Israel dan Palestina adalah dua
negara yang terus berkonflik hingga 1948 hingga saat ini. Dan konflik kedua
negara ini diperkirakan akan berlangsung lama. Berbagai perundingan suadah
mereka lalui. Mulai dari Partition Plan 1947 hingga Annapolis, namun tidak ada
satupun yang mampu menemukan titik temu dari masalah dua negara tersebut. Akar
mula dari permasalahan ini adalah ketika menlu Inggris, James Balfour pada
tahun 1917 memutuskan untuk mendirikan sebuah wilayah Yahudi di wilayah Arab,
hal yang ditentang oleh negara Arab.
Namun paham Zionis yang berkembang
membuat ribuan umat Yahudi dari pelosok Eropa mendatangi tanah Palestina paska
Perang Dunia II dengan harapan bahwa tanah di Palestina adalah tanah yang
dijanjikan oleh Tuhan. Namun, hal ini tentu saja ditolak bansga Arab. Apalagi
kedatanagn bangsa Yahudi tersebut membuat ribuan warga Palestina mengungsi dan
terusir dari negaranya sendiri.
PBB Sendiri sebenarnya sempat
mengeluarkan solusi yang cukup adil yaitu dengan membagi wilayah tersebut dalam
dua bagian dengan Jerrusalem yang menjadi pusat konflik sebagai kota
International. Namun, partition Plan ini tidak pernah berjalan, pasalnya tiga
hari kemudian Israel justru mendeklarasikan berdirinya negara Israel dengan
David Ben Gurion sebagai presidennya.
Pendirian negara Israel ini sendiri
memancing kemarahan negara-negara Arab yang kemudian mendeklarasikan perang
pada tahun 1948 – 1967 yang dimenangi Israel dengan bantuan Amerika Serikat.
Namun, walaupun sampai hari ini belum
ada kesepakatan damai antara kedua negara. Sudah banyak berbagai perundingan
yang dilaksanakan oleh kedua negara. Perundingan pertama yang dilaksanakan
adalah Konferensi Madrid tahun 1991 yang juga menjadi perundingan pertama
antara kedua negara yang difasilitasi pemerintah Spanyol serta didukung A.S.
dan Uni Sovyet.
Dalam proses negosiasi ini, Israel
membuat Revokasi dari Resolusi PBB no. 3379 sebagai partisipasi mereka dalam
konferensi sebagai kelanjutan dari resolusi no.46/86. Israel sendiri menyatakan
konferensi ini sangat penting, karena apabila Israel berhasil berdamai dengan
palestina maka akan berpengaruh terhadap hubungan diplomatik mereka dengan
negara lain terutama negara Muslim dan Timur Tengah.
Namun perundingan yang dimaksudkan
dengan baik ini berjalan dengan alot dan pada akhirnya tidak menghasilkan
apa-apa selain kekecewaan dari kedua belah pihak baik Israel maupun Palestina.
Namun walau tidak menghasilkan apa-apa, Sekretaris negara Amerika Serikat,
James Baker memandang positif konferensi ini sebagai langkah awal menuju
perdamaian di Timur Tengah.
Namun dua tahun kemudian perundingan
damai kedua negara kembali dilakuakn di Oslo dengan nama Oslo Accord 1993.
Dalam perundingan Oslo tersebut pimpinan PLO Yasser Arafat dan PM Israel, Yitzhak
Rabin hadir difasilitasi oleh Bill Clinton.
Dalam kesepakatan ini kedua negara
sepakat untuk berdamai dan mengakui kedaulatan masing-masing. Israel akan
mengakui PLO sebagai otoritas berkuasa di Palestina serta mengizinkan Yasser
Arafat kembali ke Tepi Barat, serta menghilangkan kekerasan diantara kedua
belah pihak. Namun, perjanjian yang sudah bagus dan damai ini justru dirusak
oleh kelompok ekstrim kanan Israel yang sangat Zionis. Pada akhirnya kesepakatn
ini tidak berjaan bahkan PM Yitzhak Rabin harus tewas ditangan Ekstremis Yahudi
karena menyetujui kesepaktan ini. Sehingga perundingan yang sudah berjalan
terpaksa batal karena arogansi Parlemen Israel yang rata-rata menganut paham
Zionis.
Mandeknya Oslo Accord ini kemudian berlanjut
ke Protokol Hebron pada tahun 1997. Protokol ini sendiri dibagi dalam 5 segmen.
Yaitu :
1. The Agreed Minute of January
7, 1997
2. The Note for the Record of
January 15, 1997
3. The actual Protocol Concerning
the Redeployment in Hebron of January 17, 1997
4. A Letter to be provided by US Secretary of State Warren Christopher to Benjamin Netanyahu at the
time of signing of the Hebron Protocol on January 17, 1997
5. An Agreement on Temporary
International Presence in Hebron (TIPH) on January 21, 1997
Dalam
perundingan ini, Israel berkonsentrasi pada masalah pembebasan tahanan serta
pembagian batasan wilayah. Serta menuntut wilayah yang lebih luas. Sedang PLO
yang mewakili Palestina meminta kelanjutan dari palestina Charter serta
pengurangan tingkat kekerasan yang dilakukan oleh Israel.
Setelah
Protokol Hebron. Perundingan dilanjutkan pada tahun 2000 bertempat di Camp
David, A.S. tempat dimana Israel melaksanakan perjanjian damai dengan Mesir.
Dimana, diharapkan masalah Israel – Palestina akan selesai layaknya masalah
Israel – Mesir. Dalam negosiasi ini, Israel diwakili PM Ehud Barak, sedang PLO
Diwakili Yasser Arafat dan Amerika Serikat memediasi diwakili Presiden Bill
Clinton.
Yang
menjadi topic bahasan dalam Camp David Summit ini menyangkut empat hal yaitu :
1.
Teritorial
2.
Jerrusalem
dan Temple Mount
3.
Pengungsi
dan hak untuk kembali
4.
Perhatian
terhadap keamanan Israel
Namun,
lagi-lagi kesepakatan ini menemui jalan buntu karena baik Israel maupun
Palestina sama-sama tidak mencapai titik kepuasan sendiri. Palestina merasa
kurang mengeai Masalah Teritori dimana mereka hanay diberikan wilayah yang
hingga saat ini hanya Tepi Barat dan Gaza. Sedang Israel menginginkan wilayah
lebih. Barak menawarkan Palestina 91% wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat plus
control atas jerrusalem Timur yang akan menjadi ibukota mereka.Namun Palestina
menuntut perbatasan seperti sebelum tahun 1967, dimana ketika itu wilayah
Palestina berjumlah 2 kali lipat wilayah yang ditawarkan Israel. Namun, Menlu
Israel Shlomo Ben Ami menolak perbatasan seperti sebelum 1967, karena meraa
Israel berhak atas teritori yang lebih. Dan mandeknya perundingan ini, membuat
Bill Clinton menyalahkan Arafat dengan ucapan bahwa Arafat menolak perdamaian.
Namun
kendati gagal menemukan titik temu perdamaian setidaknya ada beberapa poin yang
berhasil dicapai. Yaitu :
1.Kedua belah pihak sepakat bahwa tujuan negosiasi
mereka adalah untuk mengakhiri dekade konflik
dan mencapai perdamaian yang adil dan abadi.
2. Kedua belah pihak berkomitmen untuk melanjutkan upaya mereka untuk mencapai kesepakatan tentang semua isu status permanen secepat mungkin.
3. Kedua belah pihak sepakat bahwa perundingan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338 adalah satu-satunya cara untuk mencapai suatu perjanjian dan mereka berjanji untuk menciptakan lingkungan untuk negosiasi bebas dari tekanan, intimidasi dan ancaman kekerasan. 4. Kedua belah pihak memahami pentingnya menghindari tindakan sepihak bahwa sebelum memeriksa hasil negosiasi dan bahwa perbedaan mereka akan diselesaikan hanya dengan negosiasi itikad baik.
5. Kedua belah pihak sepakat bahwa Amerika Serikat tetap menjadi mitra penting dalam mencari perdamaian dan akan terus berkonsultasi erat dengan Presiden Clinton dan Sekretaris Albright pada periode ke depan.
2. Kedua belah pihak berkomitmen untuk melanjutkan upaya mereka untuk mencapai kesepakatan tentang semua isu status permanen secepat mungkin.
3. Kedua belah pihak sepakat bahwa perundingan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338 adalah satu-satunya cara untuk mencapai suatu perjanjian dan mereka berjanji untuk menciptakan lingkungan untuk negosiasi bebas dari tekanan, intimidasi dan ancaman kekerasan. 4. Kedua belah pihak memahami pentingnya menghindari tindakan sepihak bahwa sebelum memeriksa hasil negosiasi dan bahwa perbedaan mereka akan diselesaikan hanya dengan negosiasi itikad baik.
5. Kedua belah pihak sepakat bahwa Amerika Serikat tetap menjadi mitra penting dalam mencari perdamaian dan akan terus berkonsultasi erat dengan Presiden Clinton dan Sekretaris Albright pada periode ke depan.
Setidaknya
dengan tercapainya hal diatas ada itikad dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan
konflik dengan jalan damai, walau pemerintah Zionis sendiri dengan egonya
menolak apa ayng sudah diperjanjikannya.
Perundingan
kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Taba, Mesir yangdisebut sebagai Taba
Summit pada tanggal 21 – 27 Januari 2001. Masalah yang dibahas dalam
perundingan Taba sendiri tidak jauh berbeda mulai dari teritori, pengungsi
hingga keamanan.
Pertemuan
ini sendiri menghasilkan beberapa hal yang pada akhirnya dijadikan landasan
pada pertemuan berikutnya, yaitu :
# Yerusalem: negosiator Israel disampaikan kepada Palestina gagasan untuk menciptakan sebuah rezim internasional khusus untuk "Cekungan
suci" - sebuah daerah termasuk
Kota Tua dan
beberapa daerah di luar tembok termasuk makam
Bukit Zaitun. Palestina
menolak proposal itu, bersikeras pada kedaulatan
Palestina sebagai gantinya.
# Wilayah dan permukiman:
Israel mengurangi tuntutannya sampai 6% dengan
kompensasi teritorial yang akan mengimbangi
sekitar 3%, sedangkan
Palestina mengusulkan pencaplokan Israel dari
sekitar 3% bersama dengan kompensasi teritorial
jumlah yang sama. Usulan Israel akan memberi
Palestina sekitar 97% dari luas tanah
Tepi Barat, tapi tidak ada kesepakatan akhir.
# Pengungsi komite: pengungsi Arab dari
Israel dan jumlah yang sama pengungsi Yahudi
dipaksa keluar dari negara-negara Arab, masalah
dating kembali ke 1948 Perang Arab-Israel. Menteri Kehakiman
Israel Yossi Beilin
melaporkan bahwa perunding
Palestina Nabil Sha'ath,
mencapai kesepakatan mengenai hak Palestina
Ahmed Qurei kembali
namun bersikeras pada
Palestina 'Hak Kembali.
Mentoknya
perundingan membuat perundinga nkembali dilanjutan pada tahun 2007 di
Annapolis, dimana kondisinya saat itu sudah berubah pada masa itu, Hamas,
kelompok Radikal di Palestina memenangi Pemilu. Dimana Hamas sangat menolak
bentuk negosiasi apapun dengan Palestina. Perwakilan Palestina di pertemuan
Annapolis sendiri adalah PM Palestina versi Fatah, Mahmoud Abbas bukan Ismail
Haniyah yang merupakan PM Palestina sebenarnya.
Dalam
konferensi Annapolis ini tidak ada hal baru yang bsia dihasilkan selain
mengakui Mahmoud Abbas sebagai pemimpin otoritas Palestina. Dan semakin memecah
Palestina menajdi dua yaitu Tepi Barat oleh Fattah dan Jalur Gaza oleh Hamas.
Permasalahan
Israel – Palestina sendiri akan sangat sulit untuk selesai karena selain
masalah ideology. Masalah tanah dan sumber air juga diyakini sebagai penyebab
sulitnya masalah ini selesai. Paham Zionis yang menginginkan Israel sebesar
Wilayah mereka di era nabi Ibrahim dari Sungai Eufrat hingga Tigris diduga
menjadi penyebab sulitnya proses negosiasi. Dimana proses negosiasi selalu
berat sebelah dan menguntungkan Israel serta merugikan Palestina.
Sehingga proses perundingan ini
sendiri akan selalu mengalami proses tarik ulur karena titik temu tidak dapat tercapai dan pihak Israel sebagai pihak
yang kuat selalu memaksakan kehendaknya. Sebagaimana kita ketahui bahwa Kesepakatan yang baik adalah bilamana konsensi yang
dibuat oleh salah satu pihak tidak berlawanan dengan kepentingan pihak lainnya.Namun yang terjadi dalam kasus Israel – Palestina
justru sebaliknya dan selalu merugikan satu pihak yaitu Palestina sehingga
diharapkan kerendahan hati dari Israel apabila proses negosiasi damai ingin
tercapai.