Ini adalah mengenai Seorang Kharizma Ahmada dengan segala kisah dan pemikirannya...
Senin, 02 September 2013
PERJALANAN MENYENANGKAN DAN PENUH KESAN DI JAWA TIMUR
Kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya melakukan perjalanan selama enam hari enam malam di tiga kota Jawa Timur dan juga Yogyakarta. Perjalanan ini dimulai pada hari rabu tanggal 8 Mei 2013 bersama dua orang teman saya. yang sat uadalah Tyo, teman kampus saya dan satu lagi bernama Ganesh, teman SMP Tyo.
Perjalanan kami bermula dari stasiun senen, dimana kami sudah harus tiba di sana Subuh karena kereta Api Kutoarjo Jaya yang kami tumpangi sudah berangkat dari stasiun Senen pukul setengah 6 pagi. Sebenarnya perjalanan ini kami rencanakan bukan hanya bertiga namun berempat. Namun sayang seorang teman saya tidak bsia ikut serta karena ia diajak keluarganya untuk menunaikan Umrah pada tanggal segitu untuk merayakan kelulusannya.
Namun batalnya teman saya ikut serta ternyata membawa sedikit berkah yaitu membuat satu bangku di kereta ekonomi tersebut menjadi kosong. Sepanjang perjalanan kami menghabiskan waktu dengan bermain kartu dan juga membaca untuk mengisi waktu. Jujur, karena ini pengalaman pertama saya pergi ke luar kota dengan kereta api ekonomis maka saya merasakan beberapa perbedaan disini yaitu suasana kerakyatan dan keramahan jauh lebih terasa ketimbang kereta eksekutif. Walau ada beberapa hal yang mungkin masih membaut tidak nyaman seperti pedagang kaki lima yang masuk kereta dan berhenti yang cukup lama di satu stasiun. Namun selain itu, perjalanan dengan kereta ekonomi memang meneynangkan. Selain pemandangan yang bagus juga harganya yang cukup murah yaitu Rp. 34.000 sekali jalan.
Tanpa terasa, kereta sudah tiba di Kutoarjo pada pukul dua siang. Begitu tiba disana, suasana kampanye sangat terasa kala itu, karena pada waktu itu tepat masa kampanye pemilihan gubernur Jawa Tengah baru saja dimulai. Di Kutoarjo, sosok Ganajr Pranowo yang akhirnya terpilih menjadi gubernur Jateng memang cukup kuat karena memang ia berasal dari sana.
begitu tiba di Kutoarjo, kami langsung mencari bus yang menuju Yogyakarta. Karena kami memang berencana menginap di Yogyakarta pada malam itu. Setelah lama mencari bus, akhirnya kami mendapati sebuah shuttle bus yang membawa kami dari Kutoarjo. Walaupun disebut Shuttle Bus, namun sebenarnya mobil yang membawa kami jauh lebih mirip mobil travel hanya bedanya shuttle bus ini tidak berhenti di rumah penduduk dan berhenti di titik tertentu saja. Namun pengalaman kami menaiki shuttle bus ini sayangnya harus berkesan buruk karena kami kedapatan shuttle bus kami dikemudikan oleh sopir yang mengantuk.
Jujur saja selain membawanya ugal-ugalan. Situasi dimana si Sopir ingin cepat-cepat sampai karena mengantuk membuat perjalanan menjadi tidak enak. Saya sendiri diceritaakn oleh teman saya bagaimana mereka ketar-ketir sepanjang perjalanan karena si Sopir yan gsering melawan arah dan hampir menabrak sepeda motor. Namun saya sendiri tidak melihat kejadian tersebut karena kepala saya sangat pusing dengan cara si sopir mengendarai mobilnya.sehingga sepanjang perjalanan Kutoarjo – Yogya saya habiskan untuk tidur.
Pada akhirnya kami tiba di Yogyakarta pada sore harinya sekitar pukul 4 sore. Kami turun di belakang stasiun tugu dan dari sana kami berhenti makan dulu dan kemudian naik becak dari sana menuju Jalan tejokusuman, rumah Pakde-nya Tyo, tempat kami menginap malam tersebut.
Setelah sampai di rumah Pakde Tyo, kami beristirahat sejenak dan malamnya mengunjungi Malioboro. Yogya sendiri memang tidak banyak yang bisa dikunjungi karena memang Yogya hanya menjadi tempat transit kami dan tujuan kami selanjutnya adalah Jombang, kami juga sudah membeli tiket kereta yang berangkat pukul setengah Sembilan pagi. Sehingga memang tidak bisa berlama-lama di Yogya dan hanya sempat mengelilingi Malioboro yang tidak banyak berubah sejak terakhir saya kesana.
Keesokan paginya kami memulai meningalkan Yogyakarta menuju Jombang via Stasiun Tugu. Ada kejadian lucu mengenai keberangkatan kami dari rumah Pakde Tyo menuju Stasiun Tugu. Dimana becak yang kami tumpangi sampai jomplang di tanjakan menuju Tugu karena tidak kuat menanggung beban kami bertiga. Kami bertiga sendiri memang sepanjang perjalanan lebih memilih menaiki satu becak untuk menghemat anggaran.
Dari stasiun Tugu kami berangkat dengan kereta Logawa arah Jember, namun turun di Jombang. Satu hal yang saya takjub dari kereta ini. Pada awalnya saya berpikir akan menaiki kereta yang sama dengan kereta yang saya tumpangi pada saat berangkat yaitu panas dan tidak pakai AC. Namun dugaan saya salah ternyata kereta yan gsaya tumpangi memakai pendingin udara dan kami semua takjub karena dengan uang sekitar Rp. 40.000 kami sudah menikmati perjalanan dengan AC sepanjang Yogyakarta hingga Jombang.
Sesampainya di Jombang pada siang hari, kami terlebih dhaulu mengunjungi makam presiden ke-4 R.I. , K.H. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disebut Gus Dur di daerah Tebuireng dan setelah itu sorenya kami menginap di pondok pesantren Al-Arifin, Denanyar karena kebetulan pengasuh pesantren tersebut adalah saudara saya sehingga kami diterima dengan baik disana.
Pada hari itu kami memilih untuk beristirahat dan berjalan mengitari pesantren saja karena kebetulan di daerah sana sedang ramai karena keesokan ahrinay ada acara Haul K.H. Bisri Syamsuri, pendiri pondok pesantren Mambaul Arif, ponpes induk Pesantren Al-Arifin yang juga tokoh masyarakat Jombang dan juga masih family dari ibu saya
.
Keesokan harinya pada hari jumat tanggal 10 Mei kami lebih memilih fokus di Jombang karenamalamnay saya berencana menghadiri haul K.H. Bisri Syamsuri malamnya. Disamping itu, di Jombang juga ternyata tidak ada objek wisata yang menarik untuk dikunjungi selain wisata Rohani sehingga kami memilih untuk pergi ke alun-alun dan melihat kehidupan amsyarakat Jombang saja.
Malam harinya, saya mendatangi Haul K.H. BisriSyamsuri di masjid ponpes Mambaul Arif. Pada mulanya saya berpikir kalau acara Haulnya hanya akan dihadiri oleh warga sekitar saja. Namun dugaan saya salah. tercatat ada tiga tokoh masyarakat yang menghadiri Haul kakek buyut saya tersebut. Yang pertama adalah Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf yang tidak lupa untuk berkampanye karena memang masa pemilihan gubernur sudah dekat. Yang kedua adalah Menakertrans, Muhaimin Iskandar yang kebetulan rumah orang tuanya berada di dekat ponpes Mambaul Arif. dan yang ketiga adalah Haji Rhoma Irama serta beberap anggota DPRD Jatim dan pejabat lokal. Sedikit kesal karena haul kakek buyut saya dijadikan ajang perlombaan kampanye politik ketiga orang tersebut akhirnya saya memilih pulang sebelum acara selesai.
Keesokan harinya, saya dan teman-teman saya mengunjungi Mojokerto. Jarak yang tidak jauh dari Jombang serta bus yang murah hanya sekitar Rp.3000 dari Jombang membuat kami tidak menyia-nyiakan kota ini, apalagi di kota ini juga ada peninggalan Majapahit.
Setelah menaiki bus dari Jombang, kamip un tibadi Trowulan. Di sana untuk masuk ke bekas wilaayh ekrajaan Majapahit, kami harus berjalan lumayan jauh, sebenarnya ada jasa ojek. Hanya saja karena ingin menghemat kami memutuskan untuk jalan kaki dari jalan Raya hingga Museum Trowulan. Disana kami mendapati banyak informasi dari kerajaan Majapahit.
Setelah dari sana kami menuju ke kolam Segaran. Satu hal yang harus kami sayangkan, Kolam yang pada zamannya menjadi lambang kemakmuran Majapahit ini kondisinya saat ini jauh lebih mirip kolam tidak terawatt daripada obyek wisata. Kolamnya kotor dan jorok, padahal kalau ini dirawat, mungkin kola mini bisa ajdi lokasi pemandian atau obyek wisata lain.
Setelah dari Segaran. Kami mengunjungi tempat lain seperti Makam Putri Campa, Candi-candi di Trowulan serta Vihara tertua di Mojokerto yang memiliki patung Buddha tertinggi di Asia Tenggara. Sayangnya karena keterbatasan waktu, tidak semua lokasi bisa kami kunjungi, padahal kami masih ingin mengunjungi banyak obyek wisata seperti Situs Makam Troloyo dan candi-candi lainnya. Tapia pa daya, waktu membatasi kami.
Selepas itu, kami pun kembali ke Jombang dan keesokan harinya kami pun berkunjung ke Surabaya. Disana sudah menunggu seorang teman untuk mengantar kami. Jujur tidak banayk yang istimewa dari kota ini selain Mal dan perkantoran. Kami sendiri memilih mengunjungi Museum Sampoerna, Musium Kapal Selam, Masjid Cheng Ho dan Taman Bungkur serta memilih wisata kuliner.
Secara overall, Surabaya memang tdiak berbeda jau hdari Jakarta sehingga pergi ke Surabaya seperti layaknya pergi ke Jakarta saja hanya saja bahasanya bahasa Jawa. Usai itu, malamnya kami pun kembali ke Jombang menaiki Bus untuk kembali ke Jakarta keesokan harinya.
Akhirnay tibalah ahri kami harus pulang apda hari senin tanggal 13 Mei 2013. Dengan menaiki kereta Brantas dari kertosono, saya dan Tyo kembali ke Jakarta sedang Ganes memilih melanjutkan perjalanan ke Malang. Kereta tiba di Stasiun Senen pukul 2 pagi dan kami resmi kembali dalam kemacetan dan hingar bingar kota Jakarta.Saya sendiri merasa terkean dengan perjalanan Jawa Timur saya dan berharap bisa melakukan hal yang sama ke tempat yang lain
PSSI Yang Masih Terus Mengejar Impian
Akhir-akhir ini prestasi sepakbola nasional cenderung menurun, mulai dari Timnas Indonesia yang gagal di AFF Cup sampai Klub Liga Indonesia yang mengancam mundur akibat kekurangan dana, namun PSSI punya alasan sendiri mengenai Klaim ini.
Bapak Asep Saputra, staf direktorat media PSSI menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa acuan prestasi tidaklah harus juara. Ia mencontohkan Inggris yang memiliki Liga terbaik di dunia, namun tidak pernah menjadi juara eropa dan hanya sekali menjadi juara dunia tahun 1966. Karena itu, walau Indonesia saat ini selalu gagal menjadi juara di setiap turnamen. Namun, setidaknya peringkat Liga Indonesia saat ini adalah yang terbaik di Asia Tenggara dan Nomor 11 di Asia, hal inilah yang menyebabkan Indonesia mendapat jatah 1 ½ di Liga Champion Asia. Pak Asep kembali menerangkan bahwa Walau saat ini masih belum 100% professional, namun PSSI akan terus meningkatkan kualitas liganya, yaitu dengan menargetkan tahun 2011 nanti, seluruh kontestan Liga Super harus mempunyai Stadion sendiri dan jaminan keuangan yang sehat untuk mengikuti jalannya kompetisi selama satu musim. saat ini, PSSI memang masih longgar dengan membiarkan klub-klub yang masih belum memenuhi syarat ikut serta, namun tahun 2011 nanti, apabila salah satu aspek tak terpenuhi, maka jangan harap Klub bersangkutan dapat ikut kompetisi Liga Super Indonesia.
Ketika disinggung mengenai hasil Timnas di dua pertandingan Pra-Piala Asia, Pak Asep menerangkan bahwa hasil pertandingan tersebut sudah cukup memuaskan, walau secara permainan timnas masih buruk. Namun, ia memberi penjelasan bahwa Oman adalah juara Piala Teluk yang mengalahkan Raksasa Timur tengah seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Sedangkan Australia walau tidak diperkuat pemain kelas dunia mereka seperti Mark Viduka atau Tim Cahill. Namun, pemain Mereka tetap pemain nomor satu.
"Jangan Lupa, kalau Liga Australia itu liga yang Professional, bahkan salah satu klubnya lolos ke Final Liga Champion Asia, sehingga menahan imbang mereka adalah suatu hasil yang memuaskan." Pak Asep juga menambahkan bahwa Dengan materi pemain Lokal tiga tahun lalu, timnas kalah 0-3. Namun, saat ini ada peningkatan dengan menahan imbang 0-0.
Sedang, Bapak Yosef Tor Tulis, Planning & Media Director PSSI menyatakan bahwa prestasi timnas saat ini memang sulit berkembang. ia menyatakan, bahwa Faktor kunci kesuksesan timnas adalah Klub. Klub yang hebat akan menghasilkan kompetisi yang hebat dan Kompetisi yang hebat akan menghasilkan timnas yang hebat. Ia mencontohkan inggris yang memiliki Liga terhebat di dunia dengan Klub-klub hebat seperti Manchester United dan Arsenal, sehingga timnas mereka bisa bagus. Saat ini, Indonesia memang memiliki klub hebat seperti Persija, Persitara atau Pelita Jaya. Namun, kehebatan klub tersebut baru pada level Nasional, belum International. Sehingga kita masih kesulitan untuk membentuk timnas hebat yang mampu menyaingi Timnas Inggris atau Italia. "Tidak Mungkin kita menyamakan Persija dengan AC Milan, sehingga tidak mungkin menyamakan Timnas Indonesia dengan Timnas Italia.."
Bapak Yosef menyatakan bahwa ada 3 faktor yang membuat Timnas Indonesia sulit berkembang, ketiga factor tersebut yang pertama adalah Bahan Mentah, ia menyatakan bahwa bahan mentah di Indonesia memang hampir bisa dibilang kurang berkualitas, sehingga walaupun kita mengontrak Fabio Capello sekalipun untuk melatih Timnas, tetap timnas tidak akan maju, karena memang bahan baku pemainnya yang kurang baik.
Faktor kedua adalah Pelatnas, ia menyatakan bahwa Pelatnas kita saat ini kurang efektif karena setiap kali menjelang pertandingan besar, uji coba yang dilakukan timnas hanya melawan tim local atau seleksi pemain asing. "kalau ingin bertanding dengan Arab Saudi atau Jepang, jangan beruji Coba dengan Persita Tangerang, kalau ingin melawan Saudi, kita bisa bertanding melawan Oman atau Tim dari Timur Tengah lain yang tipe permainannya sama, sedang kalau melawan Jepang, kita bisa bertanding melawan Klub J-league atau K-League.". Selain itu, pembinaan usia dini juga sudah mulai dilakukan dengan pembentukan Liga Medco dan pengiriman pemain U-16 Ke Uruguay untuk jangka panjangnya.
Faktor Ketiga adalah Budaya, Pak Yosef kembali menerangkan bahwa Budaya di Indonesia yang cenderung negative memang banyak dianut pemain sepakbola. Karena itu, PSSI sering melakukan kegiatan pelatnas di Luar Negeri seperti Primavera di Italia, U-23 di Belanda dan saat ini U-16 di Uruguay. Tujuannya tak lain adalah agar Budaya negative Indonesia seperti makanan yang kurang sehat seperti Bakso bisa dihindari pemain timnas. Karena factor penting untuk seorang pemain sepakbola bukan hanya skill dan teknik, tapi juga Fisik dan asupan Gizi yang cukup. Bahkan, di Uruguay ada seorang pemain timnas yang dinyatakan gagal ikut kompetisi hanya karenga giginya ompong satu. harapannya dengan dijauhkan dari budaya negative Indonesia ini, pemain Indonesia mampu memiliki pola pikir seperti pemain dunia, rencananya setelah mengikuti pelatnas di Uruguay ini, para pemain timnas U-16 ini akan dititipkan di Liga Brazil atau Eropa sehingga jauh dari budaya Indonesia yang negative.
Faktor Budaya yang negative ini memang sangat mempengaruhi Timnas, Ia mencontohkan seorang Pelatih tidak objektif di Indonesia yang bisa saja menyingkirkan pemain yang hebat namun, karena peltih tersebut kurang suka dengan sifatnya, sehingga pemain tersebut disingkirkan. Faktor Budaya ini juga yang membuat Kurniawan gagal bermain Di Sampdoria. Karena terbiasa dengan teman-teman di Wisma Indonesia-nya saat memperkuat FC Luzern, maka ketika memperkuat Sampdoria. Kurniawan langsung tidak kuat dan kabur ketika disajikan latihan yang berat di Sampdoria.
Harapan ke depan dari Bapak Asep maupun Bapak Yosef terhadap prestasi Timnas sendiri tidak jauh-jauh dari keinginan mereka untuk melihat timnas berprestasi lagi seperti ketika Lolos ke Piala Dunia 1938 atau Menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade 1956. Diharapkan dengan rencana Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, prestasi Timnas juga ikut meningkat. apalagi saat ini PSSI sudah merencanakan pembinaan jangka panjang dengan terus menggelar kompetisi remaja seperti Liga medco. dan Rencananya, dalam waktu dekat ini, PSSI akan meluncurkan Liga Pendidikan Indonesia yang sistemnya meniru NCAA (National College Athletic Association) di Amerika, sehinga pemain timnas nanti tidak hanya jago bermain bola, namun memiliki wawasan yang luas. demikianlah harapan kedua insane sepakbola ini terhadap Timnas Indonesia, semoga sepakbola Indonesia bisa berjaya kembali. (Kharizma Ahmada)
(NB: Tulisan ini dimuat di Majalah Diamma edisi II tahun 2009)
Langganan:
Postingan (Atom)