Pada tanggal 13 Juni
2016 nanti, masyarakat Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, Irlandia
Utara) dan Gibraltar akan menggelar sebuah referendum yang akan mempengaruhi
kehidupan mereka kedepannya. Referendum tersebut mengenai apakah Inggris Raya
akan tetap menjadi anggota Uni Eropa atau memutuskan untuk keluar dari
regionalisme kawasan di wilayah Eropa tersebut, keputusan keluar dari UE
sendiri biasa disebut sebagai Brexit (British Exit).
Referendum yang akan digelar pada
tanggal 13 Juni nanti juga akan menjadi referendum kedua yang dilakukan oleh
Inggris Raya mengenai keanggotaan mereka di Uni Eropa, setelah sebelumnya
mereka juga melakukan referendum pada tahun 1975. Berbagai argumentasi
dikeluarkan oleh pihak yang pro – UE maupun pro – Brexit. Mereka yang pro –
Brexit beranggapan bahwa kebijakan Brexit akan membuat Inggris Raya kembali
mendapatkan kedaulatan mereka dalam mengeluarkan berbagai kebijakan nasional,
mulai dari keamanan, ekonomi hingga politik. Adapun, mereka yang pro – UE
beranggapan bahwa berada di dalam wilayah UE akan menguntungkan Inggris Raya
karena akan membuat Inggris menikmati kemudahan dalam perdagangan dengan sesama
anggota UE dan perpindahan manusia di kawasan UE.
Inggris Raya sendiri diyakini akan
mengalami berbagai perubahan apabila benar-benar memilih meningalkan UE.
Pemimpin Uni Eropa, Jean-Claude Juncker mengingatkan bahwa apabila Inggris Raya
benar-benar meninggalkan Uni Eropa, maka Inggris Raya akan dikategorikan
sebagai negara dunia ketiga dan tidak akan bisa menikmati berbagai keuntungan
yang saat ini mereka dapatkan dari Uni Eropa. Bahkan, Inggris Raya juga
diyakini tidak akan bisa menikmati ‘Single-Market’ layaknya Swiss dan Norwegia,
yang bukan anggota UE namun merupakan anggota European Economic Area (EEA),
karena status mereka yang dianggap “Desertir”. Kalangan pebisnis juga sudah
mewanti-wanti bahwa keputusan “Brexit” akan berpengaruh terhadap iklim
investasi di Inggris Raya. Hal ini, karena banyak pebisnis yang berinvestasi di
Inggris Raya mengincar kemudahan perpindahan barang dan jasa di kawasan Uni
Eropa.
Keputusan Brexit juga akan membuat
pengaruh di bidang politik dan keamanan. Salah satunya adalah kekhawatiran
bahwa keputusan Brexit juga akan menimbulkan keinginan masyarakat Skotlandia
akan kembali menggelar referendum untuk lepas dari Inggris Raya, hal ini karena
hampir sebagian besar alasan masyarakat Skotlandia memilih untuk tetap bertahan
dalam referendum tahun 2014 lalu adalah kemudahan yang didapat dengan menjadi
bagian dari Inggris dan Uni Eropa. Selain itu, keputusan Brexit juga akan
mempengaruhi perjanjian perdamaian Good Friday di Irlandia Utara antara Inggris
Raya dan Irlandia yang ditekan pada tahun 1998. Menurut PM Irlandia, Enda
Kenny, hal tersebut dapat terjadi karena keputusan Brexit akan mempengaruhi
stabilitas politik dan ekonomi untuk menciptakan perdamaian yang sudah dijaga
selama 18 tahun.
Pengaruh
Brexit Terhadap Sepakbola Inggris dan Liga Primer
Lalu bagaimana dengan sepakbola?
Apakah Brexit juga akan mempengaruhi industri sepakbola di Inggris Raya?
Jawabannya sudah pasti. Saat ini hampir sebagian besar kompetisi sepakbola di
Inggris Raya dipenuhi oleh pemain dari berbagai negara Uni Eropa, terutama tiga
kompetisi besar di Inggris Raya, yaitu Liga Premier Inggris, Liga Championship
Inggris dan Liga Premier Skotlandia. Keberadaan pemain dari neara-negara UE
tersebut membuat kompetisi – kompetisi tersebut menjadi lebih menarik untuk
ditonton. Lalu bagaimana dengan nasib pemain-pemain tersebut apabila Brexit
benar-benar terjadi?
Menurut analisis yang dilakukan oleh
situs BBC Sport, total akan terdapat 332 pemain dari negara-negara Uni Eropa
atau memiliki paspor negara-negara Uni Eropa di kompetisi Championship dan Liga
Primer Skotlandia yang nasibnya terancam tidak bisa merumput. Selain itu,
analisis tersebut juga mengungkapkan bahwa hanya terdapat 23 pemain dari 180
pemain asing Uni Eropa di kompetisi Championship yang benar-benar dapat
merumput di kompetisi tersebut. Kebanyakan dari 23 pemain tersebut adalah
pemain berkewarganegaraan Irlandia dan negara-negara Persemakmuran yang
memiliki kewarganegaraan Britania Raya.
Lalu bagaimana dengan Liga Primer
Inggris? Menurut situs Guardian, saat ini terdapat 161 pemain dari berbagai
negara UE dan EEA yang bermain di Liga Primer Inggris dan kebanyakan dari
mereka terancam tidak bisa merumput di EPL karena mereka harus mengikuti
peraturan yang sama dengan pemain-pemain dari negara non-UE. Di Inggris Raya
sendiri, saat ini setiap pemain dari luar Uni Eropa yang ingin bermain di
Inggris Raya harus memenuhi persyaratan izin kerja yang diterapkan pemerintahan
Inggris Raya.
Persyaratan yang selama ini
diterapkan bagi pemain non-UE adalah pemain tersebut harus berasal dari negara
yang masuk dalam 70 besar peringkat FIFA dan harus bermain untuk timnas
negaranya dalam dua tahun terakhir. Bagi negara dengan peringkat 1 – 10 maka jumlah
bermain si pemain harus sebanyak 30 % dari total pertandingan timnas negaranya
dalam dua tahun terakhir untuk mendapatkan izin kerja. Kemudian negara
peringkat 11 – 20 adalah sebesar 45% dari total pertandingan timnas, kemudian
persentasenya meningkat menjadi 60% untuk negara peringkat 21 – 30 dan 75%
untuk negara peringkat 31 hingga 70. Dengan persyaratan tersebut, diyakini akan
banyak pemain UE dan EEA yang gagal merumput di EPL karena selama ini mereka
menikmati keuntungan kebebasan perpindahan barang dan manusia di bawah aturan
UE.
Hal ini mungkin tidak akan
berpengaruh besar bagi pemain-pemain bintang seperti Mesut Oezil (Arsenal),
Diego Costa (Chelsea) atau Kevin de Bruyne (Manchester City) yang menjadi
langganan tim nasional dan timnas mereka masuk dalam 10 besar FIFA. Namun, hal
ini akan cukup berpenaruh terhadap beberapa pemain-pemain muda potensial
seperti Hector Bellerin (Arsenal). Kurt Zouma (Chelsea) dan Anthony Martial
(Manchester United) yang terancam tidak dapat bermain di EPL karena belum memenuhi
kuota bermain dalam pertandingan internasional selama dua tahun terakhir.
Saat ini, hampir seluruh 20 klub
yang berlaga di EPL musim lalu memiliki ketergantungan terhadap pemain dari
negara-negara UE. Bahkan, juara EPL musim lalu pun hampir sebagian besar pemain
intinya dipenuhi pemain dari negara-negara UE dan EEA atau memiliki paspor UE.
Keputusan tersebut juga akan membuat klub-klub EPL terutama yang bercokol di
papan tengah dan bawah harus mengandalkan pemain-pemain dari Inggris Raya atau
Irlandia, itupun dengan jaminan Skotlandia tidak menggelar referendum dan
memilih pisah dari Inggris Raya pasca – Brexit, karena pemain-pemain dari
negara-negara UE tersebut harus memenuhi kriteria untuk dapat bermain di EPL.
Selain itu, kebiasaan beberapa klub besar membajak pemain-pemain muda potensial
dari negara anggota UE seperti ketika Arsenal mengambil Bellerin atau Chelsea
mengambil Zouma juga tidak bisa dilakukan lagi, karena transfer pemain-pemain
tersebut pasti akan terganjal izin kerja.
Lalu bagaimana dengan nasib EPL
apabila pemain-pemain dari UE kesulitan untuk bisa merumput di EPL? Hal ini
tentu akan mengurangi daya tarik liga Primer Inggris sendiri. Nilai komersil
EPL yang juga mencakup hak siar dan sponsor juga diyakini akan menurun apabila
pemain-pemain dari negara-negara UE tersebut sulit untuk merumput, karena
pemain-pemain UE tersebut juga yang selama ini memberikan warna menarik dalam
persaingan EPL. Investor-investor asing macam Abramovich (Chelsea) dan Sheikh
Khaldoon Al-Mubarak (City) yang ingin mengakuisisi klub EPL, juga diyakini akan
berpikir ulang untuk menginvestasikan uangnya di EPL karena menurunnya nilai
komersil EPL. Hal tersebut jelas akan mempengaruhi pendapatan klub-klub EPL
secara signifikan.
Memang, pembatasan tersebut masih
bisa diakali dengan berbagai alternatif, semisal dengan adanya perjanjian
khusus antara Inggris Raya dan negara-negara Uni Eropa untuk memperlakukan
mereka layaknya pemain lokal, seperti di liga Swiss atau memperlonggar aturan
izin kerja bagi pemain Uni Eropa yang ingin bermain di EPL. Namun hal tersebut
juga tidak akan mudah mengingat sangat sulit menciptakan suatu perjanjian hanya
berdasarkan kepentingan sepakbola semata apalagi status Inggris Raya di UE yang
berbeda dengan Swiss, dimana Inggris Raya berstatus desersi, sementara Swiss
berstatus anggota potensial di masa depan. Hal tersebut diyakini akan menjadi
hambatan tersendiri. Namun, jika FA ingin status liga primer tetap gemerlap seperti
saat ini, maka mereka pasti akan mencari jalan terbaik bagi nasib para pemain
UE tersebut di EPL.
Akan tetapi, hal tersebut tidak
selamanya berdampak buruk. Dampak positif yang bisa diraih dari keadaan
tersebut adalah makin besarnya kesempatan bagi pemain asli Inggris Raya untuk
unjuk gigi di liga mereka sendiri. Selama ini, dengan derasnya arus pemain
asing yang masuk di EPL, mereka seakan tersisih dan sulit untuk bersaing dengan
pemain dari luar Inggris Raya. Dengan sulitnya kesempatan bagi pemain UE untuk
merumput di EPL,maka pemain asli Inggris Raya, terutama Inggris akan
mendapatkan kesempatan lebih besar untuk bermain dan berkembang, kedepannya hal
tersebut akan mempengaruhi performa timnas Inggris dengan banyaknya pilihan
pemain, karena selama ini salah satu masalah mereka dalam berpartisipasi di
turnamen besar adalah minimnya pilihan pemain berkualitas yang dapat dipanggil
ke timnas.
Hal-hal positif dan negative dari
Brexit terhadap sepakbola Inggris, terutama EPL tersebut memang harus
diperhatikan oleh para fans sepakbola yang akan memilih untuk tetap atau keluar
dari Uni Eropa pada tanggal 23 Juni nanti, kendati masalah keamanan dan ekonomi
tetap menjadi prioritas utama.
Terakhir,
penulis bukanlah tipikal pendukung model regionalism ala Uni Eropa dan
sejenisnya. Namun, penulis juga tetap menghargai apabila masyarakat Inggris
Raya tetap memilih menjadi anggota Uni Eropa. Maka, bagaimana langkah yang
harus dilakukan demi masa depan Liga Primer pada tanggal 23 Juni nanti?
Jawabannya biarkan rakyat Inggris Raya yang menentukan sendiri nasib mereka.