POSMODERNISME
A.
PENDAHULUAN
Posmodernisme
atau Posstrukturalisme dianggap sebagai teori kritis yang pertama dan
paling utama dalam ilmu sosial, termasuk dalam Hubungan Internasional
yang didasarkan pada metodologi positivis. Pada dasarnya, pendekatan
positivis pada Hubungan Internasional adalah keyakinan ilmiah bahwa
tidak mungkin ilmu kumulatif dalam Hubungan Internasional bisa
meningkatkan kemutakhiran, presisi, kehematan, prediksi serta
kemampuan eksplanatif. (Jackson & Sorensen, 2013)
Positivis
sendiri percaya akan adanya kesatuan ilmu, yakni tidak adanya
perbedaan fundamental antara ilmu sosial dengan ilmu alam. Positivis
berpendapat bahwa metode-metode dalam ilmu alam, termasuk metode
kuantitatif dapat diterapkan dalam ilmu sosial dan ilmu alam.
(Jackson & Sorensen, 2013)
Makna
dari positivis adalah mengumpulkan data yang dapat menyebabkan
terjadinya penjelasan ilmiah. Karena itu, dibutuhkan metodologi dan
sikap ilmiah di pihak peneliti. Kemudian dari hal tersebut, dapat
dilakukan sebuah penjelasan secara empiris mengenai prilaku politik.
Hal ini termasuk cara menentukan bagaimana perilaku politik
seseorang, serta hasil, proses politik dan sistem yang dihasilkan
dari perilaku politik tersebut. (Jackson & Sorensen, 2013)
Positivisme
memandang dunia sosial dan politik, termasuk dunia internasional,
sebagai tempat yang memiliki pola dan keteraturan yang dapat
dijelaskan apabila metodologi yang benar dapat diterapkan secara
tepat. Positivis berargumen bahwa observasi dan pengalaman adalah
kunci untuk menyusun dan menilai teori-teori ilmiah. Hal ini kemudian
dapat berkembang menjadi pengetahuan obyektif dari dunia ini atau
setidaknya terjadi banyak kesepakatan inter-subyek. (Jackson &
Sorensen, 2013)
Hal
ini kemudian ditentang oleh Posmodernisme, yang mana mereka menolak
penerapan empiris tersebut pada ilmu sosial. Mereka beranggapan bahwa
pendekatan empiris yang hanya berdasarkan pengamatan belaka tidak
akan bisa diterapkan dalam ilmu sosial. Dalam melakukan pengamatan
tersebut, si peneliti harus dibarengi dengan pemahaman konsep dan
teori. Karena tanpa itu, yang bersangkutan hanya akan didikte oleh
apa yang ia amati tanpa bisa menemukan kebenaran. (Jackson &
Sorensen, 2013)
Posmodernisme
adalah salah satu teori yang dianggap paling kontroversial dalam
Humanisme dan ilmu sosial. Itu biasanya selalu dihubungkan dengan
penyebab kejahatan moral dan politik. Terutama setelah kasus 11
September, dimana Posmodern disalahkan karena dianggap tidak
menunjukkan simpati moralnya atas kejadian tersebut, padahal saat itu
adalah saat dimana simpati moral ditunjukkan. Namun, Posmodernisme
justru lebih menunjukkan sifat skeptis, bahkan lebih condong
mendukung tindakan terorisme tersebut. Akan tetapi, para pakar
Posmodernisme sendiri tidaklah mendukung tindakan tersebut, Namun,
mereka haya mempertanyakan tindakan moral dan epistemologis dari
tindakan tersebut (Devetak, 2005).
Makna
Posmodernisme tidak hanya terputus antara proponen dan kritik, tapi
juga menghubungkan antara proponen. Para pakar sendiri melabeli
Posmodernisme dengan istilah “post-strukturalisme” dan
“dekonstruksi”. Namun, kadang-kadang mereka menolak melabeli
Posmodernisme dengan nama-nama tersebut secara bersamaan. Namun,
definisi Posmodernisme sendiri lebih mengutamakan pendekatan
pragmatis dan adoptif. (Devetak, 2005)
Posmodernisme
lahir karena setiap cara memandang politik internasional adalah
berbeda, tergantung dari abstraksi, representasi dan interpretasi.
Hal itu terjadi karena dunia tidak hadir kepada kita dalam bentuk
pengelompokkan atau teori yang sudah dibuat. Ketika kita berbicara
mengenai dunia yang anarkis, akhir dari perang dingin, hubungan
gender maupun isu lainnya. Maka, posmodernisme memandang teori yang
paling obyektif sekalipun tidak lepas dari interpretasi. (Campbell,
2013)
Siapapun
itu baik pemimpin politik, aktivis sosial, akademisi maupun mahasiswa
dapat membuat interpretasi mereka sendiri tentang “dunia”, baik
mereka terlibat maupun tidak dalam penetapan teori, praktek maupun
kajian Hubungan Internasional. Maka kemudian, berarti siapapun dapat
membuat pendapatnya sendiri dan diakui sebagai pengetahuan yang sah.
Hal ini karena pemahaman terhadap politik internasional bersifat
bebas dalam arti hanya terdapat satu kemungkinan diantara beberapa
kemungkinan dan tidak bebas dalam arti praktek-praktek sosial dan
historis tertentu telah membuat cara dominan dalam membuat “dunia”
yang memiliki efek nyata terhadap kita. (Campbell, 2013)
Interpretasi dominan dalam memandang “dunia” telah dibentuk oleh
disiplin HI, yang secara tradisional membicarakan negara dan pembuat
kebijakannya dalam mengejar kepentingannya untuk melindungi keamanan,
hubungan ekonomi dan efek materialnya serta hak-hak bagi mereka yang
telah diperlakukan buruk. “Kita” yang membicarakan hal ini dari
sudut pandang tertentu seringkali berkulit putih, berasal dari Barat,
makmur serta berada dalam zona nyaman. Hal ini mengakibatkan
representasi mereka merasuk dalam identitas kita sebagai kerangka
acuan dalam membangun kerangka politik dunia. (Campbell, 2013)
Paham
Posmodernisme dimasukkan ke ranah HI pada tahun 1980-an melalui
pemikiran dari Richard Ashley, James der Derian, Michael D. Shapiro
dan R.B.J. Walker. Mereka memfokuskan studi ini sebagai artikulasi
kritik meta-teori terhadap teori Neo-Realis dan Neo-Liberalis untuk
mendemonstrasikan bagaimana ketajaman asumsi teoritis dari perspektif
tradisional dalam memandang politik Internasional. (Campbell, 2013)
Dalam
fokusnya terhadap praktik konseptual dan politik yang memasukkan satu
hal dan mengesampingkan hal lainnya, pendekatan Posmodernisme
terfokus pada bagaimana hubungan antara sisi luar dan dalam dapat
dibentuk secara berkesinambungan. Seperti bagi paham Realisme, Negara
dibatasi oleh batas antara luar dan dalam, kedaulatan dan anarki
serta kita dan mereka. Adapun, Posmodernisme memulai dengan
pertanyaan tentang bagaimana negara bisa dinyatakan sebagai aktor
penting dalam politik Internasional dan bagaimana negara bisa
dinyatakan sebagai aktor tunggal yang rasional. Posmodernisme pada
awalnya tampak prihatin dengan praktik kenegaraan yang membuat negara
dan kepentingannya tampak wajar dan perlu. Pendekatan ini juga tidak
anti serta mengabaikan peran negara dan berusaha berjuang di luar
peran negara, karena dalam banyak hal, posmodernisme juga menjelaskan
bagaimana negara adalah dasar dari paradigma dan Posmodernisme
prihatin dengan produksi konseptual dan sejarah negara serta fomasi
politik, ekonomi dan sosialnya. (Campbell, 2013)
Posmodernisme
dipandang sebagai kemungkinan terbaik dalam menggambarkan sebuah
pandangan terhadap dunia (atau bahkan anti akan pandangan terhadap
dunia). Para akademisi yang bekerja terhadap pandangan terhadap dunia
ini merasa skeptis terhadap kemungkinan penjelasan teoritis yang
menyeluruh terhadap hal-hal yang terjadi di dunia. Mereka memilih
untuk tidak mencari teori-teori besar, melainkan untuk memeriksa
secara rinci bagaimana dunia datang untuk dilihat dan memikirkan
cara-cara tertentu pada saat-saat tertentu juga untuk mempelajari
praktik-praktik sosial dalam hubungan kekuasaan dan menghasilkan
dukungan. (Edkins, 2007)
Merumuskan
grand theory dipandang sebagai praktik sosial diantara
praktik-praktik sosial lainnya. Teori-teori tentang bagaimana
karya-karya di dunia dianggap sebagai bagian dari dunia, tidak
menjadi bagian yang terpisah dan dipelajari oleh Posmodernisme
bersama praktik-praktik lainnya. Asumsi awal dari pemikiran
posmodernisme adalah tidak ada titik di luar dunia, yang mana dunia
itu adalah dunia yang dapat diamati. Semua pengamatan dan sistem
teoritis dalam teori fisik atau ilmu pengetahuan alam serta teori
sosial adalah bagian dari dunia tempat mereka berusaha untuk
menggambarkan atau menjelaskan serta memiliki efek di dunia itu.
(Edkins, 2007)
B.
KRITIK POSMODERNISME TERHADAP TEORI TRADISIONAL
Posmodernisme
memandang setiap teori empiris sebagai sebuah mitos. Setiap teori,
termasuk teori Neo-Realis dan Neo-Liberalis, menentukan sendiri apa
yang mereka sebut sebagai fakta, sehingga dengan kata lain, tidak ada
kebenaran yang obyektif. Semua yang melibatkan tindakan manusia
adalah subyektif. Teori-teori dominan dalam HI bisa dikataan sebagai
sebuah cerita yang diucapkan secara terus menerus sehingga dianggap
sebagai sebuah kebenaran bagi mereka. Namun, hal tersebut bukan
berarti hal itu adalah sebuah kebohongan. Hanya saja, dianggap
sebagai kebenaran dari satu sudut pandang yang harus dibuktikan
dengan cerita kebenaran dari sudut pandang lainnya. (Jackson &
Sorensen, 2013)
Pakar-pakar
penting teori Posmodernisme seperti Richard Ashley, David Campbell,
James der Derian, Michael Saphiro dan Rob Walker banyak mengkritik
teori Neo-Realis, seperti Ashley dalam tulisannya di artikel yang
berjudul “The Poverty of Neo-Realism” mengkritik teori Neo-Realis
adalah teori yang mengklaim bahwa hanay beberapa elemen dari
informasi tentang negara berdaulat dalam sistem internasional yang
anarkis dapat memberi tahu kita hal yang penting dan besar dalam
hubungan antar negara. Teori itu sendiri bahkan mengklaim dapat
menjelaskan secara valid tentang politik internasional selama
berabad-abad . (Jackson & Sorensen, 2013)
Target
kritik Posmodernisme terhadap Neo-Realis adalah biasnya teori
tersebut secara historis. Teori tersebut dianggap ahistoris karena
pola pikir statis yang menganggap sejarah menciptakan struktur sosial
yang tidak dapat diubah hingga hari ini dan hal tersebut adalah
pemberian alam. Penekanan ini berlanjut dan terus berulang. (Jackson
& Sorensen, 2013)
Peran aktor individu juga dikurangi dalam menciptakan sebuah sisi
lain sejarah. Hal ini kemudian menegaskan Neo-Realisme memiliki
kesulitan dalam mengasumsikan perubahan yang terjadi dalam hubungan
internasional. Setiap alternatif yang akan terjadi di masa depan
tetap akan membeku antara kedaulatan domestik dan sistem
internasional yang anarkis atau pengurangan kedaulatan negara dengan
pembentukan pemerintahan dunia. (Jackson & Sorensen, 2013)
Posmodernisme
juga mengkritik Neo-realisme karena kualitas asal usul teori
strukturalis.Ini seakan menggambarkan bahwa Neo-realisme memiliki
kesulitan dalam mengubah sejarah. Emphasisnya adalah kelanjutan dari
sebuah struktur dan pengulangan. Struktur Internasional yang anarkis
akan berlanjut hingga kapanpun dan terus berulang. (Sorensen, 1998)
Di
sisi lain, Steve Smith mengungkapkan terdapat empat kritik yang
diajukan oleh Posmodernisme terhadap teori HI Tradisional. Yang
pertama adalah adanay kemungkinan kesatuan ilmu dengan asumsi
epistemologi dan ontologi dasar. Kedua adalah etik dan moralitas dari
ilmu tradisional tersebut berbeda dengan fakta. Sehingga,
mengakibatkan ilmu tersebut tidak bisa dianalisa secara obyektif.
Ketiga, terdapat ilmu alam dalama kajian sosial yang dapat dianalisa
secara obyektif dan yang terakhir adalah hukum dan fakta dalam ilmu
tersebut dapat dipalsukan oleh studi empiris. (Dornelles, 2002)
Sementara
Ashley mengkritik pengaruh positivis oleh Kenneth Waltz dengan
menganggap membatasi panggung dunia dengan aktor tunggal yaitu negara
yang mengawasi jalannya hukum politik internasional. Pandangan ini
kemudian menghasilkan pandangan dunia yang seperti bola billiard yang
tidak menghormati peraturan dan sering menghasilkan situasi yang
tidak stabil dalam politik internasional dan mengakibatkan terjadinya
sikap intersubyektif yang mengganggap hukum dibuat dan diterapkan.
(Dornelles, 2002)
C.
UNSUR DALAM POSMODERNISME
Dalam
Posmodernisme, kemudian dikenal dua hal yang saling berkaitan yaitu
power dan pengetahuan. Pengetahuan sendiri adalah sesuatu yang
dibutuhkan untuk menciptakan sesuatu berdasarkan hubungan nilai,
kepentingan dan kekuatan. Pengetahuan itu sendiri tidak akan rusak
karena pengaruh dari luar dan didasarkan atas alasan yang murni.
(Devetak, 2005)
menurut
Foucaut, terdapat konsistensi yang berlaku secara umum yang tidak
dapat berkurang nilainya karena faktor identitas, antara mode
interpretasi dan pegoperasian dari power. Power dan pengetahuan
bersifat saling mendukung. Mereka secara langsung menyiratkan satu
sama lainnya. Sebagai contoh, Foucaut dalam Discipline and Punish
(1977) menginvestigasi kemungkinan evolusi sistem penal terhubung
secara intim dengan ilmu Humaniora. Argumennya didasarkan pada proses
tunggal dari “Epistemologi-yurisdikal” dan formasi mendasari
sejarah penjara di satu sisi dengan ilmu humaniora di sisi lain.
Dengan kata lain, penjara sesuai dengan kehidupan masyarakat modern
dan kehidupan modern menangkap dunia manusia. (Devetak, 2005)
Tipe
analisis semacam ini telah diterapkan dalam dunia hubungan
internasional oleh banyak pakar. Richard Ashley telah berhasil
menemukan satu dimensi dari hubungan power – pengetahuan dari apa
yang disebut Foucaut sebagai “rule of immanence” antara
pengetahuan dari negara dengan pengetahuan dari setiap manusia.
Ashley berargumen bahwa tata negara yang modern adalah tata manusia
yang modern. Ia ingin mendemonstrasikan bagaimana paradigma
kedaulatan secara simultan memberikan peningkatan terhadap disposisi
epistemologis dan catatan terhadap kehidupan politik modern tertentu.
(Devetak, 2005)
Hal
lainnya yang juga penting untuk dipelajari dalam paham Posmodernisme
adalah genealogi atau paham silsilah. Genealogi dipahami sebagai
pemikiran historikal yang mengekspose dan mendaftarkan signifikansi
antara power dan pengetahuan. Seperti yang dijelaskan oleh Ronald
Bleiker bahwa Genealogi terfokus pada proses konstruksi asal mula dan
arti yang diberikan oleh representasi masa lalu, repreentasi tersebut
memandu kita secara berkesinambungan dalam kehidupan sehari-hari dan
menetapkan batasan nyata dalam opsi sosial dan politik. (Devetak,
2005)
Arti
fundamental dari Genealogi adalah terpusat pada menuliskan jawaban
atas sejarah yang mengekspose proses eksklusi dan melindungi yang
memungkinkan untuk terciptanya sebuah ide teleologi dari sebuah
peristiwa sejarah sebagai peristiwa terpada dari awal, tengah hingga
akhir. Sejarah, dari perspektif genealogi tidak mengenal bukti
pengungkapan bertahap terhadap kebenaran dan makna. Sebaliknya, itu
adalah proses pengulangan tanpa akhir dari sebuah dominasi. Sejarah
adalah hasil dari rangkaian dominasi serta pemaksaan dalam
pengetahuan dan kekuasaan. Tugas dari Genealogi adalah mengungkap
sejarah berdasarkan aneka jalan yang telah dibina atau tertutup dalam
konstitusi subyek, obyek, bidang tindakan dan domain pengetahuan.
(Devetak, 2005)
Genealogi
menyatakan sebuah perspektif, yang mana menolak kapasitas untuk
mengidentifikasi awal mula dan arti dari sejarah yang obyektif.
Pendekatan genealogi adalah sebuah pendekatan anti-essentialis dalam
orientasi, mengungkapkan ide dari seluruh ilmu dalam waktu bersamaan,
dan menempatkan isu dalam perspektif partikuler. Salah satu konteks
yang ditetapkan adalah bahwa tidak ada kebenaran yang obyektif, yang
ada hanya persaingan perspektif. (Devetak, 2005)
Perspektif
sendiri tidaklah bisa dilihat dengan alat optik modern dalam melihat
dunia seperti teleskop atau mikroskop, namun juga sangat fabris dalam
memandang dunia. Bagi posmodernis, mengikuti pendapat Nietzsche,
perspektif menyatu dalam konstitusi dalam memandang dunia nyata.
Bukan hanya karena itu adalah satu-satunya aset, namun juga elemen
dasar dan penting dalam hal itu. (Devetak, 2005)
Genealogi
sendiri bukanlah ilmu yang tidak memiliki masalah. Sejak,
perjuangannya melawan bentuk dari kekuatan yang terasosiasi dalam
pengetahuan.Kebanyakan, setelah genealogi ditelusuri, dia akan
digolongkan ke dalam rumpun uniter, yang mana banyak ditolak oleh
rumpun ilmu pengetahuan. Maka, genealogi kembali menjadi bagian dari
efek power dan pengetahuan. (Edkins, 2007)
Salah
satu contoh kasus dalam Genealogi adalah peristiwa 11 September 2001,
yaitu meledaknya dua menara kembar di kota New York akibat ditabrak
oleh pesawat. Para pakar Posmodernisme kemudian membandingkan
kejadian ini dengan serangan Jepang ke Pearl Harbour tahun 1941.
Perbandingan
ini terjadi karena dua kejadian tersebut menginisiasi keterlibatan
Amerika Serikat dalam sebuah perang. Pada serangan Pearl Harbour pada
tahun 1941 pada akhirnya membuat Amerika Serikat resmi terjun dalam
pertempuran di Pasifik dan ikut berperan aktif dalam Perang Dunia II.
Adapun, serangan 11 September 2001 menginisasi keterlibatan Amerika
Serikat dalam peperangan asimetris melawan terorisme. Walaupun,
Amerika Serikat juga terlibat dalam peperangan langsung dengan invasi
ke Afghanistan dan Iraq setelah kejadian 11 September.
Maka,
bagi para pakar Posmodernisme, kejadian yang terjadi di masa lalu
bukan tidak mungkin bsia diulang lagi dan digunakan oleh aktor yang
sama untuk kepentingan serupa.
Dekonstruksi
adalah mode umum yang diambil menjadi konsep yang stabil dan oposisi
kontekstual. Titik utamanya adalah untuk menunjukkan efek dan biaya
yang dihasilkan oleh konsep menetap dan oposisi. Menurut Derrida,
konsepsi oposisi tidak pernah bersikap netral, namun bersikap
hierarkial. Salah satu dari dua istilah dalam oposisi adalah hak
istimewa atas lainnya. Istilah istimewa ini konon berkonotasi
kehadiran, kepatutan,
kepenuhan,
kemurnian, atau identitas yang lain tidak memiliki (misalnya,
Kedaulatan sebagai lawan anarki). Dekonstruksi upaya untuk
menunjukkan bahwa oposisi tersebut tidak dapat dipertahankan, karena
setiap istilah selalu sudah tergantung pada yang lain. Memang,
istilah keuntungan hak istimewa yang hanya dengan mengingkari
ketergantungannya pada istilah bawahan. (Devetak, 2007)
Dekonstruksi
adalah ungkapan spesifik yang dielaborasikan oleh Derida dan banyak
memiliki bukti dalam pendekatannya dengan posmodernisme di hubungan
internasional. Dekonstruksi adalah lawan dari konstruksi. Untuk
memahami pola ini, maka harus terlebih dahulu memahami kritik Derrida
terhadap metafisika barat atau biasa disebut logosentrisme. (Edkins,
2007)
Logosentrisme,
cara penalaran yang penting untuk pemikiran kontemporer. Secara
spesifik berasal dari Eropa. Beroperasi secara dikotomi seperti
bagian dalam/luar, pria/wanita, dan mengingat/melupakan.
Masing-masing membentuk suatu hierarki. Dimana, termin pertama dalam
pasangan ini dipandang lebih utama daripada yang kedua. Namun,
Derrida kembali menegaskan bahwa termin prioritas tidak dapat
bergerak tanpa bayangannya sendiri. (Edkins, 2007)
Salah
satu serangan terbesar yang dilakukan oleh Posmodernisme terhadap
naratif Logosentris di ilmu tradisional HI adalah dikotomi anarki dan
kedaulatan. Ini adalah salah satu pemikiran pusat dari realisme. Hal
ini karena bagi konsep keamanan realis,baik skema struktur
internasional atau antara negarawan yang bertindak rasional, kondisi
dunia di luar batas sebuah negara adalah dunia yang berbahaya atau
anarkis. Dimana, tidak ada hukum atau peraturan yang mengatur.
(Dornelles, 2002)
kemudian,
hal lain yang juga menjadi salah satu pola pikir dalam Posmodernisme
adalah “Double Reading”. Hal ini mengacu pada pemikiran Derrida
untuk menjelaskan hubungan antara efek stabilitas dengan destabilitas
adalah dengan membaca lebih dari dua kali untuk sebuah analisis.
“Double Reading” adalah strategi duplikasi yang secara simultan
dapat dipercaya. Pembacaan yang pertama bertujuan untuk mengomentari
atau merepetisi interpretasi yang dominan dalam isu tersebut. Sedang
pembacaan yang kedua bertujuan untuk kembali mengingat hal yang
dirasa tidak pas dalam isu tersebut. Dimana, penekanan dari
pengingatan in iditujukan kepada teks, pendekatan dan institusi dari
isu tersebut. (Devetak, 2005)
D.
KRITIK ATAS POSMODERNISME
Posmodernisme
sendiri walau banyak mengkritik teori tradisional HI tidak membuat
dia sendiri menjadi teori yang bebas kritik. Salah satu yang menjadi
sasaran kritik adalah sisi emphasis posmodernisme terhadap
tekstualitas. Hal Ini membuat Posmodernisme dianggap sebagai teori
yang teori relativisme nihil total. Dengan menolak realita obyektif
dan menyatakan bahwa seluruh teori HI tidak punya landasan berpijak,
maka Posmodernisme dianggap sebagai teori yang tidak memiliki
mekanisme dalam menguhubungkan satu teori dengan teori lainnya.
(Dornelles, 2002)
Vazquez,
salah satu orang yang menghargai kontribusi teori Posmodernisme
beranggapan bahwa jika seluruh realita adalah konstruksi sosial, maka
Posmodernisme sendiri tidaklah lebih dari sebuah konstruksi sosial.
Sebagai contoh adalah bagaimana mungkin Posmodernisme menganggap
dekonstruksi dari prosedur logosentrisme adalah yang paling benar,
maka bagaimana mereka mempertahankan thesis bahwa mengapa
logosentrisme adalah yang paling benar. Mendapat soal seperti ini,
maka jawaban dari Posmodernisme adalah pertanyaan seperti itu hanya
cocok apabila dilakukan dengan pendekatan positivis-empiris. Dimana
kemungkinan terdapat metode obyektif yang dapat memfalsifikasi teori.
(Dornelles,2002)
Anggapan
bahwa Posmodernisme memunculkan anarki epistemologis yang kemudian
menghasilkan strategi delegitimasi yang menolak semua pandangan
dibalik batas pendekatan “saintifik”, sebuah definisi yang
diciptakan oleh positivis. Namun, kendati demikian, tuduhan
“nihilisme” atau “anything goes”lebih tepat diarahkan pada
realis atau teori non-kritikal lainnya yang menolak etika politik
teori. Kritik-kritik tersebut juga menuduh Posmodernisme sebagai
teori yang anti-empiris. (Dornelles, 2002)
Para
kritikus juga menganggap Posmodernisme terlalu banyak menghabiskan
waktunya untuk mengkritik teori lain daripada membangun teorinya
sendiri dalam analisa Hubungan Internasional. Selain itu,
Posmodernisme dianggap sebagai teori yang kanibalistik, karena
menghabiskan waktunya mengkritik teori lain tanpa memberikan
sumbangsih akan pandangannya terhadap dunia dari sudut pandang
Hubungan Internasional. (Campbell, 2013)
Robert
O. Keohane menambahkan bahwa Posmodernisme harus bisa membuktikan
bahwa mereka bisa menjadi sisi terang dalam kasus penting di politik
global. Sampai hal itu terjadi, maka mereka hanyalah sebuah “margins
of field”, yang tidak terlihat sebagai bukti dari teori empiris
nyata, yang kebanyakan secara eksplisit dan implisit menerima satu
atau versi lain dari premis rasional. (Campbell, 2013)
Thomas
Bierstekers juga menambahkan bahwa teori Posmodernisme akan
membimbing umat manusia jatuh kepada sebuah gang yang gelap.
Biersteker beranggapan bahwa bagaimana mungkin menganggap
Posmodernisme sebagai post-positivis pluralis jika mereka tidak
memiliki kriteria alternatif. Biersteker bahkan mempertanyakan status
Posmodernisme sebagai teori penolakan, intoleran atau lebih buruk
dari itu. (Campbell, 2013)
E.
KESIMPULAN
Teori
Posmodernisme dalam kajian Hubungan Internasional bisa dianggap
sebagai suatu kajian baru yang berbeda dengan yang lainnya. Karena
dalam teori ini, mereka menganggap bahwa tidak adanya kebenaran dalam
sebuah paradigma Hubungan Internasional, namun yang ada hanyalah
peperangan perspektif antara satu teori dengan teori lainnya. Teori
ini juga berhasil membuat para pakar menganalisa fenomena dalam
Hubungan Internasional dengan cara yang berbeda. Dua diantaranya yang
paling banyak digunakan adalah Genealogi dan Dekonstruksi.
Posmodernisme
juga membuat manusia untuk mampu berpikir kritis dan tidak menelan
mentah-mentah teori yang ada. Posmodernisme juga menyerang
teori-teori tradisional yang sudah ada, terutama Neo-Realis dan
Neo-Liberalis yang dianggap menciptakan sebuah fakta yang dianggap
belum dapat dibuktikan, termasuk sistem internasional yang anarkis.
Akan
tetapi, kendati teori ini banyak dikritik sebagai teori yang tidak
bisa menghasilkan solusi dan kanibal. Namun, teori ini terbukti
berhasil diterapkan dalam berbagai kasus daripada
pendekatan-pendekatan teori positivis. Seperti contohnya kebijakan
luar negeri di Korea, Bosnia dan Amerika Serikat. Dalam kasus Bosnia,
kebijakan luar negeri tidak hanya didasarkan pada hasil yang konkrit,
namun juga dihubungkan pada identitas, fakta dan kejadian yang
terjadi di lapangan. Pendekatan Balkan dan Genosida membuat Inggris
dan Amerika Serikat berhasil menerapkan kebijakan yang tepat dalam
kasus ini.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell,
David (2013).
Post-Structuralism in Dunne, Tim et al, International
Relations Theories : Discipline and Diversity : Third Edition (pp
223 – 246), Oxford : Oxford University Press
Devetak,
Richard (2005). Theories of International Relations : 3rd
Edtition , New York : Palgrave
MacMillan
Dornelles,
Felipe Krauss (2002). Postmodernism
and IR : From Disparate Critique to A Coherent Theory of Global
Politics. Global Politics Network ,
1-19
Edkins,
Jenny (2007) . Post-Structuralism in Griffiths, Martin, International
Relations for twenty-first century : An Introduction (pp.
88 – 98). New York :
Routledge
Sorensen,
Georg (1998). IR Theory after the Cold War in Dunne,Tim et al, The
Eighty years crisis : International Relations 1919 – 1999
(pp.83-100), Cambridge : Cambridge University Press
Sorensen,
Georg & Jackson, Robert (2013).
Introduction to International Relations : Theories and Approach :
Fifth Edition, Oxford : Oxford University Press