Sabtu, 25 April 2015

DIPLOMASI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI GUGATAN PT. NEWMONT NUSA TENGGARA TERKAIT DIBERLAKUKANNYA UU MINERBA


A.    Pendahuluan
Kisruh yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang berujung pada dibawanya kasus ini ke badan arbitrase diawali oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang ingin menerapkan peraturan kebijakan Undang-undang no. 4 tahun 2009 tentang peraturan pertambangan mineral dan batubara. Peraturan ini melarang perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia untuk melakukan ekspor mineral dan batu bara mentah, tanpa diolah dan dimurnikan terlebih dahulu di smelter yang dibuat di wilayah Indonesia. (Deteksi.co, 2014)
Undang-undang ini juga mengharuskan setiap perusahaan tambang untuk memiliki fasilitas peleburan dan pengolahan pada tahun 2014. Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut memerlukan dukungan dalam bentuk peraturan yang lebih operasional di tingkat kementerian. Salah satu tindaklanjut dari undang-undang ini adalah terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. (Deteksi.co, 2014)
Pemerintah dan DPR dalam menerapkan UU ini menurut Marwan Batubara, pengamat energi dan mineral dari IRESS,memiliki dasar sendiri, yaitu karena nilai ekspor dalam bentuk mineral mentah sangatlah murah. Padahal selama ini, perusahaan tambang telah mengeksploitasi bahan mentah tambang di Indonesia yang kemudian di ekspor ke negara asal perusahaan tersebut. Di negara induk tersebut, bahan tambang tersebutdiolah menjadi barang jadi dan kemudian diekspor kembal ike Indonesia dengan harga tinggi. (Rizal, 2013). Sehingga wajar apabila pemerintah Indonesia ingin menambahkan nilai jual dari produk tambang mineral dan batu bara dengan mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter.
Akan tetapi, penerapan peraturan ini kemudian banyak ditentang oleh banyak perusahaan tambang, karena dianggap memberatkan. Seperti Asosiasi Pengusaha Mineral se-Indonesia (Apemindo) yang mendatangi komisi VII DPR-RI dan meminta pemerintah membatalkan pelaksanaan UU Minerba, karena Apemindo menganggap pemerintah tidak siap untuk memfasilitasi pembangunan smelter. (Rizal, 2013)
Dari sekian banyak perusahaan tambang yang menolak keberadaan UU ini, terdapat dua perusahaan tambang yang paling gencar dalam menolak yaitu PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Kedua perusahaan ini bahkan mengancam akan menghentikan produksinya di Indonesia yang akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan apabila pemerintah benar-benar menerapkan UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba (Radhy, 2014). tidak adanya kesepahaman antara pemerintah dengan dua perusahaan tambang ini kemudian membuat PT. NNT membawa permasalahan ini ke ranah hukum dengan menggugat pemerintah Indonesia ke jalur hukum melalui mahkamah arbitrase internasional melalui the International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID).

B.     DIPLOMASI PEMERINTAH INDONESIA DENGAN PT. NNT
Pengertian Diplomasi menurut kamus besar Oxford adalah seni untuk menghadapi masyarakat sehingga kepentingan dari si pemilik kepentingannya bisa selesai dengan lancar. (Steger, 2003, p. 7). Diplomasi tidak hanya bisa berlangsung secara eksternal, namun juga dalam aspek internal, yaitu negara secara sengaja melakukan diplomasi terhadap entitas di dalam negeri mengenai kepentingan dan tingkah lakunya. Dalam pandangan ini menekankan bahwa diplomasi adalah satu hal yang dilakukan oleh negara, dengan menggunakan seluruh sumber daya legal mereka dalam menjalankan aksinya. (Hurd, 2011, p. 585)
Di era Globalisasi, Diplomasi berkembang tidak hanya melibatkan negara dengan negara. Aktor-aktor baru seperti perusahaan multi-nasional, lembaga swadaya masyarakat hingga lembaga survey menjadi aktor baru dalam proses diplomasi. Negara dengan lembaga non-negara banyak terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan diplomasi untuk merebut sumber daya, pasar dan legitimasi, yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan dari pemerintah. (Saner & Yiu, 2008, pp. 85-86)
Dalam perjalanannya, Pemerintah Indonesia terus berdiplomasi dengan PT. Newmont untuk dapat mengikuti UU No.4 tahun 2009 dan membatalkan tuntutannya terhadap mahkamah arbitrase. Hal ini bermula dari keengganan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) untuk menjalankan UU no.4 tahun 2009 tentang Minerba karena dianggap merugikan mereka. Pemerintah Indonesia kemudian terkesan melunak dan mengeluarkan beleid terbaru untuk mendispensasi Newmont dan Freeport yaitu dengan mengeluarkan PP Nomor 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23/2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Ketiga Permen ESDM Nomor 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral (Wijayanto, 2014).
Kendati dianggap bertentangan dengan UU no. 4 tahun 2009 pemerintah melalui Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Dede Suhendra menyatakan bahwa Freeport dan Newmont telah melakukan pengolahan mineral mencapai kadar 30 persen berupa konsentrat tembaga. Karena itu, kedua perusahaan tambang asing tersebut tetap diberikan kelonggaran untuk mengekspor bahan mentah mineral milik negara.Menurut Dede, Freeport dan Newmont telah mengolah hasil tambang dengan kadar cuprum (Cu) mencapai 25 persen. Padahal larangan ekspor yang telah disepakati kadar Cu hanya sampai 15 persen.(Wijayanto, 2014).
Kendati sudah mendapat kelonggaran, namun ternyata hal itu tidak memuaskan PT.NNT. Mereka kali ini mempermasalahkan Bea Keluar (BK) yang dianggap berpotensi mengurangi pendapatan keuntungan mereka. Karena itu, mereka pun kemudian membawa masalah ini ke pengadilan ICSID. (Hartono, 2014)
Keputusan yang dilakukan Newmont ini membuat pemerintah Indonesia kecewa, karena mereka merasa bahwa pemerintah dan PT.NNT sedang melakukan perundingan terkait UU Minerba. Melalui Menteri perekonomian, Chairul Tanjung, Pemerintah mengatakan bahwa perundingan dengan berbagai perusahaan tambang sedang dilakukan dan apabila kesepakatan sudah dicapai, maka PT. NNT bersama Freeport dan perusahaan tambang lainnya bisa kembali beroperasi dan mengekspor hasil tambangnya dengan nilai bea keluar. (Ratya, 2014)
Sebelum melakukan gugatan, Pemerintah Indonesia sudah memberlakukan larangan untuk mengekspor bahan tambang mentah. Hal ini kemudian, memaksa PT. NNT menutup tambang tembaganya di lapangan Batu Hijau. Hal ini memaksa PT. NNT memberlakukan force majeur dan ini menjadi salah satu alasan dalam delik pengaduan. Hal ini, pajak baru yang diterapkan oleh pemerintah sebesar 25 persen dan akan meningkat menjadi 60 persen pada 2016. (Proctor, 2014)
Namun, Presiden Direktur PT.NNT, Martiono Hadianto menyatakan bahwa langkah yang dilakukan PT.NNT ini adalah langkah terakhir yang dilakukan PT. NNT dan para pemegang saham karena mereka merasa bahwa mereka harus membawa ke mahkamah internasional untuk memastikan pekerjaan-pekerjaan, hak-hak serta kepentingan-kepentingan para pemangku kepentingan perusahaan terlindungi juga sudah memberikan devisa yang besar bagi Indonesia selama ini. (Ratya, 2014)
PT.NNT juga memberikan syarat kepada pemerintah Indonesia apabila mereka ingin PT. NNT mencabut gugatan mereka, maka pemerintah Indonesia harus mencabut larangan ekspor mineral mereka sehingga operasional tambang mereka kembali pulih. Apa yang dilakukan PT.NNT membuat pemerintah Indonesia marah, mereka berargumen bahwa gugatan tersebut tidak etis karena dilakukan di tengah proses perundingan. Adapun menurut Dirjen Minerba Kementerian ESDM, R. Sukhyar, proses perundingan sudah mencapai kesepakatan dalam beberapa klausul. Sedangkan klausul yang masih belum mencapai kesepakatan adalah klausul besaran royalti yang dibayarkan PT.NNT kepada pemerintah Indonesia. (Khafid & Rikang, 2014) 
Pemerintah Indonesia tidak  tinggal diam terhadap langkah yang dilakukan oleh PT.NNT. Menteri Perekonomian, Chairul Tanjung sudah menyiapkan sanksi kepada PT. NTT apabila mereka tidak mencabut gugatan. Hal ini dirapatkan dalam sidang cabinet pada tanggal 10 Juli 2014. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tetap membuka ruang untuk Newmont jika ingin kembali ke meja perundingan. (Wicaksono, 2014)
Selain itu, pemerintah Indonesia sudah bersiap untuk melawan PT.NNT yang membawa permasalahan ini. Bahkan pemerintah Indonesia sudah siap menggugat balik PT.NNT ke mahkamah arbitrase dan menyewa pengacara terbaik untuk melawan gugatan PT.NNT. Hal ini dikemukakan oleh menteri perindustrian, M.S. Hidayat setelah berdiskusi dengan menteri perekonomian, Chairul Tanjung. (Jumadil Akhir, 2014)
Setelah melalui proses diplomasi panjang, pihak Newmont akhirnya membatalkan tuntutannya ke mahkamah arbitrase internasional pada tanggal 26 Agustus 2014 setelah merasa adanya solusi konstruktif untuk kembali berunding dengan pemerintah Indonesia. Hal ini menurut Martiono akan kembali membuka jalan bagi PT.NNT untuk kembali melakukan kegiatan ekspor setelah selama tujuh bulan izin ekspor dibekukan karena tidak adanya jaminan untuk membangun shelter. Sehinga Martiono berharap solusi ini akan membuat terciptanya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan PT.NNT. (Taylor & Supriyatna, 2014)
Dicabutnya gugatan dan dimulai kembalinya negosiasi formal menandakan bahwa pemerintah Indonesia telah bersikap tegas dan tidak bisa tunduk terhadap setiap intervensi yang dilakukan oleh perusahaan yang berinvestasi di Indonesia. Perundingan mengenai kontrak tambang antara PT. NNT dengan Pemerintah Indonesia dalam hal ini, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kemudian kembali dilanjutkan.
Akhirnya pada tanggal 4 September 2014, nota kesepahaman kontrak tambang antara PT.NNT dengan pemerintah Indonesia berhasil dicapai. Dimana dari hasil kesepakatan ini terdapat enam poin yang disepakati. Poin yang terpenting adalah kenaikan royalti sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012, yakni emas sebesar 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. (Yusuf & Sandi, 2014)
Kesepakatan lainnya adalah rencana kerja dan luas wilayah pertambangan yang direalisasikan oleh Newmont, dari semula sekitar 87.000 hektare menjadi 66.422 hektare. Menurut Sukhyar, Newmont masih berniat mengembangkan tambang ke wilayah timur yang bisa dilakukan hingga kontrak habis pada 2030. Selain itu, Newmont sepakat membayar dana jaminan pembangunan smelter senilai US$ 25 juta. Meskipun pembangunan smelter akan bekerjasama dengan Freeport, pemerintah tetap menuntut Newmont memberi dana jaminan sebagai komitmen kesungguhan pembangunan smelter dan kewajiban divestasi. (Yusuf & Sandi, 2014)
Kendati kesepakatan sudah dicapai, ternyata ketidakpuasan masih membayangi direksi PT.NNT. PT.NNT melalui salah satu pemegang sahamnya, PT. Pakuafu Indah melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Oktober 2014 terkait diberlakukannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. PT. Pakuafu Indah  menggugat pasal 169 tentang perubahan kontrak karya menjadi IUP PK, dan pasal 170 tentang kewajiban melakukan pemurnian sebagaimana yang telah dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya undang-undang Minerba disahkan. (Wicaksono P. E., 2014)
Kembali digugat, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Melalui Kementerian ESDM, Pemerintah Indonesia mengancam akan mencabut hold amandemen apabila gugatan tersebut tidak dicabut. Sukhyar yang merupakan Dirjen Minerba Kemenetrian ESDM Menyayangkan sikap PT. NNT yang tidak konsisten (Wicaksono P. E., 2014). Pada akhirnya gugatan tersebut dicabut. Juru Bicara PT.NTT, Rubi Purnomo menyatakan bahwa gugatan tersebut dilayangkan tanpa konsultasi dan sepengetahuan direksi PT.NNT lainnya. Sehingga proses penandatanganan amandemen kontrak pertambangan bisa kembali dilanjutkan. (Prakoso, 2014)

C.     KESIMPULAN
Diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi gugatan PT. Newmont Nusa Tenggara memang tergolong berhasil. Pemerintah Indonesia berhasil meyakinkan PT. NNT untuk menarik gugatannya dari ICSID melalui berbagai cara, seperti berjanji melawan balik PT.NNT dan mengancam PT.NNT untuk kembali berunding di meja perundingan.
Pemerintah berhasil memaksa PT. NNT, layaknya mereka memaksa PT. Freeport untuk kembali berunding dan mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia, terutama mematuhi UU No.4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara. Pemerintah juga berhasil memaksa PT.NNT untuk membangun smelter pengolahan, kendati smelter tersebut dibuat secara patungan dengan PT. Freeport dan PT.NNT baru bisa menjamin pembangunan smelter baru bisa diselesaikan pada tahun 2017 serta yang terpenting adalah kenaikan royalti dari pajak tambang yang dibayarkan oleh PT.NNT.
Waaupun di kemudian hari, Freeport dan PT. NNT terkesan menghindari kewajiban mereka untuk membangun smelter dan tetap pada pendirian mereka dalam konsesi kontrak. Namun, secara proses diplomasi, apa yang dilakukan Indonesia melalui menteri coordinator perekonomian, Chairul Tanjung dalam memaksa PT.NNT untuk kembali berdiplomasi bisa dikatakan berhasil.

DAFTAR REFERENSI


Deteksi.co. (2014, Juli 7). Pemerintah VS PT.NNT. Retrieved Janauri 11, 2015, from http://deteksi.co: http://deteksi.co/2014/07/pemerintah-vs-pt-nnt/
Hartono, R. (2014, Juli 16). Melawan Gugatan Newmont. Retrieved from www.berdikarionline.com: http://www.berdikarionline.com/opini/20140716/melawan-gugatan-newmont.html
Hurd, I. (2011). Law and The Practice of Diplomacy. International Journal, 581-596.
Jumadil Akhir, D. (2014, Juli 21). Lawan Newmont, Pemerintah Siapkan Lawyer. Retrieved from Economy.Okezone.com: http://economy.okezone.com/read/2014/07/21/20/1015739/lawan-newmont-pemerintah-siapkan-lawyer
Khafid, S., & Rikang, R. (2014, Juli 17). Newmont Mau Cabut Gugatan Arbitrase, Ini Syaratnya. Retrieved Januari 17, 2015, from www.tempo.co: http://www.tempo.co/read/news/2014/07/17/090593794/Newmont-Mau-Cabut-Gugatan-Arbitrase-Ini-Syaratnya-
Prakoso, R. (2014, November 9). Pemegang Saham Newmont Cabut Gugatan Uji Materi. Retrieved Januari 17, 2015, from www.beritasatu.com: http://www.beritasatu.com/hukum/223837-pemegang-saham-newmont-cabut-gugatan-uji-materi.html
Proctor, C. (2014, Agustus 26). Newmont Mining to withdraw arbitration request against Indonesia over taxes. Retrieved from www.bizjournal.com: http://www.bizjournals.com/denver/blog/earth_to_power/2014/08/newmont-mining-to-withdraw-arbitration-request.html
Radhy, R. (2014, Januari 8). Dilema Ekspor Minerba. Retrieved Januari 11, 2015, from nasional.sindonews.com: http://nasional.sindonews.com/read/824528/18/dilema-ekspor-minerba-1389143866/
Ratya, M. P. (2014, Juli 2). CT Kecewa Newmont Gugat Pemerintah ke Arbitrase. Retrieved from Finance.detik.com: http://finance.detik.com/read/2014/07/02/123635/2625449/4/ct-kecewa-newmont-gugat-pemerintah-ke-arbitrase
Rizal, S. (2013, Desember 16). Gencar Penolakan UU Mienrba. Retrieved Januari 11, 2015, from Sinarharapan.co: http://sinarharapan.co/news/read/29600/gencar-penolakan-uu-minerba
Saner, R., & Yiu, L. (2008). Business - Government - NGO Relations : The Impact on Global Economic Governance. In A. F. Cooper, B. Hocking, & W. Maley, Global Governance and Diplomacy (pp. 85-103). New York: Palgrave-McMillan.
Steger, U. (2003). Corporate Diplomacy : The Strategy for a Volatile, Fragmented Business Environment. West Sussex: Wiley.
Taylor, M., & Supriyatna, Y. (2014, Agustus 26). UPDATE 2-Newmont withdraws mining arbitration case against Indonesia. Retrieved from www.reuters.com: http://www.reuters.com/article/2014/08/26/indonesia-newmont-arbitration-idUSL3N0QW3EG20140826
Wicaksono, K. A. (2014, Juli 12). GUGATAN ARBITRASE: Sanksi Untuk Newmont Tunggu Sidang Kabinet. Retrieved from Industri.bisnis.com: http://industri.bisnis.com/read/20140712/44/242755/gugatan-arbitrase-sanksi-untuk-newmont-tunggu-sidang-kabinet
Wicaksono, P. E. (2014, November 3). Digugat Lagi, RI Ogah Renegosiasi Kontrak Dengan PT. Newmont. Retrieved Januari 17, 2015, from Bisnis.Liputan6.com: https://bisnis.liputan6.com/read/2128099/digugat-lagi-ri-ogah-renegosiasi-kontrak-dengan-newmont
Wijayanto, N. (2014, Januari 13). Freeport dan Newmont dapat kelonggaran ekspor mineral. Retrieved from ekbis.sindonews.com: http://ekbis.sindonews.com/read/826152/34/freeport-dan-newmont-dapat-kelonggaran-ekspor-mineral-1389603171
Yusuf, H. A., & Sandi, A. P. (2014, September 4). Renegosiasi Pemerintah dan Newmont Rampung. Retrieved from www.tempo.co: http://www.tempo.co/read/news/2014/09/04/090604519/Renegosiasi-Pemerintah-dan-Newmont-Rampung






EKONOMI POLITIK GLOBAL, LIBERALISME DAN MAFIA BARKELEY
A.    Pengertian Politik Ekonomi Global
Dalam beberapa hal tanpa kita sadari, hidup kita bergantung pada ekonomi politik. Untuk dapat bertahan hidup, manusia memerlukan makanan, pakaian dan berbagai kebutuhan lainnya. Untuk mendapatkan kebutuhan tersebut, manusia memerlukan pasar yang menjual barang kebutuhan tersebut yang kemudian dibeli denngan uang yang telah didapatkan. Sebuah pasar yang modern kemudian didasarkan pada sebuah aturan politik, karena tanpa adanya aturan akan mengakibatkan terjadinya berkuasanya mafia atas pasar tersebut. Peraturan dan Perundang-undangan kemudian mengatur lebih lanjut peranan pasar tersebut (Jackson & Sorensen, 2013, p. 160).
Pada saat yang sama, kekuatan ekonomi menjadi basis penting dari kekuatan politik. Jika ekonomi bertujuan mengejar kekayaan, maka politik bertujuan mengejar kekuasaan. Keduanya memiliki hubungan yang rumit dan membingungkan. Rumitnya hubungan ini kemudian berlaku dalam tatanan internasional antara politik dan ekonomi, serta Negara dan pasar yang menjadi landasan inti dari ekonomi politik global. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 160)
Ada banyak definisi yang digunakan untuk menjelaskan politik ekonomi global. Beberapa definisi mengarah pada arti kata-kata yang membentuk frasa tersebut. Menurut Lionel Robbin, dalam The Nature and Significance of Economic Science (1932), ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai sebuah hubungan antara tujuan dan kelangkaan bahan atau sumber daya dengan penggunaan bahan alternatif  (Gilpin, 2001, p. 25). Sementara itu, politik mempunyai arti umum sebagai cara untuk mencapai kepentingan atau tujuan tertentu.
Istilah Ekonomi politik mulai muncul di abad 17 di Perancis. Istilah ini muncul dalam buku Antoine de Montchrétien yang berjudul Traité de l’economie politique pada tahun 1615. Kemudian oleh penulis asal Inggris, Sir James Steurt pada tahun 1761, istilah ini mulai secara umum diperkenalkan dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Principles of Political Economy. Menurut Steurt, Ekonomi Politik mengacu pada studi antar disiplin ilmu yang mempelajari ekonomi, politik dan hukum yang menjelaskan bagaimana institusi politik, lingkungan politik dan sistem ekonomi ( baik kapitalis, komunis atau campuran keduanya), saling mempengaruhi satu sama lainnya. (Hammodd, 2011, p. 190)
Di akhir abad 20, pengertian ekonomi politik kembali berubah. Menurut sejumlah ahli ekonomi yang berasal dari Chicago School, ekonomi politik diartikan sebagai perluasan ruang lingkup dan isu dalam permasalahan ekonomi (Gilpin, 2001, p. 26) Namun, politisi beranggapan bahwa ilmu politik memasuki seluruh aspek kehidupan, termasuk bidang ekonomi. Oleh karena itu, keterkaitan antara ekonomi dan politik sudah terjalin sejak lama.
Pada tahun 1776, Adam Smith mendefinisikan ekonomi politik sebagai cabang dari ilmu pengetahuan dari seorang negarawan atau legislator dan pedoman dari pengelolaan ekonomi nasional. Definisi tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations. Ini menjadi dasar pemikiran Adam Smith dalam teori liberalisasi pasar yang dikembangkannya. (Gilpin, 2001, p. 25)
Pada abad ke-21, istilah ‘ekonomi politik’ didefinisikan dengan tiga pengertian yang berbeda. Untuk ahli ekonomi dan akademisi, ekonomi politik merujuk pada aplikasi dari pelbagai jenis tingkah laku manusia. Beberapa kalangan akademisi menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan upaya yang dilakukan berdasarkan teori ekonomi untuk menjelaskan tindakan sosial. Sementara itu, ahli politik menganggap bahwa ilmu politik tidak dapat dipisahkan dari ilmu lain, termasuk ekonomi. Oleh karena itu, kelompok ahli politik mendefinisikan ekonomi politik sebagai hubungan atau interaksi antara ekonomi dan politik. (Gilpin, 2001, pp. 30-31)
Secara keseluruhan, Ekonomi Politik Internasional adalah studi tentang interaksi antara ekonomi atau pasar dengan politik atau negara di arena internasional. Dalam pengertian yang umum, ekonomi dapat didefinisikan sebagai sistem produksi, distribusi, dan menggunakan kesejahteraan sedangkan politik adalah seperangkat lembaga dan peraturan yang mengatur interaksi antara ekonomi dan sosial. (Frieden & Lake, 2003, p. 1). Kegiata operasional pasar juga tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan dan hukum yang telah ditetapkan.
Keberadaan Ekonomi Politik Internasional sendiri sudah berlangsung sejak lama. Kira-kira sejak 6000 tahun Sebelum Masehi ketika bangsa Assyria melakukan kegiatan perdagangan dengan bangsa Turki dan Mesopotamia di Barat serta dengan bangsa India di Timur. Ketika hukum yang mengatur bisnis dan perdagangan untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Hammurabi di Babylonia, kegiatan perdagangan antar negara mulai marak terjadi, walaupun risikonya cukup berbahaya. Salah satunya yang terkenal adalah jalur perdagangan Sutera yang menjadi penghubung bangsa China menjual produknya ke negara-negara Mediterania Timur. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan perdagangan melalui jalur laut yang dilakukan banyak negara. (Miller, 2008, pp. 2-3)

Lingkungan ekonomi diisi oleh beberapa aktor yang bersifat individu (konsumen dan produsen) yang mempunyai kepentingan pribadi, sedangkan firma, negara, dan aktor ekonomi lainnya dianggap sebagai pendukung dari aktor individu. Dalam konteks ini, ekonomi politik global mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam politik ekonomi global, aktor utamanya adalah negara, sedangkan individu, firma, dan aktor ekonomi lainnya merupakan pendukung dari kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Setiap hubungan yang dijalin oleh suatu negara dalam kerangka kerja sama ekonomi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh aktor non-negara. Namun, setiap kegiatan yang dilakukan oleh aktor non-negara juga berpengaruh terhadap politik ekonomi negara di tataran global. (Gilpin, 2001, p. 34)
Contohnya adalah pergerakan Multi-National Corporation (MNC) atau Perusahaan Multi-Nasional. Negara asal suatu MNC mengharuskan MNC memilih negara yang diakuinya secara politik atau ekonomi. MNC yang berasal dari China dapat membuka perwakilannya di Taiwan dan walaupun hubungan kedua negara bisa dibilang tidak akur secara politik. Namun ketidakuran secara politik tersebut tidak berpengaruh dalam hubungan dagang, dimana investasi perusahaan asal Taiwan seperti Foxconn di China cukup tinggi.
MNC juga mempunyai pengaruh terhadap setiap kebijakan politik suatu negara, termasuk pada tataran global. Salah satu contohnya adalah ketika PT. Newmont mengajukan gugatan kepada mahkamah internasional ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Minerba yang mengharuskan setiap perusahaan tambang membangun smelter di Indonesia atau ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008, MNC berhasil melobi kongres untuk mem-bail out perusahaan-perusahaan yang bemasalah seperti Goldman Sachs, AIG dan Merryll-Lynch.

Ekonomi Politik Internasional mulai berkembang sebagai pendekatan Heterodox terhadap studi internasional pada tahun 1970-an di era ketika sistem Bretton Woods tidak berjalan dan terjadi krisis minyak dunia pada tahun 1973 yang mengingatkan para akademisi akan pentingnya situasi darurat dan lemahnya fondasi ekonomi dunia. Hal ini dimulai ketika tahun 1971 ketika Susan Strange membentuk London School of Economics yang menjadi landasan studi modern Ekonomi Politik Global yang kemudian diikuti oleh Royal Institute of International Affairs di Chatham House membentuk kelompok studi Ekonomi Politik Internasional. (Hammodd, 2011, p. 191)
B.     PANDANGAN LIBERALISME TERHADAP EKONOMI POLITIK GLOBAL

Ketika Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations pada tahun 1776. Ia mulai menerapkan sistem self-regulating market. Ia berargumen bahwa pasar yang kompetitif, berdasarkan ketersediaan dan permintaan serta berjalan sendiri dapat membuat keputusan untuk menciptakan sistem ekonomi suatu negara tanpa gangguan dari pemerintah atau kontrol bisnis. Smith menyebut sistem ini dengan nama “Invisible Hand”. Smith beranggapan sistem ini sebagai mekanisme positif dalam berjalannya bisnis, dimana pasar akan memaksa pelaku bisnis untuk memproduksi barang dan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai kemauan mereka serta menjual barang tersebut dengan harga terbaik. (Miller, 2008, p. 9)
Smith percaya bahwa pasar cenderung secara spontan untuk memperluas kepuasan kebutuhan manusia, asalkan pemerintah tidak ikut campur. Ide-ide inti dari pemikiran Smith meliputi aktor individual yang rasional, kepercayaan akan kemajuan tanpa intervensi dan asumsi keuntungan bersama dari pertukaran bebas. Namun Smith juga menambahkan beberapa elemen sendiri untuk pemikiran liberal, termasuk gagasan kunci yaitu ekonomi pasar yang merupakan sumber utama kemajuan, kerjasama, dan kemakmuran. Campur tangan politik dan peraturan negara, sebaliknya bersifat tidak ekonomis, kemunduran, dan dapat menimbulkan konflik. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165).
Robert Giplin berargumen bahwa dari pemikiran Adam Smith tersebut, para pemikir liberal kontemporer dapat berbagi seperangkat asumsi dan keyakinan mengenai sifat manusia, masyarakat dan kegiatan ekonomi. Elemen kunci dari keyakinan ini adalah gagasan bahwa hubungan ekonomi yang menyatukan antar masyarakat, mendamaikan konflik dalam hubungan internasional, dan alam ekonomi beroperasi sesuai dengan alam logikanya sendiri. Keyakinan Smith pada kemajuan di tingkat internasional menempatkan dia pada ketegasannya dalam hubungan antara utopis dan idealis dalam hubungan internasional atau sering disebut sebagai liberalisme komersial. (Walter, 1994, p. 3) 
Ekonomi Liberal disebut sebuah doktrin dan seperangkat prinsip-prinsip untuk mengatur dan mengelola pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa jika dibiarkan berkembang secara sendiri, ekonomi pasar akan beroperasi secara spontan sesuai dengan mekanisme dan hukum yang berlaku. Undang-undang ini melekat dalam proses produksi ekonomi dan pertukaran. Salah satu contohnya adalah hukum keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Ricardo. Ia berargumen bahwa perdagangan bebas, yang merupakan aktivitas kegiatan komersial yang dijalankan secara bebas dengan melewati batas wilayah negara, akan membawa manfaat bagi setiap elemen yang berpartisipasi karena perdagangan bebas membuat hambatan yang berlaku menjadi hilang. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165)   
Ekonomi Liberal menolak pandangan Merkantilis bahwa negara adalah adalah aktor pusat dan menjadi acuan utama dalam hubungan ekonomi. Aktor pusat di mata kaum Liberal adalah Individu yang berperan sebagai konsumen dan produsen.  Pasar adalah sebuah arena terbuka, dimana tempat setiap individu datang dan  bertukar barang dan jasa. Individu adalah aktor rasional dalam mengejar kepentingan ekonominya dan ketika mereka mengajukan rasionalitas dalam pasar, maka semua pihak akan mendapatkannya.
Pertukaran ekonomi melalui pasar adalah sebuah positive-sum games dimana semua pihak dapat mendapatkan sesuatu yang lebih karena meningkatnya efisiensi. Individu dan perusahaan tidak akan mungkin masuk ke dalam pasar jika tidak ada peluang untuk mendapatkan keuntungan disana. Liberal juga menolak pemikiran merkantilis bahwa keuntungan ekonomi suatu negara membutuhkan kerugian bagi negara lainnya. Jalan menuju kesejahteraan manusia hanya dapat dilakukan melalui ekspansi pasar bebas dan kapitalisme yang tidak hanya berlaku di satu negara, tapi juga melintasi batas internasional. (Jackson & Sorensen, 2013, p. 166)  
Salah satu hal yang ditekankan oleh Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional adalah terjadinya perdagangan bebas. Seperti yang diucapkan oleh David Ricardo (Jackson & Sorensen, 2013, p. 165) bahwa :
Under a system of perfectly free commerce, each country naturally devotes its capital and labour to such employments as are most beneficial to each. The pursuit of individual advantage is admirably connected with the universal good of the whole. By stimulating industry, by rewarding ingenuity, and by using most efficaciously the peculiar powers bestowed by nature, it distributes labour most effectively and most economically: while, by increasing the general mass of productions, it diffuses general benefit and binds together, by one common tie of interest and inter-course, the universal society of nations throughout the civilized world.
Perdagangan bebas sendiri adalah pasar terbuka bagi pertukaran barang dan jasa antar negara. Para pendukung perdagangan bebas beranggapan bahwa konsep “invisible hands” Adam Smith dapat mencegah bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah termasuk kebijakan tarif yang diangap bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas.
Mereka juga beranggapan bahwa setiap bentuk proteksionisme dan kebijakan perdagangan tidak akan menjadi masalah jika seluruh dunia bersatu dalam pasar global tanpa batas negara. Namun karena di dunia ini terdapat lebih dari 200 negara dan setiap negara memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing, maka kemudian muncul pertanyaan bagaimana setiap negara memenuhi kepentingan ekonomisnya. Adam Smith menjawab pertanyaan ini dengan Perdagangan bebas. Karena dengan sistem ini, setiap negara dapat meningkatkan alokasi optimal sumber dayanya dan menikmati nilai ekonomi produksi tertingginya. (Miller, 2008, p. 44)
Adam Smith berargumen bahwa inefisiensi ekonomi dari proteksionisme merkantilisme telah mendukung terjadinya perdagangan bebas. Smith berpendapat bahwa negara-negara harus melakukan perdagangan ketika pasar mengidentifikasi produk pelengkap. Produk pelengkap adalah produk yang ingin dibuat oleh kedua negara, Tapi salah satu negara membuat produk tersebut lebih murah dari produk negara lainn. Dalam bahasa perdagangan, setiap negara memiliki keunggulan yang mutlak dalam menciptakan sesuatu yang diinginkan oleh negara lain, kemudian dilengkapi dengan adanya pasar untuk melakukan perdagangan, maka kedua negara diharapkan melakukan aktivitaspertukaran perdagangan. Kemudian, bagaimana jika satu negara memiliki keunggulan absolut dalam semua produk yang dapat diperdagangkan? Maka, pertanyaan ini kemudian dijawab oleh David Ricardo. (Miller, 2008, p. 44)
Ricardo menjawab pertanyaan ini melalui teori keuntungan komparatif. Ia berargumen bahwa bahkan setiap negara yang memiliki keunggulan absolut dalam semua produk akan mendapatkan selisih antara nilai total produksi dan rasio biaya produksi. Maka, hal ini dapat menjadi celah perdagangan yang menguntungkan seluruh pihak. Dimana, jika suatu negara memproduksi suatu barang melebihi total kebutuhan negara tersebut, maka negara tersebut memiliki sebuah keunggulan komparatif. Untuk menghindari jatuhnya harga, maka negara yang memiliki keunggulan komparatif tersebut kemudian dapat menjual produknya di negara yang memiliki kelemahan komparatif.
Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat memiliki keunggulan di bidang otomatif dan produksi otomotif mereka sudah memenuhi kebutuhan domestik, maka untuk menghindari jatuhnya harga otomotif tersebut. Pemerintah Amerika Serikat dapat menjual produk otomotif tersebut ke Meksiko atau Jamaika yang tidak memiliki keunggulan di bidang otomotif. Dengan asumsi demikian, maka baik Amerika Serikat, Meksiko dan Jamaika akan saling mendapatkan keuntungan, dimana Amerika Serikat mendapatkan uang, sementara Meksiko dan Jamaika mendapatkan barang.
Perkembangan perdagangan bebas semakin didukung oleh pandangan dari Richard Cobden, John Bright dan lainnya yang mendukung kampanye penghapusan penghapusan perlindungan terhadap perdagangan agrikultural Inggris. Mereka berargumen bahwa perdagangan bebas tidak hanya mendukung kesejahteraan, tapi juga akan meningkatkan perdamaian. Mereka beranggapan, bahwa pertukaran barang dan jasa tidak hanya akan mempromosikan penciptaan kesejahteraan, tapi juga mencegah hasrat suatu negara untuk membangun kekaisaran dan membangun kekuatan militer dengan tujuan penguasaan ekonomi. (Falkner, 2011, p. 30)
Berakhirnya Perang Dunia ke-II membuat pemerintah berbagai negara di seluruh dunia berusaha menghapus neo-merkantilisme. Perdagangan bebas gencar dipromosikan sebagai prinsip dasar menghapus proteksionisme. Dimulai dengan dibentuknya General Agreement of Tariffs & Trade tahun 1947. Sejak 1947 hingga 1993, negara-negara anggota GATT terus berunding dan bernegosiasi untuk mengurangi tariff masuk bagi suatu barang ke titik rendah dari 40% menjadi 5%. Dimana, prinsip dasar dari GATT adalah tidak adanya diskriminasi. Yang mana, jika ada satu negara anggota yang menegosiasikan pengurangan tariff bagi satu negara anggota lainnya, maka hal tersebut harus berlaku bagi seluruh negara anggota GATT, karena GATT menjunjung asas most-favoured nations. (Miller, 2008, p. 48)
Setelah perundingan terakhir GATT yang dinamakan Uruguay Round, maka disepakati untuk pembentukan traktat organisasi yang mengatur perdagangan dunia bernama World Trade Organizations (WTO). WTO sendiri kemudian menambahkan elemen-elemen lain dalam cakupannya yaitu penerapan prinsip perdagangan bebas terhadap produk agricultural dan tekstil, perlindungan atas hak kekayaan intelektual, penyelesaian setiap masalah perdagangan negara anggota harus melalui badan penyelesaian masalah atau dispute settlement body (DSB) WTO, perdagangan jasa juga harus melalui mekanisme yang sama dengan lainnya dan terakhir adalah setiap investor dari negara yang menjadi anggota WTO yang menanamkan modalnya di negara yang juga menjadi anggota WTO wajib diperlakukan layaknya investor domestik. (Miller, 2008, p. 49)
Selain melalui WTO, proses perdagangan bebas di era modern juga dilakukan melalui jalur regional. Pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) untuk menciptakan pasar tunggal di negara-negara Eropa menjadi salah satu contoh proses perdagangan bebas regional. Kemudian juga munculnya North American Free Trade Area (NAFTA) dan Mercosur memperluas jumlah negara yang terlibat dalam perdagangan bebas regional. Kemudian juga ditambah dengan banyaknya negara yang memberlakukan perjanjian perdagangan bebas bilateral seperti yang terjadi antara Australia dengan Korea Selatan atau Amerika Serikat dengan Kanada.
Era Globalisasi juga mengakibatkan perpindahan barang dan modal menjadi semakin cepat dan melewati batas. Terbentuknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di berbagai bidang baik lingkungan hidup, sosial masyarakat maupun hak asasi manusia yang bergerak melintasi batas negara mengakibatkan terjadinya interkoneksi antara satu negara dengan negara lain.
Hal ini oleh pemikir Liberal seperti Joseph Nye dan Robert O. Keohane menciptakan sebuah orde internasional yang saling ketergantungan. Dalam kondisi ketergantungan, jaring interaksi kompleks mengikat negara-negara dengan status otonomi dan batas wilayah yang semakin terbatas. Para pemikir Liberal beranggapan keterikatan  antar negara-negara ini dapat mencegah konflik dalam situasi internasional yang anarkis. Hal ini karena hubungan yang dekat antar negara ini akan membuat penggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian konflik menjadi semakin besar risikonya. (Falkner, 2011, p. 31)
Akan tetapi, perdagangan bebas juga tidak terlepas dari berbagai kritikan. E.H. Carr dan beberapa pakar lainnya mengkritik bahwa perdagangan bebas hanya akan menguntungkan negara dengan kekuatan ekonomi yang maju. Britania pada abad ke-19 beranggapan bahwa Perdagangan bebas adalah kepentingan dari seluruh negara, namun terdapat perbedaan antara kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Carr berargumen bahwa doktrin perdagangan bebas dapat menjadi disalahartikan menjadi doktrin kaya dan memiliki kekuatan penuh.
Yang kedua, disamping ketergantungan dan integrasi ekonomi yang tinggi. Perang Dunia I telah mematahkan argument bahwa perdagangan bebas dapat menjaga perdamaian. Kebangkitan ekonomi merkantilisme dan ekspansi militer pasca perang telah menimbulkan pertanyaan atas asumsi perdagangan bebas liberal tersebut (Falkner, 2011, p. 30). Kebangkitan kaum Fasis, Komunis dan Nasionalisme sebelum Perang Dunia ke II semakin menenggelamkan argumen para pemikir Perdagangan bebas tersebut.
C.    Mafia Barkeley

Istilah Mafia Barkeley bermula dari kebijakan pemerintah Soeharto di awal era Orde Baru. Kehancuran ekonomi yang diakibatkan kebijakan pemerintahan era Orde Lama yang melupakan pembangunan ekonomi dan banyak berkonfrontasi. Untuk membangun kembali perekonomian Indonesia, pemerintah Soeharto meminta nasihat dari orang-orang Indonesia yang sekolah dan menempuh gelar Ph.D bidang ekonomi di Amerika Serikat untuk membangun perekonomian Indonesia. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai Mafia Barkeley (McCawley, 2008). Penyebutan istilah Mafia Barkeley didasarkan pada pemimpin kelompok ekonom-teknokrat ini, Profesor Widjojo Nitisastro meraih gelar pascasarjana ekonomi dari Universitas California, Barkeley. (Wie, 2002, p. 196)
Berawal dari Soeharto yang membentuk tim ekspert dari fakultas Ekonomi UI pada bulan September 1966 dibawah Mayjen Sujono Humardani untuk mengurus masalah ekonomi dan finansial. Soeharto merasa yakin dengan para ekonom-teknokrat ini setelah kelima ekonom yaitu Prof. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Emil Salim dan Subroto, usai kelimanya memberikan ceramah di Seskoad pada Agustus 1966. Seminar ini yang kemudian menjadi landasan basis pemikiran Soeharto dalam masalah ekonomi.
Para Teknokrat ekonomi ini kemudian menelurkan berbagai kebijakan yang dianggap mampu memperbaiki perekonomian Indonesia yang terbagi dalam tiga fase yaitu Stabilisasi, Rehabilitasi dan Pengembangan.  Kebijakan Stabilisasi dalam dua tahun ditujukan untuk menata ulang utang Indonesia dan mendapatkan pinjaman baru serta mengundang investor asing masuk ke Indonesia. (Wie, 2002)
Di akhir tahun 1960-an, kelompok ini berhasil menciptakan stabilitas harga. Dengan bantuan pinjaman dari kelompok Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia berhasil tumbuh menjadi kekuatan industri baru. Pertumbuhan ini mengakibatkan perubahan Indonesia yang diakhir tahun 1960-an masih tergantung pada sektor agrikultural menjadi negara yang GDP-nya berasal dari sector industri manufaktur pada awal tahun 1990-an. Kebangkitan ini juga membuat Bank Dunia pada tahun 1993 menempatkan Indonesia dalam kategori “East Asian Miracle” bersama Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Thailand.
Kelompok Mafia Barkeley berhasil menjadikan ekonomi Indonesia menjadi sangat Liberal di era Soeharto setelah sebelumnya ekonomi Indonesia bersifat tertutup di era Soekarno. Akan tetapi, masa bulan madu kesuksesan ekonomi ini harus berakhir ketika Krisis ekonomi melanda Asia pada tahun 1997.
Menurut Fuad Bawazier, keruntuhan ekonomi Indonesia dikarenakan sistem ekonomi Liberal yang berdampingan dengan sistem monopoli, tata niaga dan sistem perbankan yang bank sentralnya amburadul. Perbankan sangat dimanjakan, sehingga pengelolaannya menjadi tidak prudent.
Keputusan pemerintah Indonesia yang mengikuti anjuran Mafia Barkeley untuk mengikuti resep IMF pada tahun 1998 pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia justru semakin jatuh. Apalagi setelah pemerintah menerapkan kebijakan uang ketat yang membuat aliran dana menjadi semakin sulit. Pada akhirnya hal ini membuat banyaknya perusahaan yang tidak sanggup membayar gaji karyawannya dan tingkat pengangguran meluas. (Rafick, 2007, pp. 100-101) 
Kendati Mafia Barkeley telah melakukan kegagalan yang membuat Indonesia jatuh dalam krisis, namun mereka masih tetap mendapatkan kepercayaan dalam perekonomian Indonesia. Pasca tumbangnya Soeharto di era Megawati Soekarno Putri, para ekonom Mafia Barkeley justru mendapat tempat penting di pemerintahan seperti Frans Seda, Darojatun Kuncoro, Boediono, Laksamana Soekardi dan Rini M. Soewandi dan di era Susilo Bambang Yudhoyono seperti Sri Mulyani dan Chatib Basri.





ANALISIS PERANAN KELOMPOK TROIKA DALAM KRISIS EKONOMI YUNANI

A. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

 Fluktuasi ekonomi pada dasarnya merupakan permasalahan berkepanjangan yang berkaitan dengan kemakmuran, hal ini terus terjadi di negara-negara manapun di dunia sejak jaman dahulu. Penyebab dari permasalahan tersebut, antara lain disebabkan oleh perubahan iklim, penyakit menular, eksplorasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, pengaplikasian teknologi baru, produksi barang yang melebihi kapasitas, dan tidak adanya garansi akan pertumbuhan ekonomi dan sektor finansial yang merupakan beberapa penyebab dari adanya krisis yang terjadi di dunia ini (Schumpeter, 1943).

 Krisis yang terjadi pada saat ini, dapat dikatakan merupakan kesalahan dari Amerika Serikat karena ekspansi pasar yang dilakukan dan produk lain di dalam sektor finansial. Sebagai negara yang liberal, Amerika Serikat sangat terlalu percaya diri dalam mengelola kekuatan pasar, namun hal tersebut menjadi sebuah bumerang bagi AS dan berbagai negara yang menganut liberalisme atau sistem pasar. Resesi dimulai pada tahun 2007, dimana pada saat tersebut institusi keuangan AS terkena resesi ekonomi yang kemudian berlanjut dengan cepat ke negara-negara lain di dunia. Yunani sebagai negara yang juga tergabung di dalam Uni Eropa turut terkena dampak dari globalisasi dan menjadi salah satu negara yang tidak mampu bertahan di tengah arus globalisasi yang kuat. Krisis hutang Yunani yang semakin besar, memaksa pemerintah negara tersebut untuk membuat kebijakan-kebijakan bailouts kontroversial dan langkah-langkah penghematan yang pada akhirnya menciptakan ketegangan kondisi politik dan meningkatkan suhu di dalam negeri Yunani. (Woods, 2012).

 1.2. Faktor Penyebab Krisis Ekonomi di Yunani

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan krisis ekonomi di Yunani, antara lain : Pertama, dari aspek hutang-piutang Yunani yang dimulai pada tahun 1947. Pada saat itu, Yunani memasuki babak baru pemerintahan dari junta militer menjadi sosialis. Dengan adanya pemerintahan baru ini, Yunani membutuhkan banyak bantuan dana guna membangun infrastrukturnya. Dana hutang banyak dialokasikan untuk biaya subsidi, dana pensiun, gaji PNS, dan lain-lain.

Dengan banyaknya penggunaan alokasi dana tersebut, Yunani akhirnya gagal membayar hutangnya. Dana pinjaman tersebut terus saja menumpuk, hingga diperkirakan mulai tahun 1993 nilai hutang Yunani telah melampaui GDP-nya. Bahkan saat ini hutang Yunani diperkirakan telah mencapai 120% dari posisi GDP negaranya. Dunia mulai merasakan adanya ketidakberesan dalam sistem perekonomian Yunani (Gunawan, 2012).

 Pada tanggal 2 Mei 2010, IMF akhirnya menyetujui paket bail out (pinjaman) sebesar € 110 milyar untuk Yunani. Pada awal tahun 2000an, tidak ada yang memperhatikan fakta bahwa hutang Yunani sudah terlalu besar, malah dari tahun 2000 hingga 2007, Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 4.2% per tahun yang merupakan angka tertinggi di zona Eropa, hasil dari membanjirnya modal asing ke negara tersebut.

Keadaan berbalik ketika pasca krisis global 2008 dimana negara-negara lain mulai bangkit dari resesi, dua dari sektor ekonomi utama Yunani yaitu sektor pariwisata dan perkapalan, justru mencatat penurunan pendapatan hingga 15%. Negara-negara lain pun akhirnya mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan perekonomian Yunani. Kedua, fakta ini menjadi semakin jelas ketika awal 2010, pemerintah Yunani diketahui telah membayar Goldman Sachs dan beberapa bank investasi lainnya guna memanipulasi nilai transaksi yang dapat menyembunyikan jumlah sesungguhnya dari hutang pemerintah.

Kemudian, diketahui pula bahwa pemerintah Yunani telah merubah data-data statistik mikro guna menimbulkan kesan pada dunia bahwa perekonomian mereka baik-baik saja, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Ketidakjujuran pemerintah Yunani dengan mengubah nilai pertumbuhan ekonomi makro negaranya merupakan awal jatuhnya perekonomian Yunani, dimana pada dasarnya pemerintah Yunani berusaha untuk menutupi angka defisit negara yang disebabkan oleh banyaknya kasus penggelapan pajak yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 milyar per tahun (Gunawan, 2012).

 Ketiga, membudayanya praktik korupsi dalam sistem pemerintahan Yunani. Apabila melihat dari kaca mata sejarah, Yunani merupakan negara dengan peradaban yang sangat berkembang pesat, tetapi saat ini Yunani merupakan sebuah negara dengan indeks korupsi yang berada pada peringkat 71 dari 180 negara (Gunawan, 2012). Selain itu, terdapat birokrasi yang tidak efisien dan juga sarat akan praktek KKN di setiap tingkatannya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa di dalam pemerintahan Yunani terdapat korupsi dan KKN di setiap level dan sektornya. Sebagai contoh, di Yunani terdapat budaya ‘fakelaki’ yaitu kebiasaan memberikan amplop kecil berisikan uang yang lazim terjadi dalam birokrasi Yunani. Misalnya, permohonan imigrasi akan menjadi mulus apabila pemohon telah memberikan amplop ini kepada petugas, cepat lambatnya pemberian izin pendirian bangunan adalah berbanding lurus dengan jumlah Euro yang dimasukkan ke dalam amplop untuk diberikan kepada pejabat yang bersangkutan. Kemudian, korupsi terbesar terjadi di kantor perpajakan Yunani dimana setiap tahunnya tercatat bahwa hampir 30% dari total penerimaan pajak atau sekitar US$ 20 miliar hilang, alias masuk ke kantong koruptor.Hal-hal demikian juga sering ditemui di berbagai institusi lain sehingga membuat pemerintah kebingungan untuk memulai pemberantasannya. Praktek korupsi tersebut membuat Yunani mengalami banyak defisit. Jumlah pendapatan besar seharusnya masuk ke penerimaan kas negara dan selanjutnya dimaksimalkan untuk berbagai pembangunan infrasruktur yang dapat membantu perekonomian Yunani.

Keempat, adanya defisit dalam nilai perdagangan Yunani. Hal ini dapat diteliti dari nilai ekspor Yunani yang berjumlah $12,5 miliar, sementara nilai impornya mencapai $18,9 miliar. Artinya, terjadi selisih yang cukup signifikan antara nilai ekspor-impornya. Hal ini berimplikasi pada berkurangnya cadangan devisa Yunani yang menunjukkan terjadinya Budget Deficit Financed di Yunani. Aspek terakhir ini memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek sebelumnya. Misalnya, dana pinjaman dari luar dan juga pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur berorientasi ekonomi yang dapat meningkatkan ekspor justru digunakan untuk kegiatan konsumtif dan teralokasi pada bagian-bagian yang tidak produktif, kemudian ditambhan lagi dengan praktek korupsi. Beberapa aspek tersebut dapat dijadikan kajian untuk menganalisis krisis di Yunani. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar penyebab krisis tersebut dikarenakan oleh kemunduran Yunani sendiri secara internal.

 1.3. Perkembangan Krisis Ekonomi di Yunani

Selanjutnya, bagaimana keikutsertaan Yunani dalam Uni Eropa mempengaruhi krisis Yunani? Seperti yang telah disebutkan secara singkat pada paparan di atas, hal tersebut dikarenakan adanya integrasi ekonomi. Ketika Yunani bergabung dalam Uni Eropa, Yunani bukanlah negara maju seperti Jerman dan juga tidak memiliki sistem birokrasi sebaik Inggris. Keikutsertaan Yunani semata-mata karena faktor wilayahnya yang strategis dan karena terletak di antara benua Eropa.

Dengan demikian, ketika lahir banyak sistem perekonomian mutakhir dari induk Uni Eropa, sistem perekonomian yang dimiliki Yunani belum mampu mengakomodasinya dengan baik karena bersifat masih lemah dan tidak sejajar kekuatannya dengan negara-negara sekitar. Inilah penyebab krisis yang dinamakan dengan Weak Financial System. Ketika integrasi ekonomi telah mencapai tahap Economic Union, hal ini membuat Yunani harus siap mengubah mata uangnya dengan Euro.

Yunani diibaratkan seperti bayi yang dipaksa dewasa dalam waktu singkat. Penyeragaman mata uang Euro tidak diimbangi dengan kesiapan Yunani dalam menghadapinya. Misalnya, dalam budaya konsumsi, Yunani yang nilai pendapatan perkapitanya hanya mencapai $6340, tentu tidak mampu menyaingi daya konsumsi negara lain seperti Perancis dengan GNP $20.380, Jerman dengan GNP $23.650, atau bahkan negara kecil tapi maju seperti Luxemburg dengan GNP $31.271.

Akibatnya, terjadi arus perputaran uang yang tidak seimbang antara Yunani dengan negara-negara tetangganya. Krisis seperti ini sejatinya telah dirasakan negara-negara lainnya seperti Portugal, Irlandia, dan Italia. Pada saat IMF memberikan pinjaman, IMF mengajukan beberapa syarat penghematan anggaran kepada pemerintah Yunani, yaitu pemotongan tunjangan bagi PNS dan pensiunan, peningkatan pajak PPN hingga 23%, peningkatan cukai pada barang–barang mewah, bensin, rokok, dan minuman beralkohol, hingga perusahaan BUMN harus dikurangi dari 6,000 menjadi 2,000 perusahaan saja. Kebijakan yang sangat sulit untuk diterapkan.

Pada bulan yang sama ketika pemerintah Yunani mengumumkan kebijakan penghematan anggaran, rakyat Yunani langsung menggelar unjuk rasa besar-besaran di Athena untuk menolak kebijakan tersebut. Hingga saat ini, belum terdapat kepastian mengenai apakah Pemerintah Yunani telah berhasil dalam menerapkan berbagai kebijakan yang disebutkan di atas atau tidak. Salah satu lembaga pemeringkat hutang terkemuka, Moody’s, masih menetapkan rating hutang Yunani pada salah satu level terendah, yaitu CCC (Gunawan, 2012).

Pandangan yang bertumpu pada pendekatan yang melihat bahwa krisis finansial yang belum terselesaikan hingga saat ini disebabkan oleh keterlambatan penanganannya. Lynn (2011) dalam buku BUST Greece, the Euro, and the Sovereign Debt Crisis menuliskan bahwa belum terselesaikannya krisis di zona Eropa dikarenakan terlambatnya para petinggi–petinggi di zona Eropa dalam menyadari kondisi keuangan Yunani yang sudah tidak mampu membayar jatuh tempo hutangnya. Hal lain adalah keengganan negara-negara dengan perekonomian kuat seperti Jerman untuk menolong Yunani pada awal krisis hutang ini terjadi. Ketika krisis meletus pada tahun 2008, kondisi Yunani sudah demikian parah sehingga menyebabkan kepanikan terhadap pasar. Hal ini sebagaimana ditulis Lynn (2011) dalam (Kusumawarshana, 2013): “The Euro-zone’s leaders had ignored the crisis brewing in Greece for year after year. When it broke into the open, they tried to pretend it wasn’t their problem, then blamed everyone else, and once it threatened to overwhelm them, allowed themselves to be rushed into a solution, while it may fixed the immidiate crisis, was only storing up even worse problems a little further down the road”

 Pada awal Mei 2010, Yunani berada di ambang yang menyatakan moratorium pembayaran hutangnya sebagai akibat dari pilihan yang tidak pantas dan kelalaian oleh pemerintah Yunani berturut-turut selama tiga dekade terakhir, serta tanpa arah pemerintahan negara Yunani sejak Oktober 2009 (Mourmouras, 2011), “Greece is currently under international economic supervision and is going through the most severe economic and fiscal crisis in the post-war era.” Pada tanggal 6 Mei 2010, pemerintah sosial telah menandatangani perjanjian pinjaman yang sangat kontroversial, dimana dalam MoU (Memorandum of Understanding) yang masih akan berlaku hingga tahun 2020 disebutkan angka pinjaman mencapai hingga €110 milyar yang dipinjam oleh Yunani untuk mengimplementasikan Program Kebijakan Ekonomi.

Dalam kaitannya dengan ketiga instansi besar dunia yang disebut dengan International Monetary Fund (IMF), European Commission (EC), dan European Central Bank (ECB), terjadi sebuah dilema pada pemerintah Yunani. Di satu sisi, peminjaman uang tersebut bertujuan baik untuk memperbaiki kondisi ekonomi di Yunani, namun di sisi lain pinjaman tersebut dapat membawa Yunan terhadap resesi ekonomi yang berkepanjangan dan menyebabkan defisit negara yang semakin besar, termasuk ledakan pengangguran di Yunani yang tentunya menyebabkan terjadinya penurunan standar hidup masyarakat Yunani.

Pada tahun 2015, Yunani melakukan pemilu yang dimenangkan oleh Partai Syriza. Alexis Tsipas merupakan tokoh sentral atau Ketua Partai yang menyatakan bahwa masyarakat Yunani merupakan bagian dari perubahan, mandat yang diberikan oleh masyarakat Yunani kepada partai pemenang merupakan sebuah sikap yang benar dan tidak diragukan lagi untuk menolak bailout dan program ekonomi yang buruk, pidato tersebut disampaikan di depan ribuan pendukungnya di Athena. Hal tersebut merupakan sikap dan peryataan yang keras yang disampaikan oleh pemimpin negara mengingat Yunani merupakan bagian dari organisasi kawasan Uni Eropa. Para pengamat juga meyakini bahwa kebijkan yang akan diambil oleh Tsipas nantinya akan menimbulkan konflik dengan Uni Eropa (UE).

 BAB 2 LANDASAN TEORI

 2.1. Konsep Krisis

Krisis dapat diartikan sebagai titik balik dari hubungan antar aktor atau antara aktor dengan lingkungannya. Dalam bidang ekonomi, dikenal istilah krisis debit, yang dipahami sebagai kegagalan suatu negara untuk membayar hutang luar negerinya. Suatu negara dinyatakan mengalami krisis ketika tidak dapat menemukan sumber dana untuk membayar hutang luar negerinya, baik kepada lembaga keuangan internasional maupun negara dalam hubungan bilateral.

 2.2. Ekonomi Global

Globalisasi tidak hanya memengaruhi kehidupan sosial dan budaya, tetapi juga politik dan ekonomi. Dalam globalisasi, sistem ekonomi dunia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Saat ini terdapat pola ketergantungan yang melibatkan sejumlah aktor dan operasi pasar yang berbeda dalam sistem ekonomi dunia.

Sektor ekonomi suatu negara tidak terlepas dari kondisi negara lain. Bahkan, pada tataran regional, apabila salah satu negara mengalami kesulitan ekonomi, negara lain yang berada di kawasan akan merasakan dampaknya. Terdapat sebuah teori mengenai ekonomi pasar yang diperkenalkan oleh David Ricardo dan Adam Smith. Dalam teori ini, dikemukakan istilah pasar bebas yang berkembang hingga saat ini. Teori tersebut juga dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi ekonomi di suatu negara. Suatu negara yang kondisi perekonomiannya sedang stabil cenderung akan membiarkan pasarnya untuk beroperasi secara liberal. Pada kondisi tersebut, perdagangan internasional menjadi salah satu aktivitas yang menarik dan sangat menguntungkan. Namun, apabila suatu negara mengalami krisis ekonomi, pemerintah dapat mengambil alih peranan mekanisme pasar.

 2.3. Hukum Internasional tentang Ekonomi dan Keuangan

Terdapat dua lembaga internasional yang menangani permasalahan keuangan dunia, yaitu Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Bank Dunia memberikan pinjaman yang berjangka waktu panjang, sedangkan IMF memberikan pinjaman berjangka waktu pendek. Kedua lembaga ini menjalankan tugasnya dengan berpedoman pada perjanjian yang disepakati oleh negara-negara anggota sebelum menjadi anggota dari Bank Dunia dan IMF.

Pada dasarnya, tidak terdapat hukum internasional manapun yang secara khusus mengatur tentang keuangan dunia dan memberikan sanksi terhadap aktor hubungan internasional yang melanggarnya. Hukum di bidang ekonomi terbentuk melalui kesepakatan yang dijalin oleh negara dan aktor lainnya, termasuk lembaga internasional. Hukum internasional di bidang ekonomi sering dikaitkan dengan sejumlah isu politik seperti hak asasi manusia dan lingkungan hidup.

Salah satu bentuk pengaitan ekonomi dengan isu politik adalah keharusan negara anggota IMF dan Bank Dunia untuk menerapkan demokrasi dan menjunjung tinggi penghargaan terhadap hak asasi manusia. Hukum internasional di bidang ekonomi yang mengatur hak ekonomi suatu negara memang pada dasarnya tidak ada, tetapi negara mempunyai kewajiban untuk mematuhi Covenant on Economic and Social Rights. Kovenan ini merupakan bentuk dari hukum internasional yang mengatur tentang hak ekonomi setiap individu yang menjadi masyarakat dunia. Oleh karena itu, pencapaian stabilitas ekonomi menjadi kewajiban negara dan aktor hubungan internasional lainnya.
BAB 3 PEMBAHASAN

 3.1. Peranan Kelompok Troika dalam Menangani Krisis Yunani

Dalam menangani krisis Yunani, terdapat tiga lembaga yang terlibat dalam menyelesaikan permasalahan krisis Yunani, yaitu Uni Eropa (UE), International Monetary Funds (IMF) dan European Central Bank (ECB). Ketiga lembaga ini juga sering disebut sebagai kelompok Troika. Nama Troika diambil dari istilah Rusia yang berarti kereta yang ditarik oleh tiga kuda.

Dalam masalah Yunani, Troika dianalogikan sebagai penyelesaian masalah yang harus melibatkan atau bergantung terhadap fungsi dari tiga komponen yang berbeda. Berikut merupakan berbagai macam kebijakan oleh kelompok Troika untuk menyelesaikan permasalahan krisis Yunani. Uni Eropa adalah organisasi kerjasama negara-negara Eropa yang berdiri sejak tahun 1948 dan berjumlah 28 Negara anggota. Yunani termasuk salah satu anggota Uni Eropa.

Uni Eropa memiliki tiga badan yaitu Dewan Eropa (European Council), yang merupakan perwakilan pemerintah dari negara-negara anggota, Parlemen Eropa (European Parliament) yang merupakan perwakilan dari masyarakat negara-negara Uni Eropa dan Komisi Eropa (European Commission), yang merupakan badan independen yang mewakili kelompok kepentingan di negara-negara anggota Uni Eropa (U.S. Department of State, 2015).

Uni Eropa memiliki mekanisme dalam menyelesaikan krisis yang terjadi di negara anggotanya. Salah satunya adalah dengan pembentukan European Economic and Monetary Union (EMU) yang dibentuk berdasarkan traktat Uni Eropa. Dimana, EMU memiliki dua mekanisme yang digunakan dalam menyelesaikan krisis, yaitu prinsip koordinasi antara negara-negara anggota terkait kebijakan ekonomi dan prinsip disiplin fiskal (Botsiou & Klapsis, 2011, pp. 96-97)

IMF adalah lembaga keuangan Internasional yang dibentuk berdasarkan pada Bretton Woods System tahun 1944. Organisasi ini biasa memberikan bantuan pinjaman kepada negara-negara yang sedang mengalami permasalahan ekonomi berat, seperti ketika Meksiko mengalami kesulitan keuangan di tahun 1980-an dan ketika krisis ekonomi dan moneter melanda Asia Tenggara tahun 1997. Target dari IMF dalam penyelesaian krisis Yunani adalah mengurangi defisit dan merestrukturisasi keuangan Yunani (Chibber, 2011).

European Central Bank (ECB) merupakan bank sentral Uni Eropa yang beranggotakan 17 negara yang memakai Euro sebagai mata uangnya. ECB sendiri pada awalnya menolak untuk ikut campur dalam masalah Uni Eropa. Namun, situasi krisis yang menimpa negara-negara Uni Eropa memaksa ECB untuk turun tangan dengan ikut membeli saham pemerintah Yunani dengan tujuan menaikkan suku bunga dan menenankan pasar. ECB juga turut berperan dalam krisis di negara Eropa lainnya, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan di Yunani (Chibber, 2011).

Demi mencegah penyebaran yang lebih luas dari krisis di Yunani, maka para menteri keuangan dari negara-negara Uni Eropa yang memakai mata uang Euro atau yang tergabung dalam Euro Group mengadakan pertemuan dengan European Council, kepala negara zona Euro dan Presiden Uni Eropa. Dari hasil pertemuan ini, terciptalah kesepakatan untuk memberikan dana bantuan terhadap Yunani sebesar 110 Milyar Euro dengan bunga sebesar 5 persen per tahun. Bantuan ini pada dasarnya sudah mencakup dengan bantuan dari IMF. Nilai bantuan dari IMF berjumlah 30 Milyar Euro (Botsiou & Klapsis, 2011, p. 98).

Selanjutnya, dalam rangka mencegah perluasan krisis yang semakin menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, pada tanggal 9 Mei 2010, Pemerintahan Uni Eropa membentuk badan bernama European Financial Stabilism Mechanism (EFSM). EFSM didirikan dengan tujuan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi negara-negara anggota yang terkena krisis.

Mekanisme dalam EFSM mencakup tiga elemen :

1. Perluasan dari fasilitas keseimbangan pembayaran dari negara-negara non-Euro terhadap negara Euro di kawasan Uni Eropa. Pengeluaran pinjaman yang dikeluarkan berjumlah total sebesar 60 Miliar Euro. Untuk pengeluaran dibawah 60 Miliar Euro, harus mendapatkan persetujuan dari negara-negara anggota melalui mekanisme voting.
2. Perjanjian antara negara-negara pengguna mata uang Euro untuk memberikan pinjaman kepada sesama negara pengguna Euro melalui mekanisme Special Purpose Vehicle (SPV) dengan total bantuan maksimal mencapai 440 Miliar Euro. SPV diharapkan akan mengembalikan kepercayaan pasar dengan adanya jaminan keuangan tersebut.
3. Partisipasi IMF dalam pemberian bantuan berjumlah minimal sekitar setengah dari nilai maksimal negara-negara kawasan Euro atau 250 Miliar Euro (Botsiou & Klapsis, 2011, p. 99).

3.2. Dampak Peranan Kelompok Troika dalam Krisis Yunani

Bailout yang diberikan oleh kelompok Troika pada tahun 2010 memberikan dampak yang besar terhadap ekonomi Yunani, dimana Perdana menteri Yunani, George Papandreou diwajibkan untuk melakukan pemotongan subsidi dan menaikkan nilai pajak hingga 30 persen. Papandreou juga diwajibkan untuk memprivatisasi aset pemerintah sebesar 50 milyar Euro dengan batas waktu akhir 2015 untuk kelangsungan stok hutang serta merestrukturisasi jumlah pegawai di pemerintahan untuk alasan penghematan pengeluaran (Papadimas & Strupcziewski, 2010).

Hal ini juga menandai dimulainya era austerity di Yunani yang menimbulkan protes massal di seluruh Yunani dan menurunkan popularitas politik Papandreou dan partainya. Kendati mendapat protes dari pemimpin oposisi dan rakyatnya, pemerintah Yunani tetap berkomitmen terhadap keputusan ini untuk mendapatkan dana talangan. Masa bantuan ini akan berlangsung hingga tahun 2013. Akan tetapi, enam bulan setelah program bantuan berjalan, perekonomian Yunani tidak mengalami perbaikan dan hal ini mengundang kekhawatiran dari negara-negara Uni Eropa.

Dalam kondisi yang demikian, ECB akhirnya memutuskan untuk mengintervensi krisis Yunani dengan membeli obligasi Yunani, baik milik pemerintah maupun swasta. Kebijakan ini dilakukan untuk melindungi Euro dari ancaman kehancuran. Langkah ini juga dilakukan satu jam setelah menteri keuangan zona Euro sepakat untuk mengeluarkan pinjaman tambahan sebesar 1 Triliun Euro terhadap Yunani. ECB juga berniat untuk menghilangkan tensi tinggi dalam segmen pasar yang menghambat mekanisme kebijakan moneter serta mengefektifkan jalannya kebijakan tersebut (Randow, Kennedy, & Thessing, 2010). Sehingga, di akhir Oktober 2010, Yunani sudah menerima pinjaman sebesar 95 milyar Euro dari ECB dengan jaminan obligasi milik pemerintah.

Hal lain yang dilakukan Uni Eropa, terutama negara-negara zona Euro adalah dengan menerapkan kebijakan fiskal ketat. Hal ini dilakukan dengan mengeluarkan dana stabilitas keuangan Eropa sebesar 750 Miliar Euro yang siap dipinjamkan ke empat negara zona Euro yang sedang bermasalah, termasuk Yunani. Selain itu, yang juga disiapkan oleh Uni Eropa dalam mencegah perluasan krisis adalah proposal Jerman dan Perancis yang berniat memberikan hukuman penalti kepada negara-negara yang gagal menjaga keseimbangan fiskalnya, termasuk Yunani. Hal ini kemudian ditentang karena hal tersebut sudah diatur dalam traktat Lisbon tahun 1999 (Botsiou & Klapsis, 2011, p. 62). Meskipun proposal ditolak, perdebatan antara Perancis dan Jerman masih terus berlanjut terkait kebijakan di Yunani.

Dalam fase pertama program bantuan, semuanya berjalan lancar, dimana pada masa awal pemberian bantuan, tingkat defisit yang diderita Yunani sebesar 15 persen dengan tingkat hutang yang sangat mengkhawatirkan. Namun, perlahan kondisi keuangan Yunani mulai sedikit membaik. Akan tetapi, pada tahun 2011, kondisi Yunani kembali jatuh ke titik nadir. Hal ini ditandai dengan anjloknya pertumbuhan GDP dan permintaan domestik, kolapsnya investasi serta stagnansi ekspor Yunani. (Directorate General for Internal Policy EGOV, 2014, p. 26)

3.3. Perkembangan Domestik dan Regional dalam Krisis Yunani

Pada pertengahan 2012, tercatat sebanyak 1,23 juta penduduk Yunani merupakan pengangguran dengan tingkat pengangguran usia aktif secara ekonomi sebesar 24,8 persen. Jumlah ini meningkat dari 875.000 orang sebelum kebijakan bailout yang diterapkan oleh kelompok Troika, serta 770.000 penduduk adalah pengangguran jangka panjang yang sudah menjadi pengangguran sebelum krisis ekonomi terjadi. Pada tahun 2011, sebanyak 3,4 juta penduduk Yunani yang memiliki pekerjaan terancam hidup dalam kemiskinan. Hal ini juga ditandai kesulitannya penduduk Yunani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (Kondilis, Bodini, De Vos, & al, 2014)

Hal ini menjadi penanda bahwa Yunani membutuhkan bailout kedua. Pada tanggal 2 Mei 2012, Troika menyetujui bailout kedua terhadap Yunani. Jumlah bailout, sama dengan jumlah pada bailout pertama sebesar 110 Miliar Euro. Uni Eropa dan ECB memberikan bantuan total sebesar 80 Miliar Euro, sedangkan IMF memberikan bantuan pinjaman sebesar 30 Miliar Euro. (Gogstad, Kutan, & Muradoglu, 2014, p. 3) Persyaratan yang diajukan dalam bailout kedua tidak jauh berbeda dengan bailout yang pertama. Hanya saja, bailout yang kedua lebih ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemegang hutang berdaulat juga kehilangan haknya atas obligasi. Hal ini secara langsung mempengaruhi Bank Sentral Yunani yang memegang 32 Miliar Euro di obligasi milik pemerintah. Sedangkan tujuan dari program bailout tahap kedua, yaitu mengembalikan kepercayaan dan menjaga stabilitas finansial. (Gogstad, Kutan, & Muradoglu, 2014, p. 4) Negara-negara Euro juga berharap bailout dapat meningkatkan PDB Yunani sebesar 124% pada 2020 dan 110% pada 2022, dari sebesar 175% yang diharapkan pada tahun 2012 dan diharapkan pembayaran sudah dapat dilakukan pada akhir 2014. Sedangkan IMF berharap Yunani dapat mengimplementasikan program yang sudah disepakati. IMF juga menambahkan saran kebijakan terhadap pemerintah Yunani untuk memotong pajak nilai tambah dan perjualan, seperti pajak restoran karena hal ini dianggap akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan. (Stevis & Talley, 2013)

Meskipun demikian, kebijakan yang dikeluarkan oleh kelompok Troika tersebut ternyata tidak mendorong perekonomian Yunani menjadi lebih baik. Program austerity yang diharapkan dapat membuat perbaikan ekonomi, ternyata sama sekali tidak berdampak banyak. Pengetatan anggaran yang diterapkan pemerintah Yunani berdasarkan resep dari kelompok Troika justru berdampak pada penurunan anggaran publik dari 15 persen GDP Yunani pada akhir 2009 menjadi 4 persen pada akhir 2013 (Directorate General for Internal Policy EGOV, 2014, p. 27). Selain itu, terdapat inkonsistensi dimana tingginya tingkat hutang dan pengetatan anggaran disambut dengan tingginya harga barang kebutuhan pokok yang membuat masyarakat Yunani semakin kesulitan dengan kebijakan Kelompok Troika tersebut.

 Kondisi rakyat Yunani yang kesulitan tersebut membuat protes sosial merebak di penjuru negeri. Situasi ini kemudian mengakibatkan wacana keluar dari zona Euro semakin meningkat. Kemenangan Alexis Tsipras dari partai Syriza yang menentang kebijakan austerity yang diterapkan oleh Kelompok Troika pada Januari 2015 lalu menjadi bukti bahwa rakyat Yunani meninginkan perubahan di negaranya. Tsipras juga berani mewacanakan Yunani untuk keluar dari zona Euro. Hal tersebut membuat negara-negara Uni Eropa lainnya ketar-ketir dan berusaha menahan Yunani untuk tetap berada di zona Euro.

Masalah Yunani yang demikian kompleks mengakibatkan Tsipras harus berpaling dari janjinya dan terpaksa mengajukan proposal bailout untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 18 Februari 2015 untuk masa perpanjangan enam bulan. Hal ini dikarenakan Yunani sudah tidak lagi memiliki uang yang tersisa. Tercatat Yunani membutuhkan uang untuk membayar hutangnya kepada IMF sebesar 1,5 Milyar Euro, pembayaran treasury bills sebesar 4,4 Milyar Euro dan dana lain untuk kebutuhan ekstra sebesar 4,3 Milyar Euro. Sehingga, total dana yang dibutuhkan Yunani adalah sebesar 10,3 Milyar Euro untuk ke beberapa bulan ke depan. (Euronews, 2015)

Para menteri keuangan zona Euro sebelumnya juga mendesak Yunani untuk menerima bailout baru sebesar 270 Miliar Dollar, sekaligus memperpanjang program bailout yang akan berakhir pada 28 Februari 2015. Para menteri keuangan zona Euro berargumen bahwa Yunani harus menerima program bailout karena khawatir apabila Yunani keluar dari zona Euro, maka akan diikuti oleh negara-negara bermasalah lainnya. Sehingga, hal ini akan mengakibatkan terjadinya instabilitas mata uang Euro. Sebelumnya, PM Tsipras menolak perpanjangan bailout yang dianggap membuat rakyat Yunani menjalani kehidupan yang sulit. (Ardiansyah, 2015)

Pada akhirnya, Yunani menerima paket perpanjangan bailout baru pada tanggal 21 Februari 2015 untuk jangka waktu empat bulan. Persetujuan perpanjangan ini sempat terhambat ketika Jerman menolak proposal bailout Yunani. Akan tetapi, Jerman melalui menteri keuangannya, Wolfgang Scheubel berubah pikiran dan menyetujui perpanjangan tambahan empat bulan. Adapun demikian, Yunani diwajibkan membayar hutang pinjamannya kepada ECB selambat-lambatnya pada bulan Agustus 2015, tidak lama setelah waktu jatuh tempo pembayaran hutang terhadap IMF (Armitage, 2015).

Akan tetapi dalam bailout kali ini, Pemerintah Yunani bisa menentukan sendiri klausa-klausa dari reformasi ekonomi yang akan diajukan pada tanggal 23 Februari 2015 dan program austerity yang sudah mereka jalankan, besar kemungkinan akan ditinggalkan

 BAB 4

KESIMPULAN

 Sejak tahun 2008, kondisi ekonomi dunia berada dalam masa krisis yang eksplisit. Sebagai contoh yang terjadi di Yunani. Dalam dunia yang semakin terhubung satu sama lain, kegagalan sistem ekonomi dapat diibaratkan seperti ‘efek domino’ yang juga akan melanda negara-negara lainnya. Hal tersebut tentu merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari. Seperti halnya ketika krisis melanda kekuatan ekonomi Amerika Serikat, skema ekspor-impor antar Negara pun terpengaruh. Negara-negara Uni Eropa yang merupakan salah satu partner perdagangan terbesar Amerika Serikat juga mengalami dampak yang signifikan.

Yunani sebagai salah satu Negara Uni Eropa mengalami kebangkrutan dimana rasio hutang terhadap GDP nya mencapai angka-angka yang fenomenal. Semakin menurunnya kondisi perekonomian di Yunani membuat terjadinya kekacauan internal di dalam negeri, krisis sosial pun terjadi, berbagai protes dan demonstrasi dari masyarakat pun semakin berkembang, hal ini juga berimplikasi pada situasi keamanan di kawasan.

Tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk segera mencari solusi dan mengkhiri krisis pada dasarnya berbanding lurus dengan keinginan berbagai pihak, namun hal tersebut tidak sejalan dengan praktek pemerintahan yang dijalankan. Terdapatnya korupsi dan KKN dalam pemerintah turut serta menjadi faktor semakin menurunnya kepercayaan masyarakat. Dalam menanggulangi krisis yang terjadi di Yunani, kelompok Troika menggunakan kebijakan bailout atau pinjaman yang didampingi dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipatuhi oleh pemerintah Yunani dalam mengelola perekonomian mereka. Syarat-syarat tersebut termasuk kebijakan pengetatan anggaran atau austerity, privatisasi perusahaan negara dan reformasi pegawai negeri. Dimana, kebijakan austerity yang dianggap paling berat untuk dijalani.

 Tidak pulihnya perekonomian Yunani hingga hari ini membuktikan bahwa kebijakan bailout yang diterapkan kelompok Troika di Yunani tidak berhasil. Masih tingginya tingkat kemiskinan dan pengagguran yang diatas 25 persen hingga kas negara yang habis pada bulan Februari menjadi bukti bahwa resep yang diberikan kelompok Troika tidak berpengaruh banyak dalam mengangkat perekonomian Yunani. Terpilihnya Alexis Tsipras dari partai Syriza yang pada masa kampanye membuktikan bahwa rakyat Yunani sudah semakin frustasi dengan keterpurukan ekonomi dan persyaratan dari kelompok Troika yang semakin membuat rakyat yunani kesulitan. Akan tetapi, Tsipras juga tidak memiliki pilihan lain, yang pada akhirnya membuat ia dan jajaran kabinetnya kembali mengajukan proposal bailout, yang disetujui untuk masa empat bulan. Sehingga, krisis ekonomi di Yunani masih akan terus berlanjut

 DAFTAR PUSTAKA

 Ardiansyah, F. (2015, Februari 17). Eropa Beri Ultimatum Bailout Yunani. Retrieved from economy.okezone.com: http://economy.okezone.com/read/2015/02/17/213/1107054/eropa-beri-ultimatum-bailout-yunani

Armitage, J. (2015, Februari 20). Greek bailout: Germany claims victory as Greece agrees four-month bailout extension. Retrieved from www.independent.co.uk: http://www.independent.co.uk/news/world/europe/greek-bailout-greece-and-eurozone-creditors-reach-deal-10060734.html
Botsiou, K. E., & Klapsis, A. (2011). The Konstantinos Karamanlis Institute For Democracy Yearbook 2011 : The Global Economic Crisis and The Case of Greece. Athens: Springer.

Chibber, K. (2011, Oktober 4). Who are the troika that Greece depends on? Retrieved from www.bbc.com: http://www.bbc.com/news/business-15149626

Directorate General for Internal Policy EGOV. (2014). The Troika and financial assistance in the euro area : Success and Failure. Brussels: European Parliament. Euronews. (2015, Februari 19). Greece is running out of cash. Retrieved from www.euronews.com: http://www.euronews.com/2015/02/19/greece-is-running-out-of-cash/ Evans, G. &

Newnham, J. (1998). The Penguin Dictionary of International Relations. London: Penguin Books, Ltd.

Gogstad, M., Kutan, A. M., & Muradoglu, Y. K. (2014). Do International Institutions Affect Financial Markets? Evidence from the Greek Sovereign Debt Crisis.

Gunawan, I. (2012). Krisis Ekonomi Eropa dan Dampaknya Bagi Indonesia. Jurnal Westphalia Volume II Nomor 2 Program Studi Hubungan Internasional FISIP - Universitas Pasundan, 52.

Jackson, R. dan Sorensen G. (2013). Introduction to International Relations: Theories and Approaches 5th Edition. Oxford: Oxford University Press

Kondilis, E., Bodini, C., De Vos, P., & al, e. (2014). Fiscal policies in Europe in the wake of the economic crisis : Implications for health and healthcare access.

Kusumawarshana, I. (2013). European Union in Crisis: Menguatnya Pandangan Berbasis Kedaulatan di dalam Krisis Ekonomi Uni Eropa. Jurnal Hubungan Internasional Volume VI No. 1, 1.

Morgenthau, Hans J. (2010). Politik Antar Bangsa (Rev. Thompson, Kenneth W.). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Mourmouras, I. A. (2011). The Global Economic Crisis and the Case of Greece. Athens: The Konstantinos Karamanlis Institute for Democracy Yearbook Series. Papadimas, L., &

Strupcziewski, J. (2010, May 2). EU, IMF agree $147 billion bailout for Greece. Retrieved from www.reuters.com: http://www.reuters.com/article/2010/05/02/us-eurozone-idUSTRE6400PJ20100502

Randow, J., Kennedy, S., & Thessing, G. (2010, May 10). ECB to Intervene in Bond Market to Fight Euro Crisis. Retrieved from www.bloomberg.com: http://www.bloomberg.com/news/articles/2010-05-10/ecb-to-buy-government-bonds-in-unprecedented-bid-to-save-euro-stop-crisis

Reus-Smith, C. (2004). The Politics of International Law. New York, NY: Cambridge University Press.

Stevis, M., & Talley, I. (2013, Juni 5). IMF Concedes It Made Mistakes on Greece. Retrieved from www.wsj.com: http://www.wsj.com/articles/SB10001424127887324299104578527202781667088

Turner, B.S. (2010). The Routledge International Handbook of Globalization Studies. New York, NY: Routledge

U.S. Department of State. (2015, Februari 20). European Union. Retrieved from www.state.gov: http://www.state.gov/p/eur/rt/eu/

Woods, S. (2012). The Greek Sovereign Debt Crisis: Politics and Economics in the Eurozone. Washington: University of Washington.