemudian menegaskan Neo-Realisme memiliki kesulitan dalam mengasumsikan perubahan yang terjadi dalam hubungan internasional. Setiap alternatif yang akan terjadi di masa depan tetap akan membeku antara kedaulatan domestik dan sistem internasional yang anarkis atau pengurangan kedaulatan negara dengan pembentukan pemerintahan dunia. (Jackson & Sorensen, 2013)
Posmodernisme juga mengkritik Neo-realisme karena kualitas asal usul teori strukturalis.Ini seakan menggambarkan bahwa Neo-realisme memiliki kesulitan dalam mengubah sejarah. Emphasisnya adalah kelanjutan dari sebuah struktur dan pengulangan. Struktur Internasional yang anarkis akan berlanjut hingga kapanpun dan terus berulang. (Sorensen, 1998)
Di sisi lain, Steve Smith mengungkapkan terdapat empat kritik yang diajukan oleh Posmodernisme terhadap teori HI Tradisional. Yang pertama adalah adanay kemungkinan kesatuan ilmu dengan asumsi epistemologi dan ontologi dasar. Kedua adalah etik dan moralitas dari ilmu tradisional tersebut berbeda dengan fakta. Sehingga, mengakibatkan ilmu tersebut tidak bisa dianalisa secara obyektif. Ketiga, terdapat ilmu alam dalama kajian sosial yang dapat dianalisa secara obyektif dan yang terakhir adalah hukum dan fakta dalam ilmu tersebut dapat dipalsukan oleh studi empiris. (Dornelles, 2002)
Sementara Ashley mengkritik pengaruh positivis oleh Kenneth Waltz dengan menganggap membatasi panggung dunia dengan aktor tunggal yaitu negara yang mengawasi jalannya hukum politik internasional. Pandangan ini kemudian menghasilkan pandangan dunia yang seperti bola billiard yang tidak menghormati peraturan dan sering menghasilkan situasi yang tidak stabil dalam politik internasional dan mengakibatkan terjadinya sikap intersubyektif yang mengganggap hukum dibuat dan diterapkan. (Dornelles, 2002)

C. UNSUR DALAM POSMODERNISME

Dalam Posmodernisme, kemudian dikenal dua hal yang saling berkaitan yaitu power dan pengetahuan. Pengetahuan sendiri adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk menciptakan sesuatu berdasarkan hubungan nilai, kepentingan dan kekuatan. Pengetahuan itu sendiri tidak akan rusak karena pengaruh dari luar dan didasarkan atas alasan yang murni. (Devetak, 2005)
menurut Foucaut, terdapat konsistensi yang berlaku secara umum yang tidak dapat berkurang nilainya karena faktor identitas, antara mode interpretasi dan pegoperasian dari power. Power dan pengetahuan bersifat saling mendukung. Mereka secara langsung menyiratkan satu sama lainnya. Sebagai contoh, Foucaut dalam Discipline and Punish (1977) menginvestigasi kemungkinan evolusi sistem penal terhubung secara intim dengan ilmu Humaniora. Argumennya didasarkan pada proses tunggal dari “Epistemologi-yurisdikal” dan formasi mendasari sejarah penjara di satu sisi dengan ilmu humaniora di sisi lain. Dengan kata lain, penjara sesuai dengan kehidupan masyarakat modern dan kehidupan modern menangkap dunia manusia. (Devetak, 2005)
Tipe analisis semacam ini telah diterapkan dalam dunia hubungan internasional oleh banyak pakar. Richard Ashley telah berhasil menemukan satu dimensi dari hubungan power – pengetahuan dari apa yang disebut Foucaut sebagai “rule of immanence” antara pengetahuan dari negara dengan pengetahuan dari setiap manusia. Ashley berargumen bahwa tata negara yang modern adalah tata manusia yang modern. Ia ingin mendemonstrasikan bagaimana paradigma kedaulatan secara simultan memberikan peningkatan terhadap disposisi epistemologis dan catatan terhadap kehidupan politik modern tertentu. (Devetak, 2005)
Hal lainnya yang juga penting untuk dipelajari dalam paham Posmodernisme adalah genealogi atau paham silsilah. Genealogi dipahami sebagai pemikiran historikal yang mengekspose dan mendaftarkan signifikansi antara power dan pengetahuan. Seperti yang dijelaskan oleh Ronald Bleiker bahwa Genealogi terfokus pada proses konstruksi asal mula dan arti yang diberikan oleh representasi masa lalu, repreentasi tersebut memandu kita secara berkesinambungan dalam kehidupan sehari-hari dan menetapkan batasan nyata dalam opsi sosial dan politik. (Devetak, 2005)
Arti fundamental dari Genealogi adalah terpusat pada menuliskan jawaban atas sejarah yang mengekspose proses eksklusi dan melindungi yang memungkinkan untuk terciptanya sebuah ide teleologi dari sebuah peristiwa sejarah sebagai peristiwa terpada dari awal, tengah hingga akhir. Sejarah, dari perspektif genealogi tidak mengenal bukti pengungkapan bertahap terhadap kebenaran dan makna. Sebaliknya, itu adalah proses pengulangan tanpa akhir dari sebuah dominasi. Sejarah adalah hasil dari rangkaian dominasi serta pemaksaan dalam pengetahuan dan kekuasaan. Tugas dari Genealogi adalah mengungkap sejarah berdasarkan aneka jalan yang telah dibina atau tertutup dalam konstitusi subyek, obyek, bidang tindakan dan domain pengetahuan. (Devetak, 2005)
Genealogi menyatakan sebuah perspektif, yang mana menolak kapasitas untuk mengidentifikasi awal mula dan arti dari sejarah yang obyektif. Pendekatan genealogi adalah sebuah pendekatan anti-essentialis dalam orientasi, mengungkapkan ide dari seluruh ilmu dalam waktu bersamaan, dan menempatkan isu dalam perspektif partikuler. Salah satu konteks yang ditetapkan adalah bahwa tidak ada kebenaran yang obyektif, yang ada hanya persaingan perspektif. (Devetak, 2005)
Perspektif sendiri tidaklah bisa dilihat dengan alat optik modern dalam melihat dunia seperti teleskop atau mikroskop, namun juga sangat fabris dalam memandang dunia. Bagi posmodernis, mengikuti pendapat Nietzsche, perspektif menyatu dalam konstitusi dalam memandang dunia nyata. Bukan hanya karena itu adalah satu-satunya aset, namun juga elemen dasar dan penting dalam hal itu. (Devetak, 2005)
Genealogi sendiri bukanlah ilmu yang tidak memiliki masalah. Sejak, perjuangannya melawan bentuk dari kekuatan yang terasosiasi dalam pengetahuan.Kebanyakan, setelah genealogi ditelusuri, dia akan digolongkan ke dalam rumpun uniter, yang mana banyak ditolak oleh rumpun ilmu pengetahuan. Maka, genealogi kembali menjadi bagian dari efek power dan pengetahuan. (Edkins, 2007)
Salah satu contoh kasus dalam Genealogi adalah peristiwa 11 September 2001, yaitu meledaknya dua menara kembar di kota New York akibat ditabrak oleh pesawat. Para pakar Posmodernisme kemudian membandingkan kejadian ini dengan serangan Jepang ke Pearl Harbour tahun 1941.
Perbandingan ini terjadi karena dua kejadian tersebut menginisiasi keterlibatan Amerika Serikat dalam sebuah perang. Pada serangan Pearl Harbour pada tahun 1941 pada akhirnya membuat Amerika Serikat resmi terjun dalam pertempuran di Pasifik dan ikut berperan aktif dalam Perang Dunia II. Adapun, serangan 11 September 2001 menginisasi keterlibatan Amerika Serikat dalam peperangan asimetris melawan terorisme. Walaupun, Amerika Serikat juga terlibat dalam peperangan langsung dengan invasi ke Afghanistan dan Iraq setelah kejadian 11 September.
Maka, bagi para pakar Posmodernisme, kejadian yang terjadi di masa lalu bukan tidak mungkin bsia diulang lagi dan digunakan oleh aktor yang sama untuk kepentingan serupa.
Dekonstruksi adalah mode umum yang diambil menjadi konsep yang stabil dan oposisi kontekstual. Titik utamanya adalah untuk menunjukkan efek dan biaya yang dihasilkan oleh konsep menetap dan oposisi. Menurut Derrida, konsepsi oposisi tidak pernah bersikap netral, namun bersikap hierarkial. Salah satu dari dua istilah dalam oposisi adalah hak istimewa atas lainnya. Istilah istimewa ini konon berkonotasi kehadiran, kepatutan,
kepenuhan, kemurnian, atau identitas yang lain tidak memiliki (misalnya, Kedaulatan sebagai lawan anarki). Dekonstruksi upaya untuk menunjukkan bahwa oposisi tersebut tidak dapat dipertahankan, karena setiap istilah selalu sudah tergantung pada yang lain. Memang, istilah keuntungan hak istimewa yang hanya dengan mengingkari ketergantungannya pada istilah bawahan. (Devetak, 2007)
Dekonstruksi adalah ungkapan spesifik yang dielaborasikan oleh Derida dan banyak memiliki bukti dalam pendekatannya dengan posmodernisme di hubungan internasional. Dekonstruksi adalah lawan dari konstruksi. Untuk memahami pola ini, maka harus terlebih dahulu memahami kritik Derrida terhadap metafisika barat atau biasa disebut logosentrisme. (Edkins, 2007)
Logosentrisme, cara penalaran yang penting untuk pemikiran kontemporer. Secara spesifik berasal dari Eropa. Beroperasi secara dikotomi seperti bagian dalam/luar, pria/wanita, dan mengingat/melupakan. Masing-masing membentuk suatu hierarki. Dimana, termin pertama dalam pasangan ini dipandang lebih utama daripada yang kedua. Namun, Derrida kembali menegaskan bahwa termin prioritas tidak dapat bergerak tanpa bayangannya sendiri. (Edkins, 2007)
Salah satu serangan terbesar yang dilakukan oleh Posmodernisme terhadap naratif Logosentris di ilmu tradisional HI adalah dikotomi anarki dan kedaulatan. Ini adalah salah satu pemikiran pusat dari realisme. Hal ini karena bagi konsep keamanan realis,baik skema struktur internasional atau antara negarawan yang bertindak rasional, kondisi dunia di luar batas sebuah negara adalah dunia yang berbahaya atau anarkis. Dimana, tidak ada hukum atau peraturan yang mengatur. (Dornelles, 2002)
kemudian, hal lain yang juga menjadi salah satu pola pikir dalam Posmodernisme adalah “Double Reading”. Hal ini mengacu pada pemikiran Derrida untuk menjelaskan hubungan antara efek stabilitas dengan destabilitas adalah dengan membaca lebih dari dua kali untuk sebuah analisis. “Double Reading” adalah strategi duplikasi yang secara simultan dapat dipercaya. Pembacaan yang pertama bertujuan untuk mengomentari atau merepetisi interpretasi yang dominan dalam isu tersebut. Sedang pembacaan yang kedua bertujuan untuk kembali mengingat hal yang dirasa tidak pas dalam isu tersebut. Dimana, penekanan dari pengingatan in iditujukan kepada teks, pendekatan dan institusi dari isu tersebut. (Devetak, 2005)

D. KRITIK ATAS POSMODERNISME

Posmodernisme sendiri walau banyak mengkritik teori tradisional HI tidak membuat dia sendiri menjadi teori yang bebas kritik. Salah satu yang menjadi sasaran kritik adalah sisi emphasis posmodernisme terhadap tekstualitas. Hal Ini membuat Posmodernisme dianggap sebagai teori yang teori relativisme nihil total. Dengan menolak realita obyektif dan menyatakan bahwa seluruh teori HI tidak punya landasan berpijak, maka Posmodernisme dianggap sebagai teori yang tidak memiliki mekanisme dalam menguhubungkan satu teori dengan teori lainnya. (Dornelles, 2002)
Vazquez, salah satu orang yang menghargai kontribusi teori Posmodernisme beranggapan bahwa jika seluruh realita adalah konstruksi sosial, maka Posmodernisme sendiri tidaklah lebih dari sebuah konstruksi sosial. Sebagai contoh adalah bagaimana mungkin Posmodernisme menganggap dekonstruksi dari prosedur logosentrisme adalah yang paling benar, maka bagaimana mereka mempertahankan thesis bahwa mengapa logosentrisme adalah yang paling benar. Mendapat soal seperti ini, maka jawaban dari Posmodernisme adalah pertanyaan seperti itu hanya cocok apabila dilakukan dengan pendekatan positivis-empiris. Dimana kemungkinan terdapat metode obyektif yang dapat memfalsifikasi teori. (Dornelles,2002)
Anggapan bahwa Posmodernisme memunculkan anarki epistemologis yang kemudian menghasilkan strategi delegitimasi yang menolak semua pandangan dibalik batas pendekatan “saintifik”, sebuah definisi yang diciptakan oleh positivis. Namun, kendati demikian, tuduhan “nihilisme” atau “anything goes”lebih tepat diarahkan pada realis atau teori non-kritikal lainnya yang menolak etika politik teori. Kritik-kritik tersebut juga menuduh Posmodernisme sebagai teori yang anti-empiris. (Dornelles, 2002)
Para kritikus juga menganggap Posmodernisme terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk mengkritik teori lain daripada membangun teorinya sendiri dalam analisa Hubungan Internasional. Selain itu, Posmodernisme dianggap sebagai teori yang kanibalistik, karena menghabiskan waktunya mengkritik teori lain tanpa memberikan sumbangsih akan pandangannya terhadap dunia dari sudut pandang Hubungan Internasional. (Campbell, 2013)
Robert O. Keohane menambahkan bahwa Posmodernisme harus bisa membuktikan bahwa mereka bisa menjadi sisi terang dalam kasus penting di politik global. Sampai hal itu terjadi, maka mereka hanyalah sebuah “margins of field”, yang tidak terlihat sebagai bukti dari teori empiris nyata, yang kebanyakan secara eksplisit dan implisit menerima satu atau versi lain dari premis rasional. (Campbell, 2013)
Thomas Bierstekers juga menambahkan bahwa teori Posmodernisme akan membimbing umat manusia jatuh kepada sebuah gang yang gelap. Biersteker beranggapan bahwa bagaimana mungkin menganggap Posmodernisme sebagai post-positivis pluralis jika mereka tidak memiliki kriteria alternatif. Biersteker bahkan mempertanyakan status Posmodernisme sebagai teori penolakan, intoleran atau lebih buruk dari itu. (Campbell, 2013)

E. KESIMPULAN

Teori Posmodernisme dalam kajian Hubungan Internasional bisa dianggap sebagai suatu kajian baru yang berbeda dengan yang lainnya. Karena dalam teori ini, mereka menganggap bahwa tidak adanya kebenaran dalam sebuah paradigma Hubungan Internasional, namun yang ada hanyalah peperangan perspektif antara satu teori dengan teori lainnya. Teori ini juga berhasil membuat para pakar menganalisa fenomena dalam Hubungan Internasional dengan cara yang berbeda. Dua diantaranya yang paling banyak digunakan adalah Genealogi dan Dekonstruksi.
Posmodernisme juga membuat manusia untuk mampu berpikir kritis dan tidak menelan mentah-mentah teori yang ada. Posmodernisme juga menyerang teori-teori tradisional yang sudah ada, terutama Neo-Realis dan Neo-Liberalis yang dianggap menciptakan sebuah fakta yang dianggap belum dapat dibuktikan, termasuk sistem internasional yang anarkis.
Akan tetapi, kendati teori ini banyak dikritik sebagai teori yang tidak bisa menghasilkan solusi dan kanibal. Namun, teori ini terbukti berhasil diterapkan dalam berbagai kasus daripada pendekatan-pendekatan teori positivis. Seperti contohnya kebijakan luar negeri di Korea, Bosnia dan Amerika Serikat. Dalam kasus Bosnia, kebijakan luar negeri tidak hanya didasarkan pada hasil yang konkrit, namun juga dihubungkan pada identitas, fakta dan kejadian yang terjadi di lapangan. Pendekatan Balkan dan Genosida membuat Inggris dan Amerika Serikat berhasil menerapkan kebijakan yang tepat dalam kasus ini.


F. DAFTAR PUSTAKA

Campbell, David (2013). Post-Structuralism in Dunne, Tim et al, International Relations Theories : Discipline and Diversity : Third Edition (pp 223 – 246), Oxford : Oxford University Press
Devetak, Richard (2005). Theories of International Relations : 3rd Edtition , New York : Palgrave MacMillan
Dornelles, Felipe Krauss (2002). Postmodernism and IR : From Disparate Critique to A Coherent Theory of Global Politics. Global Politics Network , 1-19
Edkins, Jenny (2007) . Post-Structuralism in Griffiths, Martin, International Relations for twenty-first century : An Introduction (pp. 88 – 98). New York : Routledge
Sorensen, Georg (1998). IR Theory after the Cold War in Dunne,Tim et al, The Eighty years crisis : International Relations 1919 – 1999 (pp.83-100), Cambridge : Cambridge University Press
Sorensen, Georg & Jackson, Robert (2013). Introduction to International Relations : Theories and Approach : Fifth Edition, Oxford : Oxford University Press




DIPLOMASI PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT DALAM PERANG AS – MEKSIKO 1846 – 1848

1. Pendahuluan
            Perang yang terjadi antara Amerika Serikat dan Meksiko pada tahun 1846 hingga 1848 adalah salah satu perang yang penting dalam tonggak sejarah Amerika Serikat, walaupun tidak terlalu banyak mendapat sorotan publik layaknya Perang Sipil. Tercatat lima negara bagian, yaitu California, Nevada, Arizona, Utah dan New Mexico, resmi bergabung menjadi bagian dari Amerika Serikat usai perang ini. Peperangan ini juga menjadi perang pertama yang dilakukan Amerika Serikat setelah merdeka terhadap negara lain. Perang AS – Meksiko ini pada akhirnya juga turut berpengaruh dalam terjadinya perang sipil di AS antara tahun 1861 – 1865.
            Permasalahan yang terjadi dalam perang AS – Meksiko ini adalah keinginan Amerika Serikat untuk memperluas wilayahnya karena semakin tingginya kebutuhan mereka akan lahan baru, seiring semakin tingginya arus imigrasi ke negara tersebut. Maka, dimulailah proses diplomasi dari presiden AS kala itu, James K. Polk, untuk bisa meyakinkan pemerintah Meksiko agar bersedia menjual lima negara bagian yang diinginkan tersebut serta usaha Polk untuk meyakinkan kongres bahwa bergabungnya lima negara bagian tersebut adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh Amerika Serikat.
            Namun, pada kenyataanya. Meksiko tidak mau menjual wilayah mereka kepada AS. Apalagi mereka masih marah dengan tindakan pemerintah AS yang menganeksasi Texas menjadi wilayah mereka pada tahun 1845. Adapun, kongres AS sendiri banyak yang menentang perang tersebut karena kekhawatiran mereka akan bertambahnya negara bagian baru yang melegalkan perbudakan, padahal banyak dari anggota kongres terutama dari wilayah Utara yang menginginkan perbudakan dihapus dan pertanian di Selatan diganti menjadi industri.
            Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses diplomasi yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat, dalam hal ini presiden James K. Polk, dalam mempengaruhi kongres dan pemerintah Meksiko untuk bisa melaksanakan kepentingan nasionalnya mendapatkan California dan negara bagian lainnya serta legitimasi atas wilayah Texas, termasuk dengan melancarkan peperangan.

2. Proses Berjalannya Diplomasi Pemerintah Amerika Serikat
            Dalam perjalanannya, proses diplomasi yang dilakukan oleh presiden AS, James K. Polk bermula ketika ia mengirim jendral Zachary Taylor ke Texas pada tanggal 18 Juli 1845 untuk melindungi wilayah perbatasan Texas dari serbuan tentara Meksiko, sekaligus untuk mempercepat proses bergabungnya Texas menjadi negara bagian Amerika Serikat yang pada akhirnya bergabung pada tanggal 27 Desember 1845 (Rives, 1913 p.2).
            Di sisi lain, ia juga mengirim surat kepada Thomas Larkin, konsulat AS di wilayah Alta California mengenai ketertarikan Polk untuk menjadikan California sebagai negara bagian tambahannya. Hal ini ditunjukkan dengan dukungannya terhadap kemerdekaan Alta California dari Meksiko dengan kesediannya mengirimkan voluntir ke wilayah tersebut (Rives, 1913 p.2).
            Untuk memuluskan langkahnya dan mencegah Inggris mengganggu ambisinya, Polk segera menandatangani traktat Oregon, di mana Amerika Serikat juga sedang berperang dengan Inggris untuk merebut wilayah Oregon. Usai menandatangani traktat Oregon, Polk segera mengutus John C. Fremont      untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Amerika Serikat di Texas yaitu membiayai imigran-imigran Amerika Serikat di wilayah tersebut untuk memberontak dan merebut kemerdekaan dari Meksiko (Rives, 1913 p.3).
            Untuk mengambil simpati pemerintah Meksiko, Polk lalu mengirim utusannya, John Slidell ke Mexico City untuk menemui Presiden Meksiko, Jose Herrera, untuk bernegosiasi mengenai  pembelian wilayah California dari Meksiko serta negara bagian lainnya. Untuk melindungi Slidell, Polk juga mengirimkan tentaranya ke Rio Grande, yang diklaim sebagai wilayah perbatasan Texas (Pletcher, 2014).
            Namun, kedatangan Slidell ke Mexico City ternyata tidak disambut dengan baik oleh Herrera dan rakyat Meksiko. Rakyat Meksiko yang masih marah dengan dukungan Amerika Serikat terhadap kemerdekaan Texas tentu tidak ingin lagi kehilangan wilayahnya. Maka, seusai Slidell pergi meninggalkan Mexico City, Herrera segera mengirimkan tentaranya ke Rio Grande untuk bertempur melawan tentara Amerika Serikat yang ditugaskan disana (Pletcher, 2014).
            Serangan tentara Meksiko terhadap pasukan AS di Rio Grande ini telah memberikan legitimasi kepada Polk untuk memulai peperangan melawan Meksiko. Namun, walaupun Polk dan kabinetnya sudah bersiap untuk melancarkan peperangan. Kongres pada kala itu, masih terbelah antara berperang dan menjaga perdamaian dengan tentara Meksiko.
            Polk kemudian mengirimkan surat kepada kongres pada tanggal 11 Mei 1846 yang isinya menyatakan bahwa pemerintah Meksiko tidak hanya menolak utusan pemerintah AS yang diutus untuk melakukan pembicaraan damai, tetapi juga telah menginvasi wilayah AS dan menumpahkan darah tentara AS di wilayah kedaulatan AS. Dalam pesannya, Polk juga menekankan bahwa peperangan saat itu sedang terjadi di wilayah kedaulatan AS (Fisher, 2009 p.2).
            Kendati demikian, tidak semua anggota kongres setuju dengan pernyataan Polk bahwa peperangan sedang terjadi di tanah Amerika Serikat. Dalam perdebatan antara senat dan anggota kongres, beberapa senator seperti William Allen dan John Calhoun menyatakan bahwa peperangan tidak pernah terjadi. Calhoun bahkan menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara pertempuran dan peperangan. Ia juga menambahkan bahwa adanya kemungkinan terjadinya invasi tanpa dibarengi peperangan, namun ia segera menegaskan bahwa sudah tugas suci pemerintah AS untuk memulai sebuah peperangan apabila kedaulatannya dilanggar (Fisher, 2009 p.2).
            Kecerdikan diplomasi Polk meyakinkan kongres pada akhirnya membuat kongres setuju untuk mengirimkan 15.000 pasukan untuk berperang melawan tentara Meksiko. Namun, walaupun demikian, perdebatan di parlemen masih terus terjadi. Anggota kongres dari partai Republik, Garrett Davis menyatakan bahwa telah terjadi pertempuran antara tentara Amerika Serikat dan Meksiko. Akan tetapi, ia menolak klaim yang menyatakan bahwa Meksiko bersalah dalam peperangan ini karena telah menciptakan pertumpahan darah di tanah AS, tanpa didukung bukti yang kuat. Davis justru menuding balik pihak Amerika Serikat yang memulai peperangan ini dengan mencaplok wilayah Meksiko dan memulai invasi disana (Fisher, 2009 p.3).
            Beberapa sejarawan meyakini bahwa penolakan atas invasi ke Meksiko ini didasari atas kekhawatiran bertambahnya jumlah negara bagian yang mengizinkan praktik perbudakan di wilayah Selatan. Padahal, praktik perbudakan sendiri bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Disamping itu, keberadaan para budak ini juga akan membuat proses industrialisasi di wilayah selatan, yang ekonominya masih bergantung kepada pertanian dan perkebunan, menjadi semakin sulit. Sehingga kemudian muncul banyak tudingan bahwa para pemilik budak dan kaum abolisionis di tubuh pemerintahan Polk adalah golongan yang bertanggung jawab dalam memicu peperangan antara AS dengan Meksiko (globalsecurity.org, 2014)
            Pada akhirnya, walau diwarnai banyak penolakan. Senat akhirnya sepakat untuk meloloskan Undang-undang yang menyatakan telah terjadi peperangan. Mayoritas dari anggota dewan Senat setuju untuk meloloskan undang-undang tersebut. Sementara itu, tiga senator termasuk Calhoun memlih absen karena keberatan dengan adanya RUU tersebut. Dengan disahkannya UU yang menyatakan peperangan tersebut, maka pemerintah segera mengirim 10.000 voluntir untuk diterjunkan dalam peperangan melawan Meksiko serta bantuan senilai 10 Juta Dollar AS agar AS bisa memenangi peperangan tersebut (Fisher, 2009 p.3).
            Polk sendiri merasa yakin bisa memenangi peperangan tersebut. Maka, ia pun segera mengirim utusannya secara rahasia untuk menemui mantan diktator Meksiko, Antonio Lopez de Santa Ana yang sedang diasingkan ke Kuba setelah kekalahannya secara memalukan dalam Revolusi Texas tahun 1835. Polk ingin membujuk Santa Ana agar menyetujui penjualan California kepada AS. Santa Ana sendiri menyetujui penjualan tersebut, asalkan ia dibantu untuk kembali berkuasa. Maka, Polk pun segera memerintahkan Angkatan Laut AS untuk membawa Santa Ana kembali ke Meksiko dan merebut kekuasaan. Sayangnya, perhitungan Polk kali ini salah. Usai dibantu kembai berkuasa, Santa Ana justru melanggar kesepakatan yang telah dibuat dan berbalik memimpin tentaranya melawan tentara Amerika Serikat (globalsecurity.org, 2014).
            Sementara di medan perang, tentara Meksiko terus terdesak. Tentara AS dibawah arahan jendral   Winfried Scott, berhasil menguasai Mexico City pada tanggal 23 Februari 1847 dan dilanjutkan menguasai kota pelabuhan Veracruz pada tanggal 29 Maret 1847. Hal ini merupakan sebuah pencapaian besar dalam sejarah militer AS, karena untuk pertama kalinya mereka berhasil memenangkan pertempuran di luar negara mereka. Hal ini juga menjadi jaminan bahwa kemenangan dalam peperangan antara AS – Meksiko sudah mulai dapat dipastikan (Globalsecurity.org, 2014).
            Dalam kondisi demikian, Polk memutuskan mengirim perwakilan diplomatik khusus yang diberi kuasa untuk bernegosiasi perdamaian kapanpun Meksiko bersedia. Pada akhirnya, gencatan senjata pun disetujui. Tetapi, tentara Meksiko di bawah arahan Santa Ana ternyata menolak menyerah dan Santa Ana selalu menggunakan momen gencatan senjata untuk menyiapkan peperangan selanjutnya (globalsecurity.org, 2014).
            Dengan kalahnya tentara Meksiko dari sisi kekuatan persenjataan dan taktik bertempur ditambah dengan konflik internal antara pemerintah Meksiko dengan pemberontak Yucatan, membuat Pemerintah Meksiko resmi menyerah kepada pemerintah AS pada tanggal 14 September 1847. Mereka pun akhirnya terpaksa menandatangani perjanjian Hidalgo Guadelupe. Perjanjian ini ditandatangani oleh diplomat AS, Nicholas Trist serta perwakilan pemerintah Meksiko, Luis G. Cuevas, Bernardo Couto, dan Miguel Atristain (www.loc.gov, 2014).
            Isi dari perjanjian ini menyatakan bahwa Amerika Serikat berhak mendapatkan kontrol penuh atas Texas, menetapkan perbatasan baru AS – Meksiko di wilayah Rio Grande, dan mendapatkan lahan baru yang mencakup California, Nevada, Arizona, New Mexico, Utah, Colorado serta beberapa wilayah Oklahoma, Kansas dan Wyoming. Sebagai gantinya, pemerintah Meksiko mendapatkan uang sebesar 15 juta dolar AS, yang jumlahnya separuh lebih kecil dari tawaran pertama AS serta penghapusan utang Meksiko sebesar 32,5 juta dolar AS (globalsecurity.org, 2014).
            Namun, kendati sudah mendapatkan California dan negara bagian lainnya. Polk ternyata masih belum puas dengan apa yang ia dapatkan. Ia masih berusaha menginginkan tambahan lahan lain. Hanya saja, ia sadar bahwa untuk mendapatkan keinginannya, Polk harus memulai kembali sebuah peperangan dan kongres kemungkinan besar akan menolak terjadinya peperangan baru. Maka, ia pun bersikap mengalah dan segera menyerahkan perjanjian tersebut kepada senat dan kemudian disetujui. Perjanjian ini pun kemudian juga disetujui oleh kongres Meksiko sehingga peperangan antar kedua negara ini resmi berakhir pada bulan Mei 1848 (globalsecurity.org, 2014).
3. Kesimpulan
            Perang AS – Meksiko ini tercipta karena masalah yang dialami sebuah negara baru yang mengalami kekurangan lahan dan berambisi memperluas lahannya seiring dengan kedatangan jumlah imigran ke AS yang semakin pesat. Paham Manifest Destiny yang melegitimasi setiap orang kulit putih memiliki hak untuk mengambil setiap lahan kosong di benua Amerika juga mendorong terjadinya gelombang perluasan wilayah sebesar-sebesarnya. AS, dalam hal ini diwakili sang presiden, James K. Polk, memang sangat bersemangat dalam hal ini. Mulai dari menganeksasi Texas hingga ambisinya membeli California yang berujung peperangan selama satu setengah tahun dengan Meksiko.
            Penulis meyakini bahwa ambisi Polk tersebut tidak lepas dari potensi ekonomis yang dimiliki oleh negara bagian tersebut. Seperti halnya Texas yang memiliki cadangan minyak dan California yang memiliki cadangan emas. Hal ini juga dikarenakan AS masih belum sepenuhnya pulih dari krisis yang menerpa mereka pada tahun 1837 dan mereka harus mencari lahan baru yang subur dan produktif  untuk menunjang perekonomian negaranya.
            Akan tetapi, Polk sendiri dalam kebijakannya, terlihat tidak begitu ingin berperang dengan Meksiko. Ia memutuskan berperang hanya untuk memastikan bahwa wilayah yang diincarnya bisa menjadi bagian dari AS, karena ia menganggap bahwa peperangan akan dengan cepat berakhir. Ini terlihat dari kebijakannya selama peperangan yang memberikan Meksiko kesempatan untuk melakukan pembicaraan damai kapanpun juga ditambah keputusannya untuk memberikan uang ganti rugi kepada pemerintah Meksiko dan penghapusan utang, walaupun mereka dalam hal ini bertindak sebagai pemenang perang.
            Maka, jelas sudah bahwa diplomasi yang dilakukan pemerintah AS, dalam hal ini Presiden James K. Polk, dalam mengamankan kepentingan nasionalnya di perang AS – Meksiko 1846 – 1848 berlangsung dengan baik. Keberhasilannya meyakinkan kongres serta menekan pemerintah Meksiko untuk melakukan perundingan damai, walau hal itu harus dilakukan dengan hard power terbukti mampu menuai hasil. AS pun mendapatkan apa yang diinginkannya yaitu wilayah negara bagian baru serta legitimasi atas wilayah Texas. Adapun Meksiko, walaupun harus mengakui kekalahan, namun mereka masih mendapatkan hadiah berupa uang ganti rugi dan penghapusan hutang.

4. Daftar Acuan

Fisher, Louis, 2009, The Mexican's War and Lincoln's Spot Resolution, The Law of Library Congress Journal

Pletcher, David M., 2014, James K. Polk and US – Mexican's War : A Policy Appraisal, Indiana University Journal

Rives, George Lockhart, 1913, The United States and Mexico, 1821–1848: a history of the relations between the two countries from the independence of Mexico to the close of the war with the United States,          New York, Charles Bounville Books.


http://www.loc.gov/rr/program/bib/ourdocs/Guadalupe.html diakses pada tanggal 13 Agustus 2014